Urgensi Pemimpin Daerah Yang Bersih Guna Mewujudkan Good Governance
6 min readUrgensi Pemimpin Daerah Yang Bersih Guna Mewujudkan Good Governance – Memilih pemimpin daerah yang tepat baik itu gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau walikota dan wakil walikota, merupakan hal yang mutlak. Apakah otonomi daerah akan berhasil atau tidak? Pertanyaan ini sangat tergantung dengan “cara” pemimpin dalam penyelenggaran pemerintahan daerah tersebut menjalankan pola kepemimpinannya. Pemimpin daerah yang terpilih kelak sepatutnya berkerja keras, trampil, disiplin, dan berperilaku sesuai dengan nilai, norma, dan moral, serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Memang kebijakan otonomi daerah telah hadir sejak awal tahun 2001, dan hingga saat ini masih dapat kita lihat bahwa kebijakan ini memerlukan waktu untuk suatu perubahan. Akan tetapi bila proses perubahan tersebut ditumpukan hanya pada kebijakan otonomi daerah, khususnya yang termuat dalam Undangundang Pemerintahan Daerah mulai dari UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, hingga yang paling akhir saat ini UU No. 23 Tahun 2014 dengan revisi terbatasnya dalam UU No. 9 Tahun 2015, maka demokrasi tidak akan pernah terwujud. Setiap kebijakan elit politik, masih sangat mungkin menyisakan kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan demokrasi dan keadilan.
Perubahan metode Pemilihan
Pemilihan pemimpin di daerah tidak bisa serta merta dilepaskan dari perubahan dalam konteks metode pemilihan, dan hal ini erat kaitannya juga dengan penggunaan istilah Pilkada atau Pemilukada. Terhadap penggunaan 2 (dua) istilah tersebut perlu diketahui bahwa keduanya memiliki makna yang berbeda, yakni pilkada merupakan akronim dari pemilihan kepala daerah, sedangkan pemilukada adalah akronim dari pemilihan umum kepala daerah. Istilah Pemilukada adalah istilah ketika pemilihan kepala daerah masuk dalam rezim Pemilu, istilah ini muncul setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUUII/2004 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Pengertian Pemilukada diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 22 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (pengganti UU No. 22 Tahun 2007) Pemilukada kembali ditegaskan sebagai bagian dari rezim Pemilu dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Penggunaan istilah “kepala daerah” dalam UU No. 15 Tahun 2011 telah diubah menjadi “Gubernur, Bupati, dan Walikota” yang selaras dengan bunyi Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
“Gubernur, Bupati, dan Walikota. masingmasing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Adapun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 secara tegas Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah bukanlah rezim Pemilu. Dalam Putusan tersebut pemilihan umum hanyalah diartikan hanyalah limitatif sesuai dengan original intent menurut Pasal 22E UUD 1945, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Oleh karena itu juga Pilkada digolongkan dalam rezim Pemda Sehingga Pasal I angka 1 tentang perubahan Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2015 dinyatakan bahwa “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”. Istilah “Pemilihan” disini mewakili semangat
Pilkada sebagai pilihan metode pemilihan pemimpin daerah sesuai dengan putusan MK No. 97/PUU-XI/2013.
Good governance dan Pemimpin daerah yang bersih
Metode pemilihan yang tepat dan baik untuk memilih pemimpin daerah yang baik tidaklah serta-merta melahirkan pemimpin yang tepat dalam memimpin suatu daerah. Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) dalam hal ini memegang peranan yang tak kalah penting. Semangat untuk mewujudkan good governance sebenarnya telah telah muncul sejak keberlakuan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam Ketentuan Umum angka 2 dinyatakan bahwa ”Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asasasas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya”, sehingga sejatinya sejak pengundangan UU a quo pada tanggal 19 Mei 1999 rakyat Indonesia memiliki guidance untuk meujudkan good governance.
Pemimpin berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata “pimpin” yang berarti tuntun atau bimbing, sedangkan pemimpin berarti orang yang memimpin. Sehingga jika dirangkaikan dalam satu frase yakni “pemimpin daerah yang bersih”, maka dapat diartikan bahwa pemimpin daerah yang bersih adalah orang yang memimpin daerah yang dapat memberikan tuntunan dan bimbingan, juga memberikan keteladanan yang bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
Bagaimana menghadirkan pemimpinan daerah yang bersih? Pertanyaan ini sebenarnya bukanlah pertanyaan yang sulit karena sejak tahun 1999 telah hadir undang-undang dengan semangat yang besar guna mewujudkannya yakni UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. UU ini pula seringkali dianggap sebagai UU yang mengusung semangat good governance. Dalam pasal-pasal selanjutnya dalam UU tersebut juga diatur pula hal-hal lainnya yang sangat penting guna pelaksanaan good governance sehingga alangkah mubazirnya jika aturan yang ada dan masih berlaku hingga saat ini tidak kita gunakan secara optimal untuk tujuan yang baik demi kemaslahatan bersama.
Kendala dan jawaban dalam menghasilkan Pemimpin daerah yang bersih
Pemimpin daerah yang bersih tidak lahir dengan sendirinya, kita bisa memilih pemimpin yang tepat mulai dari mengikuti track record sang calon pemimpin tersebut. Karena itu dalam Pasal Pasal 1 angka 43 tentang perubahan Pasal 65 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f UU No. 8 Tahun 2015 terdapat sejumlah cara dimana masyarakat bisa ikut serta dalam rangka mengetahui track record sang calon pemimpin baik, yakni melalui pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, debat publik/debat terbuka antarpasangan calon, atau iklan media massa cetak dan media massa elektronik.Dengan mengetahui visi-misi para calon setidaknya masyarakat dapat memiliki sejumlah pilihan.
Pilihan-pilihan tersebut dapat didalami dalam kegiatan kampanye misalnya salah satunya debat publik/debat terbuka antar calon. Kendala dalam hal ini adalah tidak banyak masyarakat yang kurang begitu partisipatif untuk mengetahui calon yang akan dipilihnya nanti, hal ini tentu berdampak nantinya ketika tanggal 9 Desember 2015 pemilih tidak dapat menentukan calon pemimpin daerah pilihannya secara tepat. Kelebihan dari metode Pilkada dengan cara pemilihan secara langsung sepatutnya dimanfaatkan secara tepat, karena dengan metode ini seharusnya pemilih dapat lebih dekat dengan calonnya berbeda dengan metode Pilkada lainnya yang melalui mekanisme pemilihan secara tidak langsung/ melalui mekanisme perwakilan sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 22 Tahun 2014.
Menghasilkan pemimpin daerah bersih guna mewujudkan good governance membutuhkan partisipasi, transparansi, dan akuntabiltas dalam praktik pemerintahan sehari-hari yang tidak dapat dilepaskan dari peran serta masyrakat itu sendiri. Banyak kendala-kendala yang setidaknya akan menjadi faktor-faktor yang menghambat jalannya kepemimpinan yang bersih guna mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Misalnya dalam penerapan prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas Dalam hal partisipasi Pemimpin di daerah seringkali tidak mengikutsertakan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, penjaringan aspirasi yang biasanya bersifat elitis dan terkesan ceremonial, hal ini sangat disayangkan karena peran serta masyarakat dalam proses perumusan kebijakan menjadi sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah .
Bagitu pula penerapan prinsip transparansi, kurangnya sosialisasi yang dilakukan aparatur pemerintah mengakibatkan masyarakat tidak mengetahui sama sekali keijakan maupun peraturan daerah yang akan dibuat. Kemudian penerapan akuntabilitas masih terkendala dengan laporan yang tidak sesuai dengan program yang sudah dilaksanakan. Persoalan-persoalan semacam ini adalah hal yang umum dan ditemukan baik dimanapun daerah tersebut berada karena kembali lagi ke konsep awal bahwa meujudkan pemimpin daerah yang bersih sesuai prinsip-prinsip good govenance bukanlah hanya persoalan metode Pilkada. Ketika pemimpin daerah yang dihasilkan dinilai banyak yang terjerat kasus-kasus berat misalnya korupsi, bukan berarti metode pemilihan dalam Pilkada ada secera serta merta dinilai salah dan sehingga UU Pilkada harus diubah. Semua kembali lagi bahwa meujudkan pemimpin yang bersih ini membutuhkan proses yang baik dan panjang dan tidak ada yang instan. Sejak UU No. 28 Tahun 1999 yang mengandung semangat-semangat good governance diundangkan aplikasi nyatanya hingga hari ini memang dirasa cukup sulit, namun kembali lagi tidak ada kata menyerah dalam berjuang untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang mulia.