Pembenahan Administrasi Peradilan
5 min readPembenahan Administrasi Peradilan – Penegakan hukum yang dijalankan melalui proses peradilan, secara terus-menerus akan menjadi pusat perhatian masyarakat. Oleh karena itu, maka pembenahan dan perubahan perlu dimulai dari Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi. Pembenahan dan perubahan ke arah pencapaian tujuan yang lebih baik, yang dimulai dari Mahkamah Agung, nantinya diharapkan akan mampu membawa multiplier effect terhadap seluruh jajaran peradilan yang ada di bawahnya. Termasuk di dalamnya pembersihan terhadap berbagai praktek judicial corruption.
Mahkamah Agung patut memberi untuk memberikan contoh dan keteladanan yang baik terhadap seluruh lembaga peradilan maupun aparatur peradilan di bawahnya. Mahkamah Agung akan menjadi panutan sekaligus kiblat bagi seluruh lembaga peradilan dan aparatur peradilan di bawahnya. Upaya untuk melakukan berbagai perubahan untuk mewujudkan terciptanya lembaga peradilan yang ideal tersebut, terutama yang berbasis pada partisipasi dan kontrol publik mutlak harus dilakukan (Eko Sasmito, 2004: 1). Masyarakat, termasuk perguruan tinggi, organisasi profesi, media massa maupun lembaga swadaya masyarakat, sebagai stake holder perlu terus menerus didorong kesadarannya untuk turut berpartisipasi serta memantau jalannya reformasi peradilan menuju arah yang lebih baik. Dengan demikian keterbukaan akses terhadap informasi proses peradilan menjadi suatu syarat yang mutlak bagi terwujudnya reformasi peradilan yang hakiki.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab lemahnya upaya reformasi peradilan di Mahkamah Agung adalah kurang efektifnya court management peradilan atau administrasi peradilan (Henry P. Panggabean, 2001: v). Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah strategis untuk membenahi administrasi peradilan di Mahkamah Agung. Pembenahan administrasi peradilan di Mahkamah Agung pada dasarnya telah menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam rangka pembaruan administrasi peradilan, Mahkamah Agung harus melakukan pembenahan manajemen perkara dalam bentuk jaminan penyelesaian perkara yang independen, imparsial, efektif dan efisien. Pembaruan manajemen perkara di Mahkamah Agung antara lain terkait dengan hal-hal, antara lain pembatasan perkara untuk kasasi maupun peninjauan kembali, pendaftaran perkara dan kearsipan, distribusi perkara, pembagian Majelis Hakim, proses memutus perkara, proses minutasi setelah perkara diputus, beban perkara/tumpukan perkara dan produktivitas Hakim Agung dalam memutus perkara.
Pembenahan Di Mahkamah Agung
Terdapat dua macam pengertian administrasi peradilan. Pertama; court administration, yang dalam hal ini berarti keadministrasian atau tertib administrasi yang harus dilaksanakan berkaitan dengan jalannya kasus tindak pidana dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pelaksanaan putusan dalam sistem peradilan pidana, dan kedua; administration of justice yang dalam hal ini dapat berarti segala hal yang mencakup tertib hukum pidana formil dan materiil yang harus dipatuhi dalam proses penanganan perkara dan tata cara serta praktek litigasi (Muladi, 2002: 3).
Dua makna yang terkandung di dalam pengertian administrasi peradilan tersebut sangat berkaitan erat dengan kesatuan tanggung jawab yudisial (judicial responsibility) yang mengandung tiga dimensi pertanggungjawaban, yaitu: tanggung jawab administrasi (administrative responsibility); tanggung jawab prosedural (procedural responsibility), yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum acara yang dipergunakan; serta tanggung jawab substansi (substantif responsibility), yang berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan hukum yang berlaku. Ketiga dimensi tanggung jawab tersebut dapat dimanifestasikan melalui suatu sistem yang bersifat mandiri dan otonom sehingga dalam pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan dan dipertanggunggugatkan (akuntabel).
Arah pengembangan Mahkamah Agung telah didokumentasikan dalam Perencanaan Jangka Panjang Badan Peradilan Indonesia, yang disebut Cetak Biru (Blue Print) Pembaruan Peradilan Indonesia 2010-2035. Cetak Biru ini merupakan penyempurnaan dari Cetak Biru yang diterbitkan tahun 2003, guna lebih mempertajam arah dan langkah dalam mencapai cita-cita pembaruan badan peradilan secara utuh. Berdasarkan sebuah proses yang partisipatif bersama para perwakilan hakim dan staf dari Mahkamah Agung dan pengadilan dari 4 (empat) lingkungan peradilan di bawahnya, serta pemangku kepentingan seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, para pakar dari berbagai universitas, masyarakat madani (civil society organization) dan lain-lain, Mahkamah Agung berhasil menyepakati rumusan visi serta misi yang akan dicapai dalam 25 (dua puluh lima) tahun mendatang. “Mewujudkan Badan Peradilan yang Agung” adalah visi Mahkamah Agung yang akan menjadi arah dan tujuan bagi setiap pengembangan program dan kegiatan yang akan dilakukan di area-area fungsi teknis dan fungsi pendukung serta fungsi akuntabilitas.
Terdapat dua issue penting dan strategis yang harus segera direspons Mahkamah Agung dan warga peradilan di Indonesia. Dua issue ini saling berkaitan satu sama lainnya. Pertama adalah meningkatkan kepercayaan publik dan yang kedua independensi peradilan. Meski telah dilakukan berbagai upaya perubahan secara radikal dalam reformasi hukum sejak era reformasi dan system satu atap pada tahun 2004, kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung belum terlalu memuaskan. Hal ini bisa dilihat dari hasil survey integritas sektor publik yang diterbitkan KPK September tahun 2010. Mahkamah Agung dinilai masih memiliki integritas dibawah rata-rata. Rendahnya kepercayaan publik ini berbahaya bagi proses penegakkan dan kepastian hukum di Indonesia karena putusan lembaga peradilan nantinya tidak akan dihormati masyarakat luas (Achmad Cholil, 2011). Dengan kondisi semacam ini, maka Mahkamah Agung harus segera mengambil sikap dan merumuskan berbagai langkah atau kebijakan strategis untuk memulihkan kepercayaan publik.
Berbagai kebijakan telah diambil oleh Mahkamah Agung yang seharusnya menjadi dasar kebijakan oleh Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama. Dasar- dasar kebijakan antara lain adalah Blue Print, yang kemudian dilengkapi dengan Renstra. Blue Print ini dapat dikatakan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Peradilan karena blue print yang kedua adalah untuk 25 tahun yang di breakdown menjadi renstra. Kemudian yang mengikat visi Terwujudnya Badan Peradilan Yang Agung. Kemudian Misinya antara lain adalah menjaga kemandirian, memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan, meningkatkan kualitas kepemimpinan, meningkatkan kredibilitas dan transparansi peradilan.
Potensi Kendala Yang Dihadapi
Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pembenahan administrasi yaitu: pertama adalah berkaitan dengan kepemimpinan politik. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman di dalam praktek sangat ditentukan oleh konfigurasi atau sistem politik yang diterapkan. Karena itu, sistem ataupun konfigurasi politik dengan pola atau karakter tertentu cenderung melahirkan karakter kekuasaan kehakiman dengan karakter yang tertentu pula.
Kedua adalah agen pembaru atau para administratur peradilan. Administratur peradilan ini terdiri dari segenap personel Mahkamah Agung dan Empat Lingkungan Peradilan dibawahnya baik yang menjabat sebagai pejabat fungsional. Kekompakan dan kerjasama diantara aparatur administrasi peradilan Mahkamah Agung ini haruslah mempunyai tujuan dan visi yang sama yaitu berusaha menjadi agen pembaru/pembenah administrasi peradilan.
Ketiga adalah faktor sosial dan ekonomi. Sudah menjadi suatu persoalan umum bahwa para pejabat negara atau pegawai negeri sipil yang tergoda untuk melakukan penyimpangan perilaku selalu mengatasnamakan himpitan sosial atau ekonomi sebagai alasannya. Faktor kesejahteraan administratur peradilan yang masih dinilai belum sebanding dengan resiko yang dihadapi dalam pekerjaannya, seringkali menjadi faktor utama bagi suburnya praktek mafia peradilan. Fenomena aparatur peradilan (hakim dan pegawai) yang tidak stabil (mudah tergoda idealismenya) tersebut kemudian terpaksa menjadi pelaku korupsi peradilan.
Keempat adalah waktu. Terkadang suatu perubahan yang baik akan tepat apabila dikerjakan sesuai dengan waktunya. Sehingga manajemen waktu dalam usaha pembenahan administrasi peradilan haruslah disesuaikan dengan kondisi perubahan kemampuan dan kemapanan baik dari personil maupun sarana yang tepat guna.
Strategi Pembenahan Peradilan
Pembenahan administrasi ataupun reformasi administrasi berkaitan erat dengan pengertian strategis, karena pada hakekatnya reformasi administrasi merupakan aktivitas untuk meningkatkan kemampuan memenangkan “peperangan” melawan penyakit administrasi. Sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja organisasi, Mahkamah Agung RI telah memanfaatkan teknologi informasi, baik untuk menunjang operasional perkantoran secara umum, guna mendukung proses kerja di lingkungan Mahkamah Agung RI dan lembaga pengadilan, maupun sebagai sarana penunjang layanan informasi bagi masyarakat.
Salah satu strategi untuk mewujudkannya adalah melalui pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Mahkamah Agung. Upaya Mahkamah Agung melakukan pembenahan administrasi peradilan adalah melalui penerapan kebijakan sistem kamar. Pada dasarnya pembentukan sistem kamar bagi Mahkamah Agung merupakan suatu perubahan yang signifikan. Di antara tujuan penting penerapan sistem kamar ini adalah: pertama, mengembangkan kepakaran dan keahlian Hakim Agung dalam memeriksa dan memutus perkara, karena Hakim Agung hanya memutus perkara yang sesuai dengan kompetensi dan keahliannya; meningkatkan produktivitas dalam pemeriksaan perkara, karena Hakim Agung hanya memeriksa perkara yang sejenis, dan pada akhirnya tercipta konsistensi; serta memudahkan pengawasan putusan dalam rangka menjaga kesatuan hukum. Bila kepastian hukum dapat ditingkatkan maka dalam jangka panjang diharapkan arus permohonan kasasi yang tidak beralasan dapat ditekan.