Ideologi, Hukum dalam Praktiknya di Indonesia
6 min readIdeologi, Hukum dalam Praktiknya di Indonesia – “Netralitas Hukum Hanyalah Sebuah Ilusi”. Benar atau tidaknya merupakan tanggung jawab fakta dan eksistensi Hukum. Hobbes dengan konsep Levianthan-nya secara tersirat menyampaikan bahwa dalam menjalankan visi untuk sampai pada misi Negara dalam hal menciptakan ketertiban di masyarakat, Negara perlu diperangkati oleh berbagai hal, yang salah satunya ialah Hukum. Selayaknya perangkat atau alat, sifatnya pasif. Penggunaannya sesuai kehendak si pengguna. Oleh sebab itu pembentukan dan pemberlakuan Hukum sangat sarat dengan ideologi.
Pertanyaan yang akan menjadi inti dari tulisan ini ialah “apakah pembentukan Hukum harus sesuai dengan ideologi ataukah disesuaikan dengan perkembangan masyarakat?” sebab kedua hal ini acapkali tak sejalan. Ideologi menjadi tempatnya nilai-nilai Ideal seperti nilai agama, moral maupun budaya. Ideologi sifatnya kaku, sedangkan perkembangan masyarakat dengan akulturasi budaya yang pesat, akan menggeser sedikit nilai-nilai yang ada. Sehingga menjadi penting untuk melihat dimana posisi Hukum seharusnya.
Perbincangan tentang “bagaimana Hukum seharusnya” seringkali muncul beriringan dengan adanya sebuah produk Hukum yang dianggap Kontroversi, misalnya UU Ciptaker, RUU HIP, RUU TPKS, Permendikbud tentang PPKS. Keberadaan RUU (Rancangan Undang-Undang) yang kontroversi di atas, tentunya dikarenakan adanya ketidaksejalannya antara nilai-nilai yang bersemayam di dalam alam pikiran masyarakat dengan aturan yang telah dirumuskan. Jawaban atas pertanyaan di atas, mengenai di mana posisi Hukum sebenarnya, bagi penulis bahwa dalam pembuatan produk Hukum harus selaras dengan nilai-nilai yang ada baik agama, moral maupun budaya. Artinya Hukum harus menjadi bentuk pengejawantahan dari Ideologi. Uraian mengenai alasan kesimpulan ini akan dibahas lebih lanjut pada sub pembahasan berikutnya.
Ideologi, Nilai dan Relasi Keduanya
Pertama, Nilai menjadi landasan untuk melegitimasi sesuatu, dalam konteks Hukum dapat nilai menjadi landasan untuk melegitimasi suatu kebijakan ataukah produk perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan konsep Ideologi. Habermas juga ikut mengindahkan bahwa Ideologi menjalankan fungsi Legitimasi (David Mclellan, 2020: 4).
Keberadaan ideologi tentunya disebabkan oleh alasan-alasan tertentu yang menjadi titik masalah yang hendak diselesaikan oleh Ideologi. Penyelesaian masalah tersebut juga didasarkan pada prinsip ataupun nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Kelahiran ideologi juga didasarkan pada beberapa hal seperti: Pertama, Ideologi lahir Karena terinspirasi oleh sosok tokoh yang luar biasa, dalam sejarah bangsanya. Kedua, berdasarkan alam pikiran masyarakat, Ideologi itu dirumusakan oleh sejumlah orang berpengaruh dan merepresentasikan kelompok masyarakat kemudian disepakati sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Ketiga, berdasarkan keyakinan tertentu yang bersifat universal, ideologi itu lahir dan dibawa oleh orang yang diyakini sebagai kehendak Tuhan, (Nur Sayyid, 2015:5-6).
Menjadi jelas bahwa ideologi merupakan manifestasi dari alam pikiran masyarakat dan keyakinan masyarakat tentang nilai-nilai luhur. Fungsi dari Ideologi ialah menjadi pedoman, dalam konteks bernegara, dalam pengertian lain ideologi menjadi penuntun dalam melakukan setiap kebijakan.
Kedua, Nilai secara terminologi dalam Filsafat Aksiologis adalah suatu keberhargaan atau kebaikan, selain itu dapat pula memahami Nilai sebagai sifat atau kualitas dan selalu dijadikan landasan, oleh sebab itu suatu hal, baik itu perbuatan atau dalam konteks pemerintahan yakni kebijakan, dianggap bernilai apabila mendatangkan kebaikan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, posisi Nilai dalam hal ini ialah untuk menuntun manusia kepada kebaikan kebermanfaatan dan kebahagiaan, (M.Syahnan Harahap, 2015:32).
Nilai dalam pemahaman penulis sebagai tanda-tanda yang disampaikan Tuhan melalui setiap firman-firman di dalam kitab suci, guna membimbing setiap insan untuk sampai pada tujuan akhir dalam perjalanan kehidupan manusia, hal ini juga yang kemudian menegaskan fungsi serta pentingnya sebuah nilai. Landasan sebuah nilai tentunya bersumber pada ajaran-ajaran agama dan juga tradisi adat istiadat. Louis O Kattsoff menjelaskan bahwa Nilai dibedakan menjadi dua macam, yaitu Nilai Instrinsik yakni nilai yang sejak semula sudah bernilai, sedangkan nilai Instrumental adalah nilai dari segala sesuatu karena dapat dipakai sebagai sarana untuk mencapai tujuan, (M. Syahnan Harahap, 2015:33).
Menurut Romo C.B. Kusmaryanto terdapat beberapa ciri dari nilai intrinsik, diantaranya: tidak bisa dipertukarkan, nilai tidak bisa berubah, tidak bisa digantikan oleh sesuatu yang lain dan dihubungkan dengan dirinya sendiri. Kaitannya dengan topik dalam tulisan ini – bahwa Nilai Intrinsik yang dimaksud sebagai Nilai-nilai ideal tersebut. Nilai menduduki posisi yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan.
Uraian di atas secara tersirat, menegaskan adanya relasi yang kuat antara ideologi dan nilai. Kenginan serta keyakinan masyarakat tentang idealnya suatu hal kemudian termanifestasikan dalam bentuk ideologi, maka dari itu nilai merupakan substansi dari ideologi, dan ideologi merupakan wadah untuk nilai serta prinsip yang diakui oleh masyarakat. Keduanya saling melegitimasi, artinya Nilai menjadi dasar orang mengakui sebuah ideologi, begitupun sebaliknya ideologi menguatkan status ontologi nilai – dan nilai akan mendapatkan kekuatannya melalui ideologi. Misalnya kaitannya dengan pembentukan produk Hukum, posisi ideologi pancasila sebagai sumber Hukum, maka dalam proses pembentukannya, para perancang wajib untuk mengejawantahkan nilai-nilai ke dalam bentuk konkret yakni produk Hukum.
Melacak Praktik Hukum di Indonesia
Praktik hukum yang dijalankan di Indonesia, dapat memberikan gambaran tentang bagaimana hukum “seharusnya” itu berlandaskan pada Ideologi, perkembangan masyarakat ataukah malah terdapat relasi yang kuat antara keduanya. Kesemua ini dapat diketahui Jika dilacak dari sisi teori baik itu landasan filosofis maupun Yuridis.
Plato dan Aristoteles ikut andil dalam memperkuat posisi Ideologi-nilai-nilai ideal, bagi mereka terdapat alam ideal dan alam fakta. Di dalam alam Ideal terdapat kebenaran-kebenaran mutlak, di sanalah tempat ideal-ideal tertinggi. Bagi Plato dan Aristoteles, Alam fakta harus diatur dan dibatasi berdasarkan Hukum (ajaran-ajaran) yang lahir dari alam Ideal. Ajaran ini kemudian menjadi landasan dalam filsafat Immanuel Kant. Dalam konsep Kant, pengetahuan dibagi menjadi dua, yang berbasis Fakta (das sein) dan yang berbasis pada akal Budi Praktis yang menyangkut dengan kehidupan yang bersifat (das sholen). Adanya aturan tidak boleh membunuh merupakan prinsip dasar (baca: nilai), bagi Kant Prinsip ini tidak berasal dari pengalaman melainkan dari pemikiran transendental, kemudian prinsip ini jugalah yang nantinya bermetamorfosis menjadi Norma, (FX. Adji Samekto, 2015:14).
Dalam konsep Hukum terdapat Hans Kelsen sebagai ahli Hukum sekaligus pencetus teori Hukum Murni, jika ditelisik pemikiran Kelsen, maka akan kita temukan kesamaan antara konsep Kant tentang adanya Nilai Ideal dengan pemikiran kelsen tentang Norma dasar (Grundnorm). Bagi Kelsen, Norma dasar merupakan sesuatu yang dikehendaki yang bersumber dari keinginan yang diobjektifikasi dari kehendak bersama, oleh sebab itu maka norma dasar tidak berubah-ubah, (FX. Adji Samekto, 2015:14).
Posisi Norma Dasar (Grundnorm) dalam konsep Hukum Indonesia, diduduki oleh Pancasila sebagai Sumber Hukum, Produk Hukum merupakan konkretisasi dari nilai-nilai Pancasila, jadi dalam hal ini, bahwa terjawab sudah ada legitimasi Teori dalam praktik pembentukan Hukum di Indonesia yakni berdasarkan Ideologi. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Indonesia secara tersirat juga mengatur tentang berjalannya Negara berdasarkan pada nilai-nilai luhur, salah satunya seperti pembentukan Hukum. Dalam pembukaan UUD 1945 dijelaskan “Maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Kedudukan Pembukaan UUD 1945 bukan hanya sekedar simbol semata. Frans Magnis Suseno menyatakan bahwa terdapat korelasi erat antara pembukaan dengan batang tubuh UUD 1945, pembukaan menurut Hans Kelsen merupakan bagian tradisional konstitusi yang merupakan pengantar hidmat berisi ide-ide politik, moral dan dikemukakan oleh konstitusi tersebut, dan lebih lanjut menurutnya bahwa pembukaan ini lebih mengandung karakter Ideologis daripada karakter Hukum, (Rudy, 2013:129).
Karakter ideologis yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 menjadi landasan dalam sistem Hukum Indonesia. Dalam pasal 1 Ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum”, artinya bahwa berjalanya Negara Indonesia harus berpedoman pada Hukum. Esensi dari Negara Hukum ialah menciptakan ketertiban dan keteraturan melalui peraturan perundang-undangan, pun dapat pula dikatakan bahwa kehadiran Negara Hukum ialah untuk menjamin serta mengatur kebebasan tiap-tiap individu.
Pengaturan terhadap kebebasan, dilakukan dengan pembatasan kebebasan melalui peraturan perundang-undangan, dasarnya pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” kemudian dalam Pasal 29 Ayat (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jabaran pasal di atas menurut hemat penulis sudah jelas bahwa dalam pembuatan produk Hukum pertimbangan Nilai baik moral, agama maupun budaya menjadi unsur paling penting. Jabaran di atas mengenai praktik Hukum di Indonesia dalam melihat apakah pembentukan harus sesuai Ideologi ataukah tuntutan masyarakat, hasilnya menurut penulis bahwa sejatinya tuntutan masyarakat sejalan dengan nilai-nilai yang dianut mereka, misalnya; tuntutan untuk dilindungi hak-hak tiap individu, merupakan manifestasi dari nilai-nilai luhur yakni bahwa pelanggaran terhadap hak-hak individu merupaka suatu hal yang buruk. Artinya bahwa nilai-nilai yang Ideal menjadi penentu. Namun ini bukan satu hal yang mutlak, namun yang pastinya dalam praktik Hukum di Indonesia, pembentukan Hukum berlandaskan pada Ideologi Hukum Indonesia yakni Pancasila.