Perubahan UU BUMN: Menuju Badan Usaha Yang Lebih Transparan, Akuntabel, Profesional, Dan Menguntungkan
5 min readPerubahan UU BUMN: Menuju Badan Usaha Yang Lebih Transparan, Akuntabel, Profesional, Dan Menguntungkan – Kondisi BUMN Saat Ini
Peran BUMN dalam pembangunan ekonomi Indonesia dirasakan semakin penting dan strategis karena berfungsi sebagai pelopor atau perintis dalam sektor-sektor usaha di mana swasta dan koperasi belum menggelutinya, menjadi pengelola bidang-bidang usaha yang strategis dan sekaligus sebagai pelaksana pelayanan publik, sebagai sumber penerimaan Negara, serta berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan-kekuatan ekonomi besar swasta. Untuk itu, perbaikan pengelolaan BUMN merupakan hal yang sangat vital dan menjadi bagian dari reformasi pelayanan usaha atau kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah, di antaranya dilaksanakan melalui pembentukan instrumen kebijakan, regulasi, dan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan, Pemerintah bersama DPR telah membentuk Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN (selanjutnya disingkat UU BUMN) yang berfungsi sebagai pedoman sekaligus landasan hukum bagi pembentukan dan pengelolaan BUMN. Namun dalam implementasinya, keberlakuan UU BUMN ternyata masih belum mampu menjawab perkembangan dan kebutuhan hukum di dalam pembentukan dan pengelolaan BUMN karena masih terdapat beberapa perkembangan dan dinamika dalam pembentukan dan pengelolaan BUMN yang belum terakomodasi di dalam substansi pengaturan UU BUMN. Di antaranya yaitu belum adanya ketentuan yang terkait interpretasi kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN; jaminan agar aset BUMN tidak berkurang/hilang; prosedur RUPS; sanksi pidana bagi pelaku penjualan aset-aset BUMN; mekanisme pemeriksaan keuangan; mekanisme pendirian dan pembubaran anak perusahaan BUMN; dan masih banyak lagi hal teknis di dalam pembentukan dan pengelolaan BUMN. Untuk itu Pemerintah dan DPR RI telah bersepakat memasukkkan agenda perubahan UU BUMN di dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, serta menjadi prioritas Prolegnas Tahun 2015 dengan menduduki nomor urut 19.
Beberapa Permasalahan BUMN
Beberapa perkembangan dan kebutuhan hukum terkait BUMN yang perlu ditampung dalam perubahan yang sekaligus pula merupakan urgensi dari perubahan UU BUMN, yaitu: pertama, maksud dan tujuan pembentukan BUMN, di dalam UU BUMN tidak diatur pemisahan dan kriteria secara tegas tentang BUMN yang bertujuan untuk “menguasai cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan melakukan pelayanan publik” atau BUMN yang bertujuan “mengejar keuntungan”. Tujuan pendirian dari kedua macam BUMN tersebut tidak konsisten dan bercampur-baur, apakah bertujuan khusus untuk melakukan pelayanan publik tanpa mengejar keuntungan, melakukan pelayanan publik sekaligus mengejar keuntungan, atau murni mengejar keuntungan. Hal ini di dalam operasional BUMN menimbulkan kerancuan, karena terdapat BUMN yang menjalankan fungsi pelayanan publik tapi di satu sisi dibebankan untuk mengejar keuntungan. Disisi lain terdapat BUMN yang bertujuan untuk mengejar keuntungan tapi sekaligus juga dibebankan fungsi pelayanan publik, sehingga BUMN tersebut tidak dapat maksimal menjalankan fungsi sesuai dengan tujuan pembentukannya. Sehingga di dalam perubahan UU BUMN nantinya, kedua fungsi tersebut baiknya dipisahkan secara tegas agar tujuan pembentukan BUMN itu dapat tercapai secara maksimal.
Kedua, belum jelasnya ketentuan mengenai definisi BUMN, UU BUMN menyatakan bahwa “Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat”. Sementara itu definisi BUMN berbentuk persero dalam UU BUMN adalah “perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara”. Perbedaan besaran kepemilikan modal antara definisi BUMN dengan perusahaan Negara ini menimbulkan multi-tafsir terhadap status perusahaan Negara yang kepemilikan modalnya oleh Negara di bawah 51% namun tidak berstatus BUMN. Dengan kata lain, seharusnya BUMN merupakan perusahaan negara yang menegaskan makna kepemilikan sebagian adalah di atas 51%, sementara kepemilikan modal di bawah 51% bukan termasuk perusahaan Negara. Sehingga di dalam perubahan RUU BUMN nantinya definisi BUMN tidak hanya mencantumkan jumlah prosentase 51% saham Negara, tetapi memasukkan juga kata “Perusahaan Negara”.
Ketiga, peran negara terhadap pengelolaan “kekayaan negara yang dipisahkan”, pengertian “kekayaan negara yang dipisahkan” menimbulkan multi-tafsir antara hak dan kewajiban Negara terhadap BUMN, apakah Negara hanya berfungsi sebagai penatausahaan kekayaan negara dalam arti adanya pemisahan hak dan tanggung jawab Negara sehingga modal BUMN yang berasal dari “kekayaan negara yang dipisahkan” menjadi kekayaan BUMN, atau Negara ikut bertanggung jawab penuh atas pengelolaan kekayaan Negara tersebut. Untuk itu di dalam perubahan UU BUMN nantinya perlu kembali direposisi mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban terhadap modal Negara yang disertakan di dalam BUMN, apakah Negara ikut campur langsung dalam pengelolaan keuangan BUMN, atau Negara hanya menjadi pihak yang menerima hasil keuntungan BUMN melalui deviden.
Keempat, kedudukan Menteri BUMN di dalam organisasi BUMN, apakah sebagai pemegang saham, pemilik modal, atau sekaligus sebagai pejabat publik. Kedudukan tersebut sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, karena berpotensi terjadinya tumpang tindih antara kedudukan menteri sebagai pemegang saham/pemilik modal dengan jabatannya di dalam birokrasi. Dalam UU BUMN, Menteri adalah Menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa sebagai pemegang saham, ini berarti menteri siapapun dapat berkedudukan sebagai sebagai pemegang saham/pemilik modal sepanjang menteri tersebut ditunjuk atau diberi kuasa. Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang ada di dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menegaskan bahwa Menteri Keuangan diberi kuasa sebagai pengelola kekayaan negara yang dipisahkan. Untuk itu di dalam perubahan UU BUMN nantinya perlu dipertegas kembali peran Menteri dalam RUPS, apakah hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan, Menteri BUMN, atau Menteri yang lain sepanjang diberi kuasa. Substansi ini tentu saja harus disinkronkan dengan UU lain dibidang pengelolaan keuangan Negara.
Kelima, terkait privatisasi, pengertian privatisasi bertentangan dengan pengertian BUMN pada Pasal 1 angka 2 UU BUMN, di mana batas kepemilikan saham oleh negara pada BUMN paling sedikit adalah sebesar 51%, dengan demikian privatisasi dapat menghapus BUMN apabila sisa saham setelah proses privatisasi kurang dari 51% atau saham dijual seluruhnya. Belum ada pengaturan yang lebih rinci mengenai sektor-sektor usaha BUMN yang tidak boleh diprivatisasi, terutama sektor-sektor usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak. Istilah privatisasi yang sering disalahartikan sebagai penyerahan kepemilikan kepada masyarakat. Padahal dalam bidang pasar modal atau praktik di lapangan privatisasi dipahami sebagai pengembalian kembali saham-saham yang dimiliki oleh masyarakat kepada kepemilikan subjek hukum perdata tertentu atau lebih dikenal dengan istilah “go private”, sehingga perlu pemahaman yang tepat terhadap penggunaan istilah privatisasi dalam kaitannya dengan BUMN. Dengan demikian di dalam perubahan UU BUMN nantinya perlu diatur secara tegas pengertian, kriteria, dan mekanisme privatisasi untuk menghindari terjadinya penyelundupan hukum di dalam pengelolaan BUMN.
Keenam, anak perusahaan BUMN, secara implisit, Pasal 14 ayat (3) huruf g UU BUMN diperbolehkan untuk membentuk anak perusahaan. Akan tetapi permasalahan yang muncul adalah potensi digunakannya modal yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan dan dialihkan sebagai modal awal pembentukan anak perusahaan, dan potensi berkurangnya deviden yang disetor oleh BUMN kepada Negara akibat digunakan sebagai modal oleh anak perusahaan. Untuk itu, di dalam perubahan UU BUMN nantinya harus diatur secara ketat kriteria dan syarat pembentukan anak perusahaan untuk menghindari berkurangnya potensi deviden serta pengalihan aset BUMN.
Harapan di Masa depan
Keberlakuan UU BUMN saat ini belum mampu menjawab permasalahan dan kebutuhan hukum yang terkait dengan pembentukan dan pengelolaan BUMN. Untuk itu perubahan UU BUMN mendesak untuk segera dilakukan agar misi tujuan pembentukan BUMN dapat terwujud. Untuk itu di dalam pembentukan perubahan UU BUMN nantinya harus memperhatikan, pertama, pengaturan mengenai BUMN tidak boleh keluar dari prinsip pengelolaan keuangan Negara, sehingga substansi pengaturannya harus sinkron dengan paket UU dibidang pengelolaan keuangan Negara, di antaranya yaitu UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU BPK. Kedua, tujuan dalam perubahan ini nantinya harus dapat mereposisi kembali peran dan fungsi dua jenis BUMN, yaitu BUMN yang dibentuk untuk melakukan pelayanan publik dan BUMN dibentuk sebagai salah satu sumber pemasukan Negara. Harus ada pemisahan yang jelas dan tegas di antara kedua fungsi BUMN tersebut, sehingga tujuan pembentukan masing-masing dapat tercapai dan tidak saling tumpang tindih.