Quo Vadis Hukum Maritim – Upaya pengembangan budaya maritim sangat penting dilakukan dalam rangka peningkatan ekonomi kelautan, perlindungan nelayan, dan terjaganya kelestarian lingkungan laut serta kedaulatan laut nusantara. Upaya strategis yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan menguatkan kebijakan nasional di sektor kelautan, seperti penguatan hukum atau regulasi.
Hukum maritim telah berkembang di Eropa Barat sejak Hugo Grotius dengan Mare Liberium (1609), konferensi Den Haag (1930), konferensi Genewa (1958) dan Konvensi Hukum Laut Internasional (KHLI) atau UNCLOS 1982. Berlakunya UNCLOS 1982 secara efektif setelah enam puluh negara meratifikasi pada tahun 1994, membawa dampak bagi bangsa Indonesia yang telah meratifikasinya melalui UU No. 17 Tahun 1985. Di satu sisi luas laut dengan kandungan kekayaan alam yang melimpah semakin besar, sedang di sisi lain tanggung jawab pengelolaan dan pengamanannya cukup kompleks serta rawan terhadap pelanggaran hukum.
Pengembangan hukum maritim perlu dilakukan Indonesia sebagai sebuah Negara maritim. Penguatan kemaritiman merupakan salah satu visi Presiden Jokowi yang tercantum dalam Nawa Cita, serta agenda RPJPN 2005 – 2025 juga telah digariskan bahwa kebijakan kelautan Indonesia salah satunya adalah membangkitkan kembali wawasan dan budaya bahari. Hal itu dapat dilakukan dengan menjadikan laut sebagai modal dasar pembangunan nasional seperti sebelum masa penjajahan kolonial.
Kebijakan ini semakin menguat sejak disahkannya UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan, menyusul UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dengan lahirnya UU Kelautan, maka Indonesia menjadi satu dari sedikit negara di dunia, yang memiliki UU yang menempatkan laut sebagai subjek penting dalam kerangka pembangunan nasionalnya.
Sayangnya, meski telah disahkannya UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan, masih terdapat beberapa permasalahan yang penting untuk segera diselesaikan. Misalnya mengenai pembagian kewenangan Pusat dan Daerah dalam pengelolaan laut; mekanisme penyelesaian konflik antar negara dalam pengelolaan SDA Kelautan; penghitungan dampak pelanggaran hukum dan pencemaran laut; pembatasan keikutsertaan asing dalam pengelolaan SDA di laut; pembatasan kepemilikan individu dan korporasi dalam pengelolaan SDA laut; keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan SDA di laut; serta mekanisme penyelesaian konflik antara masyarakat adat dan hukum nasional dalam pengelolaan SDA kelautan. Beberapa permasalahan tersebut masih belum tergambar pengaturannya dalam UU Kelautan ini sehingga perlu dipikirkan untuk disempurnakan kembali melalui amandemen UU Kelautan.
Dalam UU kelautan belum ada pembagian kewenangan dan pedoman hubungan tata kerja antar sektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan dan pengelolaan SDA laut. Hubungan dan tata kerja dimaksud harus sejalan dengan kebijakan dan kepentingan nasional. Meskipun terdapat pasal-pasal yang menyebutkan kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana terlihat dalam Pasal 14, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 35, Pasal 38, Pasal 40, Pasal 51, Pasal 55, Pasal 70, tetapi belum ada penegasan pembagian kewenangan. Hal ini berarti bahwa pembagian kewenangan dalam UU Kelautan masih harus mengacu pada kewenangan yang diatur oleh UU Pemerintah Daerah (UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah Perppu No 2 Tahun 2014).
Pembatasan keikutsertaan asing dalam pengelolaan SDA laut Indonesia dan mengedepankan kepemilikan/keikutsertaan nasional dalam pengelolaan SDA laut masih belum diatur dalam UU Kelautan. Pembatasan keikutsertaan asing dalam UU Kelautan ini dapat ditemukan dalam Pasal 39 tetapi hanya disebutkan secara tegas dalam hal melaksanakan penelitian saja. Seharusnya pembatasan keikutsertaan asing juga disebutkan dalam hal pengelolaan SDA Laut.
Selain itu, belum adanya aturan yang jelas tentang pembatasan kepemilikan dan pengelolaan individu dan korporasi atas SDA Laut. Pembatasan kepemilikan dan pengelolaan individu dan korporasi atas SDA-LH dalam UU Kelautan hanya dimaknai sebagai “kewajiban memiliki ijin”. Hal ini terlihat dari Pasal 47 dan 49 UU Kelautan.
Kewajiban menghitung dampak negative yang akan muncul dalam pemanfaatan SDA laut dan memasukkannya dalam biaya pengelolaan SDA laut (internalization of externalities) juga belum terlihat. Hal ini penting untuk memastikan adanya biaya pengelolaan yang dialokasikan, disalurkan dan digunakan untuk memperbaiki dampak negative tersebut (pencemaran atau kerusakan lingkungan). Meski disebutkan bahwa penerapan sanksi Pencemaran berdasarkan prinsip pencemar membayar sebagaimana dapat diamati dari Pasal 52 dan 54, tetapi dari pasal tersebut belum kelihatan aturan yang mengatur kewajiban menghitung dampak negative yang akan muncul dalam pemanfaatan SDA laut dan memasukkannya dalam biaya pengelolaan SDA laut (internalization of externalities). Belum kelihatan juga aturan yang mencakup pengelolaan keuangan yang memastikan adanya biaya pengelolaan yang dialokasikan, disalurkan dan digunakan untuk memperbaiki dampak negative tersebut (pencemaran atau kerusakan lingkungan).
Disamping itu, dalam UU Kelautan juga belum mengatur secara jelas tentang keterlibatan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan SDA laut secara berkelanjutan. Meskipun masyarakat hukum adat beberapa kali disebutkan dalam UU ini seperti dalam Pasal 28 ayat (3), Pasal 36 ayat (3), Pasal 42 ayat (1), Pasal 70 Ayat (4), tetapi keterlibatan masyarakat hukum adat lebih diarahkan sebatas bidang wisata bahari. Selain itu juga belum ada aturan yang jelas tentang pengakuan dan mekanisme penyelesaian sengketa apabila ada perbedaan antara masyarakat hukum adat dan hukum Negara dalam pengelolaan SDA laut.
Selain beberapa persoalan dalam UU kelautan tersebut, terdapat beberapa persoalan yang harus segera disikapi melalui kombinasi pendekatan ekonomi dan pendekatan pertahanan dan keamanan (Hankam). Permasalahan tersebut adalah Penegakan batas-batas wilayah laut Indonesia dengan negara tetangga. Di laut, wilayah Indonesia langsung berbatasan dengan 10 negara yaitu Australia, Filiphina, India, Malaysia, Palau, Papua Nugini, Singapura, Timor Leste, Thailand dan Vietnam. Meski saat ini Indonesia telah berhasil mencapai persetujuan tentang garis teritorial, ZEE dan landas kontinennya dengan hampir semua negara tentangga tersebut, tetapi perlu pengawalan secara terus-menerus implementasinya di laut agar dapat dijaga dan ditegakkan.
Pengawalan batas wilayah dan yurisdiksi negara di laut sangat diperlukan guna memantapkan kesatuan wilayah dan dapat menjamin kepentingan nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan segera mengoptimalkan Badan Keamanan Laut menggantikan Badan Koordinasi Keamanan Laut sebagaimana diamanatkan UU Kelautan.
Di samping itu, pembangunan ekonomi kelautan dan wilayah perbatasan juga perlu dilakukan dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah pulau-pulau terpencil khususnya pembangunan yang berbasis gugusan pulau; serta mewujudkan kekuatan maritim (Sea Power) dalam rangka penegakan kedaulatan dan kemakmuran bangsa.
Untuk itu diperlukan paradigma yang mengutamakan kelautan sebagai platform pembangunan nasional, sehingga diperlukan satu national ocean policy yang mengakomodir kepentingan seluruh stakeholders di bidang kelautan.
Tinggalkan Balasan