Kegagalan Institusional atas Perlindungan Merek
6 min readKegagalan Institusional atas Perlindungan Merek – Dalam kegiatan bisnis modern, merek merupakan rezim kekayaan intelektual yang memberi dampak paling signifikan. Ia menjadi aset penting bagi para pelaku bisnis untuk menunjukkan nilai dari produk yang mereka tawarkan. Di sini, ketika melihat produk dengan merek tertentu, seseorang akan cenderung mengasumsikan merek sebagai jaminan kualitas dari produk tersebut (Barnes, 2006: 28-29). Lalu, seiring waktu, kecenderungan tiap orang untuk mengasosiasikan merek dan produk akan mendorong timbulnya segmentasi gaya hidup masyarakat. Orang berlomba untuk mengonsumsi produk bermerek tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan manfaat maksimal dari produk, tetapi juga untuk menunjang status sosial. Fenomena ini terjadi secara kontinu dan berdampak pada peningkatan angka konsumerisme pasar (Bhatia & Kurana, 2020: 2-4).
Fungsi merek yang demikian adalah alasan mengapa merek seringkali menjadi objek sengketa di antara pemilik hak atas merek dan pelanggar hak merek. Sengketa merek melibatkan segelintir perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelanggar, seperti peniruan, pendomplengan, hingga penyesatan produk yang dilekati merek. Tindakan-tindakan tersebut menguntungkan pihak pelanggar sebab ia berhasil meraih reputasi dan prospek ekonomi pemilik hak merk. Sebaliknya, tindakan-tindakan tersebut merugikan pihak pemilik hak merek sebab ia harus menderita kerugian materiil dan imateriil. Kerugian materiil berkaitan dengan proyeksi keuntungan, sedangkan kerugian imateriil berkaitan dengan reputasi dan kualitas produk. Khusus kerugian imateriil, audiens yang menikmati produk dengan merek yang dilanggar juga dapat menderita kerugian meskipun tarafnya relatif lebih kecil.
Fenomena pelanggaran hak merek secara umum terjadi di beberapa negara termasuk di Indonesia. Merujuk pada situs daring direktori putusan Mahkamah Agung, per tahun 2022, total kasus sengketa merek telah mencapai angka sekitar 900 kasus dengan cakupan penanganan perkara perdata dan pidana, baik yang telah berkekuatan hukum tetap maupun yang tengah diproses. Beberapa di antaranya bahkan telah menjadi landmark case yang mengandung preseden bagi penanganan sengketa merek. Namun, banyaknya kasus sengketa merek ini didukung oleh dua faktor. Faktor pertama adalah signifikansi peranan merek bagi dunia bisnis yang tidak jauh dari persoalan ekonomi dan reputasi. Faktor kedua adalah kegagalan institusi yang berhubungan langsung dengan pelindungan merek.
Secara konkrit, institusi terkait gagal dalam memahami hakikat pelindungan merek dan melulu bertumpu pada dogma peraturan yang substansinya tidak komprehensif. Kita dapat menemukan hal ini di tingkat administrasi hingga pada pemeriksaan pengadilan. Terlebih dalam proses administrasi, pelindungan merek dari institusi terkait belum terlalu ketat. Jika institusi terkait memberikan performa yang mumpuni ketika mengelola proses pelindungan merek, maka sengketa merek barangkali tidak akan terjadi atau minimal dapat dikurangi.
Sebagai contoh, dalam Putusan Nomor 264/K/Pdt.Sus-HKI/2015, Mahkamah Agung memutus bahwa merek IKEA yang dimiliki pihak Pemohon Kasasi harus dihapus dan tidak lagi mendapatkan pelindungan dari negara. Ini disebabkan Pemohon Kasasi tidak menggunakan merek IKEA selama tiga tahun berturut-turut sehingga memenuhi kondisi merek non-use, seperti diatur dalam ketentuan Pasal 61 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Hakim yang memeriksa perkara hanya mengacu pada ketentuan tersebut dan tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh pihak Pemohon Kasasi mengenai kegiatan operasional bisnis produk dengan merek IKEA. Ini merupakan salah satu contoh yang sangat ideal mewakili kegagalan institusional atas pelindungan merek.
Kegagalan institusional pada kasus di atas ditengarai oleh kurangnya pemahaman hakim atas konstruksi hukum pelindungan merek yang sepenuhnya berorientasi pada kepentingan bisnis. Sebagaimana telah disinggung, merek berperan penting dalam menunjang reputasi dan prospek ekonomi bagi pemilik hak merek. Ketika suatu merek ditiru atau dipalsukan, maka ada potensi niat pelakunya untuk merenggut reputasi dan prospek ekonomi tersebut (Bently & Dinwoodie, 2008: 3-4). Meskipun merek IKEA milik Pemohon Kasasi memang memenuhi kondisi merek non-use, tetapi Mahkamah Agung seharusnya mempertimbangkan bahwa ada niat dari pihak Termohon Kasasi untuk mendompleng merek IKEA mengingat sepak terjangnya di kancah nasional dan internasional. Bukti-bukti yang disampaikan oleh pihak Pemohon Kasasi, seperti lingkup distribusi produk, angka penjualan, dan survei popularitas merek, juga memperkuat potensi pendomplengan itu.
Contoh selanjutnya yang menunjukkan kegagalan institusional atas pelindungan merek terdapat dalam Putusan Nomor 450 K/Pdt.Sus-HKI/2014 yang melibatkan perusahaan Toyota selaku Pemohon Kasasi dan Welly Karlan selaku Termohon Kasasi. Pihak Pemohon merupakan pemilik merek Lexus dan sebelumnya menggugat pihak Termohon karena telah membuat merek Prolexus. Baik pada tingkat pertama maupun pada tingkat kasasi, Pemohon mengalami kekalahan karena tidak mampu membuktikan itikad tidak baik dari Termohon untuk mendompleng merek. Selain itu, hakim yang memeriksa perkara juga menyatakan bahwa gugatan yang disampaikan Pemohon pada pengadilan tingkat pertama bersifat daluwarsa.
Pada kasus di atas, hakim tidak pertimbangan potensi pendomplengan merek. Alih-alih meninjau konsep pelindungan merek secara universal, hakim hanya berpegang teguh pada peraturan yang nyatanya belum memiliki ketentuan komprehensif. Hakim juga seolah mengabaikan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon mengenai reputasi merek Lexus beserta preseden terdahulu yang mendukung reputasi merek tersebut, sehingga hakim luput melihat kemungkinan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menumpangi popularitasnya.
Memang, kita tidak bisa menafikan fakta bahwa rintangan terbesar pada dua kasus di atas adalah peraturan hukum pelindungan merek yang saat itu belum cukup memadai. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek belum mengatur pelindungan eksklusif bagi merek-merek bereputasi prima untuk tetap dapat menggugat merek yang mendompleng dalam jenis kelas yang berbeda dan belum pula mengatur ketiadaan batasan waktu pengajuan gugatan oleh pemilik merek terkenal. Kita perlu mengapresiasi pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang telah memfasilitasi persoalan-persoalan tersebut. Namun, peraturan yang memadai saja tidaklah cukup untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi proses pelindungan merek. Kita tetap harus mengawasi institusi yang menjalankan peraturan itu sebab kegagalan institusional masih berlanjut seperti yang akan dijelaskan berikut.
Pada kasus Lexus melawan Prolexus, terdapat fakta yang menunjukkan bahwa kedua merek sama-sama berstatus terdaftar. Prolexus didaftarkan pada tanggal 29 September 2000 pada jenis kelas 25 dengan nomor pendaftaran 487548, sedangkan Lexus didaftarkan pada tanggal 7 Desember 2012 dengan nomor pendaftaran 378288. Ini tentu membingungkan sebab bagaimana mungkin ada dua merek yang memiliki kemiripan dari segi susunan kata dapat terdaftar. Pertanyaan yang timbul, bukankah jika merek kedua merek itu terdaftar dan legal untuk dilekatkan pada produk yang beredar luas di pasaran, maka akan menimbulkan kebingungan di masyarakat? Atau jika keduanya terdaftar dan beredar, maka setidaknya akan menciptakan persepsi bahwa produk-produk dengan dua merek tersebut dibuat oleh satu pihak yang sama dan memiliki jaminan kualitas serupa? Persoalan ini menyentuh ranah administrasi pendaftaran merek yang menjadi tanggung jawab dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (“DJKI”) dan sekali lagi menunjukkan kegagalan institusional atas pelindungan merek. Terlepas dari status terdaftarnya merek Prolexus yang mendahului merek Lexus, DJKI telah gagal untuk melihat kemungkinan pendomplengan merek oleh pihak Termohon dan tidak mempertimbangkan reputasi merek Lexus yang telah mendunia dalam pasar produksi otomotif.
DJKI juga telah gagal ketika mengelola proses administrasi pelindungan merek dalam kasus MS Glow melawan PS Glow pada Putusan No. 2/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN Niaga Mdn. Kasus ini berfokus pada gugatan terhadap pemolik merek PS Glow yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek MS Glow yang telah terdaftar. Mulanya, permohonan pendaftaran merek PS Glow ditolak dengan alasan serupa. Lalu, pemohon merek PS Glow mengajukan banding kepada Komisi Banding Merek yang berada di bawah naungan DJKI dan Komisi Banding Merek kemudian meloloskan pendaftaran merek PS Glow. Bagaimana mungkin Komisi Banding Merek dapat meloloskan pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek yang telah terdaftar? Padahal, dua merek tersebut berada dalam kelas yang sama dan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis telah mengatur hal ini.
Barangkali kegagalan institusional atas pelindungan merek merupakan sebuah keniscayaan. Ia akan tetap akan ada sekalipun substansi peraturan perundang-undangan di bidang merek telah diatur dengan begitu komprehensif. Betapapun baiknya peraturan itu, ia tak akan lebih dari sekadar omong kosong jika yang menegakkannya bermasalah. Untuk itu, peraturan yang baik masih membutuhkan institusi penggerak yang sama baiknya agar ia dapat berjalan efektif. Demi mencapai hal tersebut, perlu adanya pembenahan bagi institusi yang berhubungan langsung dengan pelindungan merek, baik dari sisi internal yang menekankan pada implementasi kode etik maupun dari sisi eksternal yang menekankan pada upaya pengawasan. Harapannya, akan tercipta sistem pelindungan merek yang mumpuni dan mendorong pertumbuhan positif bagi ekosistem dunia bisnis di Indonesia.