Bersihkan Institusi Penegak Hukum Dari Tebang Pilih Perkara – Intitusi penegak hukum adalah salah satu pilar dalam penerapan rule of law di Indonesia. Proses penegakan menjadi cermin dari entitas suatu nilai yang ada dalam masyarakat. Jika respon masyarakat terhadap institusi penegak hukum lemah maka apa yang tercantum dalam UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum menjadi keniscayaan. Dalam teori konfigurasi politik, hukum bersifat responsif karena hukum berasal dari masyarakat dan tidak boleh represif karena akan menimbulkan kekacauan politik, namun dalam pelaksanaan penegakan hukum, hukum tidak boleh dipolitisasi karena ranah penegakan hukum sudah menyangkut pelaksanaan dari konstitusi.
Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemerdekaan ini diartikan adalah merdeka dari siapa pun tanpa adanya tebang pilih demi menegakkan hukum dan keadilan. Keadilan untuk siapa keadilan yang sebesar-besarnya untuk korban dan siapakah korban itu, orang yang patut diduga telah melakukan tindak pidana.
Dalam Kasus Budi Gunawan dan Bambang Widjojanto telah mengikutsertakan institusi penegak hukum antara Komisi Pemberantasan Korupsi versus Kepolisian Republik Indonesia tentang penetapan keduanya menjadi tersangka, ini menjadi sangat mengganggu terhadap mekanisme proses pemberantasan korupsi di Indonesia dan ketatanegaraan kita, dengan keduanya ditetapkan menjadi tersangka maka reputasi dari institusi penegak hukum telah dipertanyakan, keduanya dianggap telah memenuhi 2 (dua) alat bukti yang sah untuk ditetapkan menjadi tersangka namun demikian yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah kapan tidak pidana itu dilakukan dan mekanisme prosedur penetapan menjadi tersangka menjadi pertanyaan publik saat ini.
Perlu Standard Operating Procedure (SOP) yang Jelas dalam Penegakan Hukum
Perlu Standard Operating Procedure (SOP) yang jelas dalam penegakan hukum, baik yang berkaitan dengan penangkapan, penggeledahan, dan penahanan, penuntutan sampai menuju proses persidangan hingga berakhir pada putusan inkracht. Seseorang menjadi tersangka atau terdakwa bahkan saksi sekali pun patut dilindungi hak dan kemerdekaannya di muka hukum agar peradilan ini bersifat fairness tanpa memandang status kedudukan dan jabatan, siapa saja yang patut diduga telah melakukan tindak pidana harus diproses dengan asas cepat, sederhana dan biaya ringan.
Melihat kondisi saat ini kasus-kasus yang masuk dalam ranah pengadilan dinilai lambat dan berbelit-belit, ini pun akan menyalahi undang-undang, hal ini dapat dilihat dengan menumpuknya perkara di pengadilan dan penyidikan yang berjalan lambat dan cenderung menggunakan masa penahanan maksimal, padahal jika dilihat dari jenis pidana, jika seseorang patut diduga telah melakukan tindak pidana dan unsur-unsur telah dipenuhi maka segera proses ke pengadilan, selain menjamin kepastian hukum juga perlindungan terhadap martabat manusia. Hal ini tidak terjadi di negara kita, perkara yang diajukan bisa memakan waktu yang lama dengan alasan masih ada perpanjangan masa penahanan dan belum P21, ini sebenarnya diperbolehkan namun bertentangan dengan asas hukum pidana. Seharusnya mekanisme dan prosedur dalam penyidikan harus lebih jelas dan tegas agar terjaga kualitas dan integritas dalam proses penyidikan sehingga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum khususnya penyidik akan menjadi pioneer utama dalam lini penegakan hukum yang efektif dan bermartabat baik penyidik KPK maupun penyidik POLRI.
Mekanisme Integrated Criminal Justice System
Tujuan hukum adalah untuk keadilan dan orientasinya untuk daya guna bagi masyarakat banyak serta peningkatan martabat kemanusiaan. Bukan sekedar sebagai instrumen kelestarian kekuasaan suatu rezim. Hal ini mengisyaratkan bahwa pembentukan undang-undang secara prosedural tidak boleh melanggar kaidah konstitusi, sehingga penyimpangan secara fundamental harus dihindarkan. Oleh sebab itu penjatuhan pidana bukan semata-mata menghukum dengan seberat-beratnya namun demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan rasa aman di masyarakat serta demi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Hubungan koordinasi dari institusi penegak hukum sebagai penggerak dalam meningkatkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat lebih dikedepankan sehingga akan menjamin terhadap nilai keadilan dan kepastian hukum sendiri, bukan sebagai mata rantai yang panjang dan berbelit-belit dalam urusan penegakan hukum, seharusnya institusi itu menjadi jembatan dalam lahirnya pola pencarian keadilan dan kebenaran. Dengan adanya Integreted Criminal Justice System dalam institusi penegak hukum, di antaranya polisi/penyidik, jaksa, hakim, advokat sampai Lembaga Pemasyarakatan, harus memiliki tugas dan fungsi yang jelas tanpa pandang bulu dan tidak tebang pilih jika ada indikasi patut diduga melakukan tindak pidana maka segera lakukan penyidikan dan penyelidikan, sehingga tidak ada kasus yang baru 5 atau 10 tahun kemudian baru dilakukan penyidikan sehingga barang bukti dan alat bukti yang patut diduga sebagai hasil kejahatan untuk dijadikan alat bukti masih ada dan tersimpan rapi atau bahkan sudah musnah/hilang.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum tidak boleh disamakan dengan proses pembuatan produk hukum hasil dari mekanisme politik, perkara muncul dan hilang sesuai pesanan politik. Yang perlu dibenahi adalah memperjelas SOP dalam institusi penegak hukum secara efektif dan berkualitas sehingga input dan output yang dihasilkan jelas dan terukur, Seperti contoh jika perkara yang sudah diproses dalam penyidikan membutuhkan waktu berapa lama untuk tiap-tiap perkara dengan spesifik masalah sampai bukti dianggap lengkap, jangan sampai kasus pencurian ayam misalkan disamakan dengan kasus korupsi atau narkoba atau sebaliknya memakan waktu yang lama untuk kasus-kasus tertentu, sehingga menjadi tebang pilih dalam penegakan hukum dan tidak bisa diukur dengan prosedur kualitas dan kuantitas proses peradilan.
Dalam kerangka mendorong sistem peradilan pidana terpadu (integreted criminal justice system) dengan terciptanya sistem peradilan pidana yang mampu menghadirkan keadilan dengan peradilan yang adil dan tidak memihak sesuai dengan prinsip- prinsip fair trial maka diharapkan institusi penegak hukum mampu menjadi penyeimbang dalam gerak dan langkah dalam proses pidana baik itu pidana formil, pidana materiil maupun pelembagaan peradilan pidana, sejauh mana efek dari tingkat pidana itu mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat selama ini sehingga tidak terjadi penumpukan perkara di pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang over capacity serta tingkat kejahatan yang tiap tahun semakin meningkat maka perlu kecermatan dan kehati-hatian serta sikap bijak dalam menyikapi persoalan korban, saksi maupun terpidana dalam satu koridor menegakkan kebenaran dan keadilan untuk menurunkan angka kriminalitas. Melakukan komunikasi dan koordinasi antar institusi penegak hukum secara baik, profesional, transparan dan kredibel serta berintegritas juga perlu untuk dilakukan.
Mekanisme Diskresi
Penegakan hukum nantinya juga tidak lepas dari diskresi dengan tiga syarat yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Diskesi dilakukan karena adanya ketiga hal tersebut di atas salah satunya demi menyelamatkan kepentingan umum. Jika demi kepentingan umum dianggap cocok dalam mengambil langkah untuk diskresi maka kebijakan ini pun harus dikonsultasikan dan dikomunikasikan dengan pimpinan tertinggi dalam memutuskan perkara dan melalui uji publik terlebih dahulu sehingga tidak melanggar asas asas umum pemerintahan yang baik.
Perkara ini layak untuk dilakukan diskresi jika ini menyangkut nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga layak untuk memperoleh hak istimewa dan diskresi juga dipergunakan bukan untuk memperoleh imbalan, hadiah atau jasa yang berakibat pada gratifikasi tapi ini murni akan dikembalikan lagi kepada ranah hukum yang konstitusional. Diskresi juga bukan menjadi alasan dalam tebang pilih perkara.
Tinggalkan Balasan