DILEMA APARATUR SIPIL NEGARA COMMUTER MARRIAGE DAN KEBIJAKAN KEPEGAWAIAN DALAM MEMPERKUAT KETAHANAN KELUARGA
4 min readDILEMA APARATUR SIPIL NEGARA COMMUTER MARRIAGE DAN KEBIJAKAN KEPEGAWAIAN DALAM MEMPERKUAT KETAHANAN KELUARGA – Aparatur sipil negara (ASN) yang mengalami kehidupan suami istri saling berjauhan atau disebut commuter marriage menjadi realita kehidupan pernikahan yang tak bisa dihindari, terutama pasangan yang keduanya berstatus ASN instansi pusat. Commuter marriage adalah hubungan pria dan wanita dalam pernikahan yang sukarela memilih menjalani kehidupan terpisah oleh jarak untuk menjalani karir yang dilandasi komitmen yang kuat (Puspita Dewi dan Zaenal Abidin, 2016:38). Komitmen pasangan yang menjalani commuter marriage cenderung mengalami positive illusion (penilaian positif pada pasangan) sehingga mentolerir kondisi negatif (Fira Maharani, 2018:19). Kondisi commuter marriage bukanlah hubungan yang mudah untuk dijalani dengan tingkat keberhasilan yang tidak pasti.
Jumlah commuter marriage di Indonesia belum terdata secara rinci, namun diprediksikan akan terus meningkat seiring berkembangnya pendidikan dan pekerjaan. Sejak tahun 1970 penelitian commuter marriage terus dikaji dengan hasil yang beragam, contohnya adalah kajian psikologis oleh Alma Yulianti (2015:24) yang menemukan hubungan negatif yang signifikan antara emotional distress dengan kepercayaan terhadap pasangan yang menjalani commuter marriage. Dampak pasangan yang menjalani commuter marriage memang positif dan negatif, namun dampak terburuknya adalah anak yang harus hidup terpisah dari salah satu orang tuanya, disharmoni keluarga, bahkan terjadinya perceraian (tidak tercapainya ketahanan keluarga).
Ketahanan keluarga merupakan pondasi utama dalam mewujudkan ketahanan nasional, yang dimaknai sebagai adanya kondisi dinamik keluarga dalam mengelola sumber daya fisik dan non-fisik bahkan mengelola masalah yang dihadapi untuk mencapai tujuan sebagai keluarga yang berkualitas dan tangguh. Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga pada tahun 2021 tidak lagi masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas, namun desakan pengesahan RUU Ketahanan Keluarga terus disuarakan hingga tahun 2023. Hal ini didasari atas peningkatan angka perceraian di Indonesia yang dirilis dalam situs web Badan Pusat Statistik dari 291.677 pada tahun 2020 menjadi 447.743 pada tahun 2021 dan indikator ketahanan keluarga lainnya. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana strategi memperkuat ketahanan keluarga bagi ASN yang menjalani commuter marriage?
Kondisi commuter marriage di Indonesia seolah dibenarkan dan menjadi konsekuensi yang harus ditanggung ASN karena nihilnya perlindungan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terbukti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yang hanya mengatur pencegahan konfilik kepentingan atas tali perkawinan dan hubungan darah secara langsung dalam satu unit kerja yang diselesaikan melalui mutasi pada unit kerja yang berbeda. Mutasi merupakan perpindahan tugas dan/atau lokasi dalam satu instansi pusat, antar-instansi pusat, instansi daerah, antar-instansi daerah, antar-instansi pusat dan instansi daerah, dan ke perwakilan negara Indonesia di luar negeri serta atas permintaan sendiri.
Mutasi, promosi dan penugasan dalam rangka pengembangan karir ASN dilaksanakan dengan sistem merit. Tujuan mulia dari sistem merit untuk memberikan kesempatan yang sama bagi ASN tanpa membedakan latar belakang yang pelaksanaannya mengutamakan kualifikasi, kompetensi dan kinerja perlu dilakukan secara adil. Kebijakan kepegawaian yang aturan pelaksananya ditetapkan oleh masing-masing instansi, pada proses melaksanakannya rawan terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme seperti kasus lelang jabatan dan kasus viral lainnya. Selain itu, dilema kebijakan kepegawaian dalam peraturan yang dikeluarkan Kepala Badan Kepegawaian Negara dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi belum mencakup strategi memperkuat ketahanan keluarga.
Strategi ketahanan keluarga terutama bagi commuter marriage yang dialami ASN justru secara a contrario disikapi serius oleh Mahkamah Agung (MA) melalui Surat Keputusan Ketua MA Nomor 48/KMA/SK/II/2017 tentang Pola Promosi dan Mutasi Hakim pada Empat Lingkungan Peradilan. Dalam keputusan tersebut mengakomodir mutasi alasan kemanusiaan bagi hakim (perempuan) yang suaminya pindah tugas jauh dari tempat dinas hakim yang dimaksud. Pola mutasi dalam lingkungan MA tersebut adalah wujud kebijaksanaan untuk menjaga ketahanan keluarga dan cerminan upaya pencegahan pelanggaran kode etik hakim. Mutasi hakim mengikuti tugas suami konkretnya berkaitan dengan perilaku murni yaitu menjaga harkat dan martabat keluarga dari kasus perselingkuhan. Secara komparatif, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun mengatur hal yang sama, yaitu etika terhadap diri sendiri dengan menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga. Artinya tuntutan untuk menjaga ketahanan keluarga adalah kewajiban yang harus dipatuhi oleh semua ASN termasuk ASN yang menjalani commuter marriage.
Urgensi keharmonisan keluarga dipicu karena adanya hubungan kausalitas yang saling mempengaruhi antara kehidupan rumah tangga dan pelaksanaan pekerjaan, yang jauh-jauh hari telah disiasati oleh Menteri Kehakiman (saat ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) dengan mengeluarkan Catur Tertib PNS melalui Surat Edaran Nomor M.01.UM.05.01 Tahun 1984 tanggal 11 Juli 1984. Edaran tersebut sampai saat ini menjadi pedoman bagi ASN Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berisi perintah untuk tertib disiplin, tertib administrasi, tertib perkantoran, dan tertib kehidupan rumah tangga. Ruang lingkup tertib kehidupan berumah tangga yang dimaksud tidak hanya keluarga batih (ayah, ibu dan anak kandung), tetapi jalinan dengan kerabat dan tetangga juga menjadi cakupan tertib kehidupan rumah tangga.
Kehidupan rumah tangga yang selama ini dipandang masuk dalam ranah hukum privat kenyataannnya tidak bisa lepas dari bagian hukum perdata, pidana bahkan masuk dalam bagian hukum publik. Begitu juga dalam kehidupan rumah tangga PNS yang dituntut menjadi teladan bagi masyarakat sebagaimana diharuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS, termasuk untuk menjadi teladan dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga. Ketidaktaatan dalam melaksanakan aturan tersebut sebanding dengan ancaman sanksi yang akan dikenai, mulai dari sanksi administrasi hingga hukuman disipin berat.
Hubungan dilematis bagi para pejuang commuter marriage yang sangat kompleks membutuhkan kebijakan kepegawaian yang ramah keluarga untuk memperkuat ketahanan keluarga. Keberhasilan mutasi mengikuti suami bagi ASN yang menjalani commuter marriage di lingkungan MA dirasa perlu diadaptasi oleh leading sector terkait karena sejatinya pengambil kebajikan bertanggungjawab kepada negara dan Tuhan Yang Maha Esa atas moral yang lahir dari keputusannya.