Dinamika Arbitrase di Indonesia – Perkembangan usaha dan aktivitas hubungan bisnis di Indonesia yang semakin beragam mewajibkan pelakunya berinteraksi dengan berbagai pihak. Interaksi tersebut tak jarang menimbulkan sengketa antara pelaku bisnis akibat perbedaan kepentingan, ingkar janji, dan selisih paham. Tentunya pebisnis menutut agar sengketa tersebut cepat terselesaikan agar tidak mengganggu bisnis mereka, sedangkan perkara melalui pengadilan bisa membutuhkan kurun waktu tahunan. Hal itu disebabkan karena tumpukan perkara dan kemungkinan dilakukannya upaya hukum lanjutan atas putusan hakim. Penyelesaian sengketa alternatif hadir sebagai solusi penumpukan perkara pengadilan, salah satu jenis alternatif tersebut adalah melalui media arbitrase.
Pemilihan arbitrase sebagai media penyelesaian sengketa oleh kalangan pelaku usaha bukan tanpa alasan. Arbitrase dinilai reliable untuk menjaga citra diri perusahaan karena prosesnya dilakukan secara tertutup untuk umum dan rahasia. Selain alasan prestise tersebut, keunggulan dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah para pihak dapat memilih sendiri hakimnya. Arbiter, sebutan hakim dalam acara arbitrase, tidak harus lulusan sarjana hukum karena yang dibutuhkan adalah expertise pada bidang sengketanya. Selain itu, arbiter yang memiliki julukan sebagai Hakim Partikelir ini tidak diperbolehkan berasal dari kalangan hakim maupun jabatan peradilan lainnya.
Arbitrase dalam Hukum Indonesia
Saat ini, payung hukum yang mendasari pelaksanaan arbitrase adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU No. 30/99). Banyak yang menyebutnya dengan Undang-Undang Arbitrase saja, mungkin karena sebagian besar materi Undang-Undang ini mengatur mengenai arbitrase. Bila dibreakdown, materi arbitrase terdiri dari tujuh bab, sedangkan materi muatan terkait konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli dimapatkan dalam satu bab saja yang berjudul Alternatif Penyelesaian Sengketa. Padahal, keenam alternatif tersebut sama seperti arbitrase yang memiliki output yang bersifat final dan mengikat. Bahkan tidak ditemukan pengaturan mengenai seperti apa kriteria mediator (saat ini mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008), bagaimana syarat formil dan materiil pelaksanaannya, maupun ketentuan biayanya.
Membaca ketentuan Pasal 5 UU No. 30/99, banyak yang beranggapan bahwa materi sengketa arbitrase terbatas pada sengketa perdagangan saja. Padahal jika dicermati dalam pasal tersebut, materi sengketa lain juga dapat diselesaikan melalui arbitrase asalkan memenuhi tiga hal, yaitu: 1. Adanya kesepakatan antara para pihak (dalam bentuk klausula perjanjian) untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, 2. Para pihak menguasai materi yang menjadi sengketa, dan 3. Sengketa tersebut menurut undang-undang dapat diadakan perdamaian. Beberapa contoh sengketa selain perdagangan, di antaranya bidang olahraga pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan bidang hubungan industrial pada Pasal 29 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Kompleksitas Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase berdasarkan Bab VI UU No. 30/99? Pembeda putusan arbitrase nasional dengan arbitrase internasional terdapat pada lokasi dijatuhkannya putusan tersebut. Jika dijatuhkan di Indonesia maka disebut putusan arbitrase nasional, sedangkan sebaliknya jika dijatuhkan di luar Indonesia maka dianggap putusan abritrase internasional. Untuk mempermudah membedakannya, dilihat dari lembaganya. Arbitrase nasional di Indonesia, di antaranya BANI, Basyarnas, BAPMI, dan BAKI, sedangkan arbitrase internasional, yaitu lembaga SIAC (Singapore), ICSID (Amerika), dan ICC (Perancis).
Sebelum putusan arbitrase nasional dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak, putusan tersebut harus terlebih dahulu didaftarkan ke Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 hari pasca ketok palu. Berbeda dengan putusan arbitrase internasional. Putusan arbitrase internasional tidak cukup hanya didaftarkan tetapi perlu juga dilakukan penetapan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebelum mengeluarkan penetapan untuk eksekusi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan memeriksa putusan tersebut berdasarkan syarat-syarat sebagaimana disebutkan pada Pasal 66 UU No. 30/99 dan jika salah satu ketentuannya tidak terpenuhi, maka putusan tersebut tidak akan dibuat eksekusinya. Menjadi sebuah paradoks memang mengingat tujuan awal digunakannya arbitrase sebagai solusi penyelesaian sengketa di luar pengadilan ternyata masih memerlukan pengadilan untuk keperluan pendaftaran putusan arbitrase dan fiat eksekusi. Terlebih jika meperhatikan bahwa putusan arbitrase bersifat final and binding, sedangkan putusan tersebut ternyata belum tentu executable.
Memang, hampir semua negara memiliki ketentuan waiver dan hal tersebut hampir selalu berkaitan dengan openbare orde karena fungsinya sebagai filter terhadap pemberlakuan hukum asing. Terlebih, badan peradilan setiap negara pasti menjadi tameng dari putusan asing yang berpotensi mengganggu kepentingan negara yang bersangkutan. Di Indonesia, asas ketertiban umum sebagaimana Pasal 1337 KUHPerdata dikonkritkan secara tersirat dalam UU No. 30/99, bahwa putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum ialah putusan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia. Padahal dalam kenyataannya, penerapan ketertiban umum tidak semata-mata demikian. Dari banyaknya putusan penolakan eksekusi, kita dapat belajar dari putusan Nomor 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.Jkt.
Catatan Singkat Dinamika Arbitrase di Indonesia
Agar proses pemeriksaan arbitrase tidak menjadi sia-sia, sebaiknya pemerintah  kembali dengan komitmen yang sama saat kita meratifikasi Konvensi New York 1958 melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 serta menormakan ruang lingkup ketertiban umum yang seringkali menjadi hambatan dalam pelaksanaan putusan.
Dalam rangka merealisasikan visi tersebut, maka dipandang perlu untuk segera dilakukan kajian akademis terkait UU No. 30/99 sehingga dapat segera disusun peraturan perubahannya. Perubahan tersebut di antaranya meliputi: 1. Ketentuan kompetensi absolut yang mengakomodasi bidang selain perdagangan; 2. Koordinasi dengan instansi pemerintah, seperti pengadilan dan kementerian bidang terkait; 3. Pengaturan mengenai berbagai macam badan arbitrase serta holdingnya, dan; 4. Penormaan mengenai ruang lingkup ketertiban umum.
Melihat banyaknya materi muatan yang perlu direvisi, maka berdasarkan Lampiran II Angka 238 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 perlu dilakukan pencabutan untuk selanjutnya disusun kembali. Peraturan perubahannya nanti dapat dibuat dalam bentuk dua Undang-Undang yang terpisah antara arbitrase dengan alternatif penyelesaian sengketa atau tetap dalam satu Undang-Undang dengan metode omnibus sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Semua ini dengan harapan agar di masa mendatang, dunia internasional memiliki persepsi bahwa Indonesia adalah negara yang arbitration friendly sehingga semakin menarik minat investor yang hendak bekerja sama dengan Indonesia karena memiliki jaminan hukum.
Tinggalkan Balasan