GUGATAN SEDERHANA
3 min readDalam memberikan pelayanan yang berkeadila kepada semua elemen masyarakat, maka Pengadilan tidak hanya harus independen dan berintegritas namun harus mampu melayani kepentingan masyarakat untuk menyelesaikan perkara khususnya di pengadilan tingkat pertama dengan proses berbiaya rendah, sederhana, dan waktu penyelesaian perkara yang cepat. Beberapa cara dapat dilakukan untuk menyelesaikan perkara baik melalui pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi/perdamaian). Namun, seringkali penyelesaian perkara melalui non litigasi tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas, sehingga cara non litigasi biasanya bukan merupakan penyelesaian sengketa yang tepat guna.
Sama halnya dengan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan (litigasi) yang dianggap tidak efektif dan efisien karena akan mengganggu maupun menghambat kegiatan bisnis. Hal ini disebabkan karena proses berperkara di Pengadilan menempuh prosedur beracara yang sudah ditetapkan dan tidak boleh disampingi, sehingga seringkali litigasi membutuhkan waktu lama. Ketua Mahkamah Agung yakni Hatta Ali dalam Urgensi Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Small Claim Court menjelaskan bahwa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana terbit untuk mempercepat proses penyelesaian perkara sesuai asas peradilan sederhana, cepat, biaya ringan. Terbitnya PERMA ini juga salah satu cara mengurangi volume perkara di MA dan diadopsi dari sistem peradilan Small Claim Court yang salah satunya diterapkan di London, Inggris.
Hal yang menarik dalam gugatan sederhana adalah kewajiban bagi hakim untuk berperan aktif dalam:
- Memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana secara berimbang kepada para pihak;
- Mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian di luar persidangan;
- Menuntun para pihak dalam pembuktian;
- Menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh para pihak.
Gugatan sederhana diajukan terhadap perkara dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp500 juta, yaitu:
- Cidera janji (wanprestasi); dan/atau
- Perbuatan melawan hukum.
Sedangkan yang tidak termasuk dalam gugatan sederhana adalah:
- Perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan; atau sengketa hak atas tanah.
- Sengketa hak atas tanah.
Masih seputar syarat gugatan sederhana, Pasal 4 Perma 4/2019 mengatur sebagai berikut:
- Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama.
- Terhadap tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak dapat diajukan gugatan sederhana.
- Penggugat dan tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di daerah hukum Pengadilan yang sama.
(3a) Dalam hal penggugat berada di luar wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat, penggugat dalam mengajukan gugatan menunjuk kuasa, kuasa insidentil, atau wakil yang beralamat di wilayah hukum atau domisili tergugat dengan surat tugas dari institusi penggugat.
- Penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa, kuasa insidentil atau wakil dengan surat tugas dari institusi penggugat.
Soal pendampingan kuasa hukum, gugatan sederhana boleh tanpa jasa advokat menerangkan gugatan sederhana ini juga tidak wajib diwakili kuasa hukum atau memakai jasa advokat seperti halnya dalam perkara gugatan perdata biasa. Namun, para pihak (penggugat dan tergugat) dengan atau tanpa kuasa hukum wajib hadir langsung ke persidangan. Pasal 4 ayat (4) PERMA 4/2019 sebagaimana kami sebutkan di atas telah ditegaskan “dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum”. Jadi, para pihak boleh memakai jasa advokat atau tidak.
(Tim Na/Ty)