Pembatasan Ibadah Haji Dan Hak Individual Dalam Beribadah

Pembatasan Ibadah Haji Dan Hak Individual Dalam Beribadah – Rencana Kementerian Agama mengesahkan aturan pembatasan frekuensi haji per-orang hanya sekali mendapat respons positif dari orang yang sudah naik haji ataupun yang akan naik haji. Rencana pemerintah untuk membatasi jamaah yang telah menunaikan ibadah haji memang bukan hal yang baru, namun upaya yang dilakukan pemerintah ini dari tahun ke tahun tidak berjalan secara efektif.

Sebenarnya wacana pembatasan haji cukup  sekali  sudah digulirkan  lebih kurang 10 (sepuluh) tahun yang silam, hal ini mengingat bahwa Negara Indonesia adalah muslim terbesar di dunia di mana animo masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji sangat besar, bahkan ada prestise tersendiri di sebagian suku-suku tertentu bagi orang yang melakukan ibadah haji. Pembatasan haji cukup sekali pada dasarnya adalah untuk memberikan kesempatan bagi orang yang belum pernah sama sekali melaksanakan ibadah haji karena terbentur dengan kuota haji dan lamanya masa menunggu giliran (waiting list) yang berkisar 15-20 tahun akibat membludaknya jamaah calon haji per tahunnya. Ibadah haji yang dilakukan memang bisa dilakukan dengan dua cara yaitu regular dan paket haji khusus. Penyelenggaraan Ibadah haji telah lama menjadi bagian dari tugas negara berlandaskan pada Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. (Iwan Ampel, http://haji.kemenag.go.id/v2/blog/ahmad-ikhwanuddin/dasar-ibadah-haji, 260315, 09.10 wib)
Menurut data Kemenag, setiap tahun terdapat sekitar 10 persen atau 20 ribu orang yang telah menunaikan haji berangkat melaksanakan ibadah haji untuk kedua kali dan seterusnya. (http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,1042-lang,id-c,warta-t,Yang+Sudah+Haji+Boleh+Naik+Haji+Lagi+Setelah+Lima+Tahun-.phpx, 260315, 08.50 wib).

Desakan untuk membuat regulasi peraturan tentang pembatasan frekuensi haji sudah dicetuskan oleh sejumlah pihak (Fitriyan Zamzami, http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman/1/15/03/23/nlnku1-pembatasan-haji-dinilai-perlu-disegerakan, 260315, 08.26 wib) baik kalangan DPR, organisasi masyarakat (NU dan Muhammadiyah), MUI, pengamat, dan masyarakat, yang pada dasarnya mendukung dan setuju dengan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah c.q Kementerian Agama. Dan sebelumnya, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Abdul Jamil mengatakan paling cepat awal April 2015 aturan pembatasan haji akan disahkan. Meski begitu, aturan ini sudah mulai diimplementasikan sejak tahun lalu. (Istman M.P. (http://www.tempo.co/read/news/201 5/03/22/173651850/Haji-dan-Calon-dukung-).

Jika kebijakan pembatasan ibadah haji ini diterapkan maka tentu saja akan ada permasalahan yang terjadi mengingat ibadah haji adalah hak individu seorang muslim/muslimah dalam beribadah, lalu Apakah kebijakan pemerintah dalam membatasi ibadah haji seseorang melanggar hak individual seseorang dalam beribadah?

Hukum Ibadah haji

Secara bahasa, haji berarti Al-Qashd (bermaksud) adalah pergi mengunjungi tempat yang diagungkan. Sementara secara istilah, haji bermaksud mendatangi Baitullah untuk amal Ibadah tertentu yang dilakukan pada waktu dan cara yang tertentu juga. Hukum haji adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim yang mampu, wajibnya sekali seumur hidup. Menurut ketentuan umum UU No. 13 tahun 2008 pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya. Hal ini dipertegas berdasarkan Q.S Ali Imron:97 yang artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

Pembatasan Ibadah Haji dan Hak Individual dalam Beribadah

Hasil Mudzakarah Perhajian Nasional 2015 yang berlangsung 25-27 Februari di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta mengeluarkan dua butir rekomendasi terkait istitha’ah (kemampuan) kesehatan calon jamaah haji. Rekomendasi pertama, meminta pemerintah untuk segera membuat regulasi setingkat surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Perhubungan) terkait batasan jamaah haji Indonesia yang memenuhi istitha’ah kesehatan. Rekomendasi kedua menyatakan agar pemerintah mensosialisasikan istitha’ah kesehatan haji kepada masyarakat.

Lalu apakah pembatasan ibadah haji yang akan dilakukan oleh pemerintah akan melanggar hak individual seorang muslim dalam beribadah sebagaimana dijamin pasal 29 ayat (2) dan pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD RI. 1945. Menurut hemat penulis apa yang menjadi hak seseorang untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya tidaklah dilanggar oleh kebijakan tersebut, karena setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dan dalam menjalankan hak dan kebebasannya wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang sebagai jaminan pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain sesuai tuntutan rasa keadilan dengan berlandaskan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat. (lihat pasal 28 J ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945).

Menurut Ketua PBNU Saifullah Yusuf menunaikan ibadah haji merupakan hak setiap umat dan tidak ada aturan agama yang melarang melakukannya lebih dari sekali, khususnya bagi yang sanggup dan mampu. Kendati demikian, rasa toleransi dan pengertian juga harus diutamakan, sekaligus memberi kesempatan kepada umat Muslim yang belum menunaikan ibadah haji. (http://global.suarapemred.com/read/2014/09/24/39189/20/10/NU-Dukung-Cegah-Pembatasan-Berhaji, 260315, 08.56 wib).

Menurut Dr Ansari Yamamah (dosen IAIN Sumatera Utara) pembatasan dalam melaksanakan haji (berhaji) berkali-kali merupakan bentuk keadilan serta memberikan kesempatan dan kemudahan bagi umat Islam lainnya. Jika memaksakan diri untuk berangkat lebih dari sekali, justru bisa masuk dalam penzaliman. (http://www.antaranews.com/berita/456542/pengamat-pembatasan-berhaji-bentuk- keadilan-umat, 260315, 08.52 wib)

Abdul Halim Soebahar (Ketua MUI Jember) berpandangan bahwa diperlukan persyaratan yang ketat bagi orang yang pernah berhaji dan akan menunaikan kembali ibadah haji agar daftar antrian jamaah haji semakin berkurang. Sebab, tingginya animo masyarakat yang hendak berhaji membuat daftar antrian haji juga semakin tinggi, tidak sebanding dengan terbatasnya kuota haji (yang diberikan pemerintah Arab Saudi) setiap tahunnya.(disampaikan saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) dan UU UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (PKH)). Dalam keterangannya, Abdul Halim Soebahar menilai hak memperoleh kepastian hukum dan hak beribadah menurut agama tak terpenuhi dengan adanya Pasal 4 ayat (1) UU PIH terkait hak setiap orang Islam untuk berhaji. Menurutnya, frasa “setiap warga Negara yang beragama Islam berhak untuk menunaikan ibadah haji” seharusnya dimaknai bagi umat Islam yang belum beribadah haji agar dapat mengurangi kuota antrian haji. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5511393e54d48/pengetatan-syarat-haji-untuk-kurangi-antrian, 260315, 09.13 wib)

Manfaat Pembatasan Ibadah Haji

Adapun manfaat dengan pembatasan ibadah haji ini adalah: a). memperbesar kesempatan naik haji bagi calon haji yang belum pernah berangkat; b). untuk memberi jaminan pada setiap orang mendapatkan hak dalam beribadah; c). mendahulukan masyarakat lanjut usia masuk kuota, kemudian baru calon haji usia muda.

Sebagai penutup, maka ada beberapa alternatif solusi yang dapat dilakukan agar kebijakan pembatasan ibadah haji tidak menimbulkan polemik di masyarakat, yaitu: a). hendaknya regulasi aturan pembatasan haji ini dibuat dengan jelas dan mendetail, dari batasan waktu hingga pendaftarannya dan dilakukan dengan segera artinya tidak hanya berupa wacana; b). sinkronisasi regulasi pembatasan pelaksanaan haji bagi warga negara dengan UU Haji agar tidak terjadi kontradiksi, karena haji adalah hak warga Negara, sehingga implementasi aturan ini hanya sifatnya pembatasan, bukan pelarangan; c). MUI harus mengeluarkan fatwa pembatasan ibadah haji sebagai landasan hukum keagamaan; d). harus ada model yang jelas tentang aturannya, terutama haji reguler. Antara lain tidak diizinkannya seseorang yang sudah berhaji sesuai data di kementerian, kecuali bagi petugas dan ketentuan tentang jamaah haji khusus (dulu ONH Plus); dan e). pemerintah mengkaji ulang aturan tentang program talangan haji yang dilakukan oleh sejumlah bank guna memangkas daftar tunggu antrean haji.

Categories:

Tinggalkan Balasan