Lemahnya Perlindungan Hukum Bagi Buruh Wanita
5 min readLemahnya Perlindungan Hukum Bagi Buruh Wanita – Pekerjaan merupakan suatu hal yang sangat krusial yang harus dimiliki dan di lakukan oleh setiap orang. Karena tanpa pekerjaan seseorang tidak akan memperoleh uang yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Lazimnya, yang berkewajiban untuk mencari nafkah agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya adalah kaum laki-laki sebagai suami. Namun, dewasa ini banyak juga kaum perempuan yang melakukan suatu pekerjaan dengan tujuan untuk membantu suaminya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Biasanya kaum perempuan tersebut bekerja pada perusahaan-perusahaan swasta dan kebanyakan bekerja sebagai buruh pabrik.
Banyak diberitakan di media massa atau elektronik tentang pekerja perempuan yang kurang diperhatikan oleh perusahaan dalam hal kesejahteraan atau diperlakukan dibawah pekerja laki-laki. Buruh perempuan banyak dieksploitasi oleh pengusaha dan terkadang di PHK secara semena-mena oleh perusahaan. Hal-hal tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat didalam UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Di dalam UU tersebut telah diatur secara jelas dan lengkap mengenai hak dan kewajiban buruh/pekerja wanita yang harus dipenuhi oleh pihak pengusaha.
Hak dan kewajiban buruh/pekerja wanita tidak hanya diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tetapi juga diatur di dalam peraturan-peraturan lainnya, mulai UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat (2), UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi ILO No. 111 tentang Anti- Diskriminasi Jabatan dan Pekerjaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 21 Tahun 1999, dan Konvensi ILO No. 100 tentang Kesetaraan Upah yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 80 Tahun 1957.
Di dalam peraturan perundang- undangan tersebut telah diatur secara lengkap mengenai apa saja hak dan kewajiban dari buruh/pekerja wanita serta bagaimana seharusnya buruh/pekerja wanita diperlakukan oleh pihak pengusaha. Namun, pada kenyataannya masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam peraturan-peraturan tersebut. Pelanggaran-pelanggaran tersebut umumnya berupa kekerasan seksual, diskriminasi terhadap upah dan jabatan, serta pelanggaran terhadap ketentuan yang mengatur mengenai kesehatan reproduksi buruh wanita, yang meliputi cuti haid, cuti hamil, dan menyusui.
Berkaitan dengan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh buruh/pekerja wanita, berdasarkan catatan tahunan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan tahun 2012 terdapat 216.156 kasus kekerasan seksual dan sebanyak 2.521 kasus kekerasan seksual tersebut dialami oleh buruh/tenaga kerja wanita (kompas.com: 75 Persen Buruh Wanita di Jakarta Alami Kekerasan Seksual, 19 April 2013). Data tersebut bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh 329 Pengadilan Agama (data BADILAG), 87 PN dan PM (data BADILUM) dan 2 UPPA (data UPPA) serta 12.649 kasus yang ditangani oleh 225 lembaga mitra pengada layanan (politikrakyat.com: Konferensi Perempuan Jakarta Melawan Bebas Kekerasan Seksual, 24 Juli 2013). Kekerasan seksual yang mereka alami tersebut terjadi tidak hanya di dalam lingkungan perusahaan namun juga di luar lingkungan perusahaan. Kekerasan seksual yang mereka alami di dalam lingkungan perusahaan biasanya dilakukan oleh atasan atau teman sepekerja mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan kekerasan seksual yang mereka alami di luar lingkungan perusahaan biasanya disebabkan karena mereka pulang larut malam karena lembur.
Dalam Pasal 86 ayat (1) huruh b dan c UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlindungan atas moral dan kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Kemudian dalam ketentuan Pasal 76 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 WIB – pukul 07.00 WIB wajib menjaga kesusilaan dan keamanaan selama di tempat kerja, serta pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 WIB – pukul 05.00 WIB wajib menyediakan angkutan antar-jemput bagi buruh yang bekerja pada rentang waktu tersebut.
Dalam Pasal 86 ayat (1) huruh b dan c, dan Pasal 76 ayat (3) dan (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur secara jelas dan lengkap mengenai kewajiban yang harus di penuhi oleh pengusaha terhadap para pekerja/buruh wanita nya agar kasus atau tindakan kekerasan seksual terhadap pekerja/buruh wanita tidak terjadi. Namun, melihat dari banyaknya jumlah kasus kekerasan seksual yang masih terjadi sampai saat ini sebagaimana telah digambarkan di atas, berarti menunjukkan bahwa masih banyak pihak pengusaha yang belum benar-benar menjalankan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 86 dan Pasal 76 tersebut. Padahal, menjaga kesusilaan para pekerjanya merupakan salah satu kewajiban pengusaha yang harus benar-benar dilaksanakan.
Kemudian berkaitan dengan kasus diskirminasi terhadap upah yang dialami oleh buruh/tenaga kerja wanita, menurut International Labour Organization (ILO) masih ada kesenjangan upah antargender di Indonesia dengan selisih hingga 19% pada tahun 2012. Perempuan memperoleh upah rata-rata sebesar 81% dari upah laki-laiki, meskipun memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang sama (gajimu.com: Wujudkan Upah yang Setara bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan). Sampai saat ini belum diketahui latar belakang apa yang menyebabkan terjadinya diskrimasi upah yang diterima oleh buruh/tenaga kerja wanita dengan buruh/pekerja pria. Namun, ada asumsi yang mengatakan bahwa wanita selalu dianggap lajang karena upah yang diterima oleh buruh/pekerja wanita hanya sebagai pelengkap dari upah yang diterima oleh suaminya. Oleh karena itu sampai saat ini diskriminasi upah yang diterima oleh buruh/pekerja wanita dengan buruh/pekerja pria masih terjadi.
Dalam ketentuan Pasal 88 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian dalam ketentuan Pasal 1 huruh b Konvensi ILO No. 100 tentang Kesetaraan Upah sebagaimana telah diratifikasi dengan UU No. 80 Tahun 1957 diatur bahwa istilah pengupahan yang sama bagi buruh laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya merujuk kepada nilai pengupahan yang diadakan tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.
Jika mengacu kepada ketentuan Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003 dan ketentuan Pasal 1 Konvensi ILO No. 100 sebagaimana telah diratifikasi dengan UU No. 80 Tahun 1957 seharusnya kesenjangan upah antargender yang di Indonesia tidak terjadi. Karena didalam kedua ketentuan UU tersebut telah diatur dengan jelas bahwa pihak pengusaha harus memberikan upah yang layak sesuai dengan jenis pekerjaannya tanpa harus membedakan jenis kelamin. Jadi, jika buruh/pekerja wanita melakukan pekerjaan yang sama dengan yang dilakukan oleh buruh/pekerja pria, maka upah yang diterima oleh si buruh/pekerja wanita tersebut harus sama dengan upah yang diterima oleh buruh/pekerja tersebut.
Asumsi yang mengatakan bahwa buruh/tenaga kerja wanita selalu dianggap lajang karena upah yang mereka terima hanya sebagai pelengkap dari upah yang diterima oleh suaminya tersebut tidak sepenuhnya salah. Karena memang kewajiban untuk mencari nafkah ada pada suami. Namun, asumsi tersebut tidak dapat dijadikan dasar terjadinya diskriminasi upah tersebut. Karena buruh/pekerja wanita tersebut melakukan jenis pekerjaan yang sama dan resiko yang akan timbul dari pekerjaan yang dilakukannya tersebut adalah sama dengan pekerjaan yang dilakukan oleh buruh/pekerja pria. Sehingga sudah sepantasnya jika upah yang mereka terima nantinya pun harus sama dengan upah yang diterima oleh buruh/tenaga kerja pria.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini masih banyak terjadi kekerasan seksual dan diskriminasi upah yang dialami oleh buruh/pekerja wanita yang disebabkan karena pihak perusahaan yang belum mampu memenuhi standar perlindungan yang harus diberikan kepada buruh/pekerja wanita sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan buruh/pekerja wanita. Kasus-kasus dan diskriminasi yang dialami oleh para buruh/pekerja wanita tersebut tidak akan pernah berakhir jika pihak pengusaha tidak mau untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan buruh/pekerja wanita dan selama Pemerintah tidak memberikan sanksi yang tegas kepada pihak pengusaha yang telah melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama yang baik diantara semua pihak yang terkait agar kasus-kasus dan diskriminasi yang biasa dialami oleh buruh/pekerja wanita tidak akan terjadi lagi dengan cara mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan tersebut.