HARTA BERSAMA DALAM HUKUM ISLAM
2 min readDalam fikih Islam klasik tidak dikenal yang namanya harta bersama bahkan saat terjadi percerian. Hal ini berbeda dengan fikih yang berlaku di Indonesia dari hasil ijtihad bangsa Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan perubahannya serta lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Alasan adanya peraturan tersebut, sebab perkawinan merupakan bentuk syirkah, yaitu bersatu, berserikat untuk membetuk umah tangga.
Dari dua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tersebut dikenal dengan adanya harta bersama. Pasal 35 UU Perkawinan dikenal dengan harta bersama, dalam pasal tersebut harta dalam perkawinan dibedakan menjadi dua:
- Harta yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi “harta bersama”; dan
- Harta bawaan masing-masing suami istri, baik harta tersebut diperoleh sebelum meinkah atau dalam pernikahan yang diperoleh masing-masing sebagai harta pribadi, seperti hadiah atau warisan.
Demikian juga dalam Pasal 85 – Pasal 97 KHI, disebut bahwa harta perkawinan dapat dibagi atas:
- Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum perkawinan;
- Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawanya sejak sebelum perkawinan;
- Harta bersama suami istri, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi harta bersama suami istri;
- Harta hasil dari hadiah, hibah, waris, dan shadaqah suami, yaitu harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan;
- Harta hasil hadiah, hibah, waris, dan shadaqah istri, yaitu harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.
Itulah sebabnya di Pengadilan Agama ketika ada orang Islam bercerai dan mempersoalkan harta yang diperoleh selama perkawinan, maka akan dipertimbangkan harta dalam perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan dan Pasal 85-Pasal 97 KHI. Maka, menurut fikih Islam Indonesia, perkawinan menimbulkan adanya harta bersama dalam perkawinan. (Tim Na/Tiyaz)