07/10/2024

KANTOR HUKUM NENGGALA ALUGORO

Konsultan Hukum Dan Bisnis

KONSEKUENSI APABILA MEMINJAMKAN KARTU KREDIT KEPADA TEMAN

3 min read

Pertanyaan

Bagaimana jika kartu kredit saya dipinjam oleh teman saya yang ternyata dia tidak mau membayar tagihan kreditnya dan bisakah saya melaporkan kepada pihak berwajib? Tetapi saya tidak memiliki bukti tertulis hanya ada saksi saja.

Ulasan

Menurut Edukasi Bank Indonesia, kartu kredit merupakan alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK) yang dapat digunakan untuk pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, baik untuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk penarikan tunai, lalu timbul kewajiban pembayaran oleh pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pembayaran pada waktu yang telah disepakati  dengan cara pelunasan secara sekaligus ataupun secara angsuran.

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (PBI APMK) ditegaskan bahwa pemegang kartu adalah pengguna yang sah dari APMK. Dengan demikian, Andalah pengguna yang sah dari kartu kredit tersebut dan Anda juga yang berkewajiban untuk melunasi tagihannya, meskipun teman Anda yang menggunakannya.

Meminjam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia adalah memakai barang (uang dan sebagainya) orang lain untuk waktu tertentu (kalau sudah sampai waktunya harus dikembalikan). Perbuatan meminjam menurut hukum didasarkan pada suatu perjanjian (perpanjian pinjam meminjam) yang harus memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang berbunyi:

“Sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal.

Pada kasus yang Anda tanyakan terdapat dua perjanjian. Pertama, perjanjian kredit yang dilakukan antara Anda dengan bank (menimbulkan kewajiban Anda untuk membayar tagihan kartu yang telah dipakai). Kedua, perjanjian pinjaman yang dilakukan antara Anda dengan teman Anda, yang kami asumsikan perjanjian tersebut dilaksanakan secara sukarela tanpa ada paksaan dan secara lisan (perjanjian terebut mengakibatkan teman Anda wajib untuk membayar tagihan kartu yang ia pakai pada Anda). Penggunaan kartu kredit oleh teman Anda tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan dan pengetahuan Anda. Sesuai yang Anda ceritakan bahwa teman Anda pada tahun 2016 sampai tahun 2017 membayar tagihan pemakaian kartu kepada Anda, namun sejak tahun 2017 sampai 2018 teman Anda masih menggunakan kartu kredit dan ia tidak membayar tagihannya kepada Anda. Hal itu berarti teman Anda telah melakukan wanprestasi perjanjian (tidak membayar tagihan kartu kredit yang ia pakai pada Anda) dan Anda berhak memperoleh ganti kerugian.

Wanprestasi diatur dalam Pasal 1239 KUHPer:

“Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga.”

Atas perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh teman Anda, Anda tidak dapat melaporkan perbuatannya ini ke polisi karena ini merupakan ranah hukum perdata dan menurut Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidak mampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang. Namun, Anda dapat mengajukan gugatan wanprestasi pada pengadilan.

Dalam hal bukti yang berupa saksi, hal tersebut diatur dalam Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) (S. 1941-44) tentang Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB) (HIR) mengenai alat-alat bukti, yakni:

  1. Bukti dengan surat;
  2. Bukti dengan saksi;
  3. Persangkaan-persangkaan;
  4. Pengakuan;

Dalam buku Yahya Harahap lainnya Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta. Dalam kenyataan bisa terjadi:

  • Sama sekali penggutan tidak memiliki alat bukti tulisan untuk membuktikan dalil gugatan atau;
  • Alat bukti tulisan yang ada, tidak mencukupi batas minimal pembuktian karena alat bukti tulisan yang ada, hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan.

Lebih lanjut Yahya mengatakan bahwa salam peristiwa yang demikian, jalan keluar yang dapat ditempuh penggugat untuk membuktikan dalil gugatannya, ialah dengan jalan menghadirkan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami, atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan. Menurut Yahya, pada prinsipnya alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila undang-undang sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta atau alat bukti tulisan, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan. (Tim Na/Ty)

Tinggalkan Balasan

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.