Wacana Pengurangan Jam Kerja Bagi Perempuan Ditinjau Dari Peraturan Ketenagakerjaan Dan HAM Di Indonesia
9 min readWacana Pengurangan Jam Kerja Bagi Perempuan Ditinjau Dari Peraturan Ketenagakerjaan Dan HAM Di Indonesia – Wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan diusulkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), setelah menerima masukan dari organisasi Persatuan Umat Islam (PUI) yang diwakili oleh ketua umumnya, Nurhasan Zaidi (selasa, 25 November 2014). Usulan tersebut disampaikan mengingat kekhawatiran akan masa depan generasi bangsa di masa depan.
Namun wacana tersebut ternyata menimbulkan sikap pro dan kontra bukan hanya di kalangan Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Jokowi, tetapi juga di kalangan pelaku usaha dan perempuan itu sendiri. Hal ini bisa saja terjadi karena dalam iklim demokrasi seperti sekarang ini setiap orang bebas untuk menyampaikan aspirasi dan pendapatnya sesuai ketentuan UUD NRI 1945 Pasal 28E.
Grand idea (ide besar) dari wacana ini adalah bagaimana memberikan pendidikan kepada generasi muda sejak dini melalui pendidikan langsung yang dilakukan oleh para perempuan/ibu sehingga anak-anak tidak tergantung kepada pembantu (asisten rumah tangga), atau tempat penitipan anak.
Bagi kelompok yang mendukung wacana tersebut di antaranya,Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men-PAN dan RB), Siti Nurlaila (Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), Menteri Tenaga Kerja, memberikan beberapa hal yang menjadi argumen mereka, antara lain: a) usulan tersebut merupakan hal yang sangat bijak dan manusiawi, mengingat banyak perempuan yang bekerja di luar rumah sehingga mengurangi kesempatan mereka untuk mengurus anak; b) perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk membesarkan anak-anak mereka dengan sentuhan langsung sehingga tumbuh kembang anak menjadi baik dan diharapkan menghasilkan generasi masa depan yang lebih baik; c) walau usulan ini terkesan diskriminatif, namun akan berdampak positif bagi para pekerja perempuan, karena ternyata jam kerja perempuan lebih lama daripada jam kerja laki-laki, dimana setelah mereka pulang kerja, mereka masih disibukkan dengan urusan domestik rumah tangga, pengurangan jam kerja memberikan peluang bagi perempuan untuk tetap bekerja dan memiliki waktu yang cukup untuk keluarga.
Adapun kelompok yang kontra terhadap usulan ini (Komisi Nasional Perempuan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Asosiasi Pengusaha Indonesia, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta), berargumen bahwa: a) wacana ini akan melahirkan diskriminasi, karena ada pembedaan perlakuan antara pekerja perempuan dan pekerja laki-laki. Perempuan akan terbatasi ruang gerak dan ekspresinya dalam mengaktualisasikan dirinya di lingkungan tempatnya bekerja, padahal saat ini sudah dibudayakan persamaan gender dan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki; b) perempuan yang menjadi kepala keluarga akan mengalami kesulitan seiring penghasilan yang berkurang namun beban tanggung jawab keluarga tetap atau tidak berkurang; c) tanggung jawab pengurusan anak bukan hanya berada pada perempuan saja tetapi juga pada laki-laki; d) dari sisi dunia usaha, tentu saja akan mengurangi produktivitas perusahaan dan kinerja karyawan.
Dan bagaimanakah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam menanggapi permasalahan tersebut dan dampak apa yang akan ditimbulkan jika ternyata wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan diimplementasikan baik bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun karyawan/karyawati swasta?
Peraturan perundang-undangan
Dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) Pasal 77 ayat (2), telah diatur tentang pengaturan 7 (tujuh) jam bekerja dalam 1 (satu) hari, dan 8 (delapan) jam bekerja dalam 1 (satu) hari atau 40 (empat puluh) jam kerja dalam seminggu.Kemudian, pemerintah juga harus menjalankan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Pada Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, dalam konsideran Mengingat, dikatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah melanggar asas persamaan hak dan rasa hormat terhadap martabat manusia, merupakan halangan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya negara-negara mereka. Hal ini menghambat perkembangan kemakmuran masyarakat dan menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negara-negara mereka dan terhadap umat manusia.
Ketentuan Pasal 1 Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) yang dimaksud dengan istilah “diskriminasi terhadap perempuan”, berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Hal ini menjelaskan bahwa peranan seorang perempuan dalam bekerja di luar lingkungan rumahnya tidak dapat dibedakan apalagi dibatasi hanya karena perbedaan gender, karena secara ekonomi mereka juga punya hak untuk meningkatkan taraf kehidupannya.Namun sejatinya perempuan juga tidak melupakan kodratnya sebagai seorang ibu, sehingga mengenyampingkan persoalan pendidikan anak-anaknya. Pasal 5 huruf (b) konvensi ini menjamin bahwa pendidikan keluarga melalui pengertian yang tepat mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam membesarkan anak-anak mereka, seyogyanyalah bahwa kepentingan anak- anak adalah pertimbangan utama dalam segala hal. Ada tanggung jawab bersama dalam hal pendidikan anak-anak antara perempuan dan laki-laki, sehingga generasi yang diharapkan dapat terwujud di masa depan.
Mengacu pada Pasal 11 Konvensi ini, ada kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk membuat peraturan- peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dilapangan pekerjaan guna menjamin hak- hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya: (a) Hak untuk bekerja sebagai hak azasi manusia;(b) Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi yang sama dalam penerimaan pegawai;(c) Hak untuk memilih dengan bebas profesi dan pekerjaan, hak untuk promosi, jaminanpekerjaan dan semua tunjangan serta fasilitas kerja, hak untuk rnemperoleh pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang termasuk masa kerja sebagai magang, pelatihan kejuruanlanjutan dan pelatihan ulang lanjutan;(d) Hak untuk menerima upah yang sama, termasuk tunjangan- tunjangan, baik untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan dengan nilai yang sama, maupun persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan;(e) Hak atas jaminan sosial, khususnya dalam hal pensiun, pengangguran, sakit, cacat,lanjut usia, serta lain-lain ketidakmampuan untuk bekerja, hak atas masa cuti yang dibayar; dan (f) Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan.
Dalam Pasal 83 UU Ketenagakerjaan menyebutkan pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Jadi ada waktu yang diberikan oleh perusahaan atau lembaga pemerintah untuk perempuan menyusui anaknya. Hanya saja apakah fasilitas untuk itu sudah ada di setiap tempat para perempuan itu bekerja.
Dalam penjelasan Pasal 5 Undang-Undang ini disebutkan bahwa “Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaandan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliranpolitik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuanyang sama terhadap para penyandang cacat”.DalamPasal 6 “Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik”.
Ini berarti, bahwa hak perempuan dalam bekerja memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki sesuai dengan kompetensi dan skill yang dimilikinya. Perlakuan yang berbeda terhadap pekerja perempuan bukan hanya mengingkari Hak Asasi Manusia (HAM) tetapi juga ada rasa ketidakadilan karena akan mempengaruhi penghasilan yang bersangkutan, apalagi jika diimplementasikan tanpa melalui analisis dan kajian yang mendalam karena dampak yang ditimbulkan bukan hanya saat ini tapi bisa jauh ke depan. Ini juga sesuai dengan Pasal 28Dayat (2) “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” dan Pasal 28I ayat (2) “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Sedangkan dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyebutkan:
(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang
layak.
(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat
syaratketenagakerjaan yang adil.
(3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding,setara atau
serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
(4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat
kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin
kelangsungan kehidupan keluarganya.
Jadi wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan sangat kontradiktif dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Kalaupun usulan ini akan diimplementasikan maka harus dibuat dulu dasar hukumnya (legal standing) agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan dan membingungkan para pihak yang berkepentingan dengan pekerja perempuan.
Kemudian bagaimana jika diskresi (kebijakan) tersebut diterapkan pada PNS. Secara umum apa yang berlaku pada pekerja perempuan tentu saja berlaku pula pada PNS yang berkelamin perempuan, hanya saja perempuan PNS terikat dengan peraturan yang bersifat lex specialis (berlaku khusus) seperti Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS (PP Disiplin PNS), Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tentang Hari Kerja di Lingkungan Pemerintah.
Pada prinsipnya, ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan tidak berlaku bagi PNS. Untuk PNS, yang berlaku adalah UU No. 8 Tahun1974 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian (UU Pokok-Pokok Kepegawaian).
Kedudukan PNS memang berbeda dengan pekerja yang bekerja di sektor swasta. Disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) bahwa Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang- undangan.
Pasal 2 UU ASN mengatakan bahwa Penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada asas non diskriminatif (huruf j) dan keadilan dan kesetaraan (huruf l); dan harus diciptakan lingkungan kerja yang nondiskriminatif serta mendorong kesetaraan dalam pekerjaan (Pasal 4 huruf f dan huruf n).
Pada penjelasan huruf j yang dimaksud dengan “asas nondiskriminatif” adalah bahwa dalam penyelenggaraan manajemen ASN, Komisi ASN (KASN) tidak membedakan perlakuan berdasarkan jender, suku, agama, ras, dan golongan. Sedangkan dalam penjelasan huruf l menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “asas keadilan dan kesetaraan” adalah bahwa pengaturan penyelenggaraan ASN harus mencerminkan rasa keadilan dan kesamaan untuk memperoleh kesempatan akan fungsi dan peran sebagai Pegawai ASN.
Menurut penjelasan PP Disiplin PNS pada angka 11 bahwa yang dimaksud dengan kewajiban untuk “masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja” adalah setiap PNS wajib datang, melaksanakan tugas, dan pulang sesuai ketentuan jam kerja serta tidak berada di tempat umum bukan karena dinas. Apabila berhalangan hadir wajib memberitahukan kepada pejabat yang berwenang. Keterlambatan masuk kerja dan/atau pulang cepat dihitung secara kumulatif dan dikonversi 7½ (tujuh setengah) jam sama dengan 1 (satu) hari tidak masuk kerja.
Jadi, memang ketentuan mengenai waktu kerja bagi PNS berbeda dengan ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku bagi pekerja di sektor swasta. Yang berlaku bagi PNS adalah ketentuan dalam UU Pokok-Pokok Kepegawaian dan aturan-aturan pelaksananya karena UU Pokok-Pokok Kepegawaian hanya berisi ketentuan-ketentuan pokok saja, untuk pelaksanaannya diatur di dalam peraturan yang berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri dan lain-lain peraturan yang dikeluarkan oleh masing-masing Instansi/Badan/Lembaga/Direksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dampak yang terjadi
Bila wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan diimplementasikan pada saat ini maka akan menimbulkan masalah baru, karena belum ada data empiris baik berupa penelitian atau sejenisnya menyangkut efektivitas pengurangan jam kerja bagi perempuan, dan juga apakah perempuan merasa terganggu dengan pola jam kerja yang selama ini berjalan, tentunya hal ini membutuhkan kajian yang mendalam. Disamping itu perempuan yang bekerja baik di lingkup domestik ataupun publik sudah barang tentu mempertimbangkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya baik dia sebagai pekerja maupun sebagai seorang ibu. Mengutip pendapat Nurul Intani (aktivis perempuan Jawa tengah) yang diberitakan Vivanews, mengatakan bahwa usulan ini harus dikaji ulang dan memerlukan diskusi yang panjang.
Dampak yang ada, dengan adanya pengurangan jam kerja bagi perempuan dikhawatirkan akan membuat sejumlah perusahaan berpikir dua kali untuk mempekerjakan karyawan perempuan. Imbasnya, perempuan tidak memiliki ruang lagi di ranah publik.Hal ini bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan UU HAM. Menurut pendapat Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Arist Merdeka Sirait, bahwa wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan akan menimbulkan kontra produktif bagi perusahaan, atau tempat kerja yang memperkerjakan perempuan, sehingga produktivitas perusahaan akan turun dan tidak menutup kemungkinan perusahaan akan merasa rugi jika memperkerjakan perempuan.
Bahkan belum ada jaminan apakah pengurangan jam kerja ini akan berimbas pada terlaksananya fungsi- fungsi perempuan dengan baik dalam mengurus rumah tangganya atau malah menimbulkan persoalan lain seperti berkeluyuran sepulang kerja, meningkatnya budaya shopping di mal, atau “pelarian” dari situasi rumah yang tidak kondusif. Jangan sampai wacana yang pada awalnya bertujuan baik dan mulia menjadi bumerang bagi pemerintah dan diri kita sendiri.
Solusi
Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan bagi pemerintah, yaitu: 1) menambah fasilitas di perkantoran yang ramah bagi perempuan dan anak, tanpa perlu mengurangi jam kerja dan membedakan dengan pekerja laki-laki; 2) menyiapkan shelter untuk anak-anak dan ruangan ibu menyusui; 3) memfasilitasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD); 4) daycare center; dan 5) tempat penitipan bayi dan anak.
Dan pemerintah harus membuat aturan main yang jelas, sehingga dapat diimplementasikan di lapangan seperti punishment bagi perusahaan yang tidak membangun shelter bagi anak-anak dan ibu menyusui, dan melakukan pengawasan terhadap eksistensi pekerja perempuan melalui instansi terkait.