WANPRESTASI DAN KEPAILITAN SERTA AKIBAT HUKUMNYA
2 min readKetentuan wanprestasi dapat dilihat dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang isinya:
“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Lebih lanjut, menurut Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian merincikan unsur-unsur dari wanprestasi adalah sebagai berikut:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat hukum dari adanya wanprestasi maka pihak yang dinyatakan wanprestasi dapat diminta untuk melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Sedangkan jika kita merujuk Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUKPKPU”) mendefinisi tentang kepailitan yaitu:
“Kepailitan adalah sita umum atas kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang–Undang ini.”
Akibat hukum dengan adanya putusan pailit, maka seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, berada di bawah sita umum kepailitan. Pernyataan putusan pailit pada umumnya berangkat dari keadaan wanprestasi atau cidera janji yang dilakukan oleh debitor terhadap kreditornya karena debitor tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas utang-utangnya, namun dalam hal ini debitor dimohonkan dalam kasus pailit.
Adapun permohonan pernyataan pailit sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU menjelaskan dengan kedua syarat, yakni:
1. Adanya dua atau lebih kreditor; dan
2. Terdapat sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
(Tim Na/Ty)