Menangkal Radikalisme Melalui Revisi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme – Menarik dan menegangkan ketika kita berbicara tentang terorisme, karena sebagaimana kita ketahui bahwa terorisme merupakan tindak kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) yang tentu saja membutuhkan penanganan yang luar biasa pula. Berdasarkan catatan Kepolisian Republik Indonesia pada November 2015 lalu, terdapat 384 WNI yang terkonfirmasi bergabung dengan TheIslamic State of Iraq and al-Sham (ISIS) di Irak dan Suriah. bahkan ada 46 orang yang sudah kembali ke Indonesia[www.bbc.com].
Radikalisme dan terorisme bagaikan dua hal yang saling beriringan, keduanya merupakan momok yang menakutkan bagi sebagian besar umat manusia khususnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Fenomena radikalisme dan terorisme mencuat kembali pasca ledakan bom di jalan MH.Thamrin, Jakarta Pusat pada hari kamis, 14 Januari 2016. Indonesia kembali diingatkan akan bahaya terorisme. Hal inilah yang menjadi pertanyaan besar mengapa terorisme tidak bisa pergi dari NKRI, atau adakah yang salah dalam memahami tujuan kehidupan sehingga memunculkan radikalisme yang berujung pada aksi teror. Menurut Hamdi Muluk (Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia),proses radikalisasi setiap tahunnya mengalami kenaikan antara 2-3 persen. Masalah radikalisme dan terorisme tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial, politik, ekonomi dan budaya di mana ideologi terorisme itu tumbuh dan berkembang. Menurutnya terorisme merupakan hasil dari proses radikalisasi mulai dari level individu hingga kelompok. Pada kelompok teroris yang mengatasnamakan agama, proses tersebut meliputi praradikalisasi (interaksi antara predisposisi individu dan lingkungan), identifikasi diri, komitmen dan indoktrinasi, dan ideologisasi jihad[www.antaranews.com]
Teror atau terorisme selalu identik dengan kekerasan. Ada banyak pengertian tentang terorisme seperti terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., terorisme merupakan pandangan yang subjektif.[Indriyanto Seno Adji:2001].
Muladi memberi catatan bahwa hakekat perbuatan terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik.Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan.Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan hak asasi manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain [Muladi:2002] dan dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi penduduk sipil. b. memengaruhi kebijakan pemerintah. c. memengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan.[https://id.
Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen: kekerasan, tujuan politik, dan teror/intended audience. [Mohammad Mova Al’Afghani, “Kampanye Melawan Terorisme Telah Merusak Tatanan Hukum”.
Sedangkan Anton Tabah menyatakan bahwa teror adalah kata sifat yang menggambarkan rasa takut luar biasa.Tak ada lagi jaminan keamanan (security), tak ada lagi jaminan keselamatan (safety), tak ada lagi jaminan hukum (legality). [Anton Tabah:2005] Menurut fatwa MUI, terorisme hukumnya haram dilakukan oleh siapapun dan dengan tujuan apapun.Dalam fatwa MUI juga dijelaskan perbedaan secara nyata antara terorisme dengan jihad. Jihad sifatnya untuk melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan, tujuannya menegakkan agama Allah dan/atau membela hak-hak pihak yang terzalimi, serta dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas.[http://www.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme diartikan: 1). paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2). paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3). sikap ekstrem dalam aliran politik. [http://kbbi.web.id/]. Jadi radikalisme adalah suatu paham yang dibuatbuat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.Dalam konteks keagamaan radikalisme dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham/aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.[https://id.wikipedia.
Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Pemberantasan Teroris) merupakan sikap yang diambil pemerintah sebagai respon mencuatnya
Pada awalnya ada dua payung hukum yang dapat digunakan untuk meredam gejolak radikalisme yang mengarah pada aksi terror yaitu : Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan Perpu nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
PidanaTerorisme menjadi Undang-Undang dan Undang-undang Nomor 9 tahun 2013 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Salah satu alasan yang sangat fundamental sebagaimana tercantum dalam pembukaanUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa salah satu tujuan Indonesia adalah “…….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial….” Ini berarti bahwa keterlibatan Indonesia di dalam memerangi segala sesuatu yang bertentangan dengan tujuan di atas adalah mutlak untuk dilakukan.Terlebih apabila hal tersebut menjadi ancaman yang serius bagi rakyat Indonesia beserta kedaulatan negara ini.[http://www.kompasiana.
Berdasarkan UU Pemberantasan Teroris dikatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan intas negara (transnasional), terorganisasi(organised crime), dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Namun dalam implementasinya, undangundang ini belum mampu meredam paham radikalisme yang mengarah pada aksi terorisme selama ini karena pendekatan yang digunakan oleh aparat penegak hukum masih terbatas pada bagaimana mengejar pelaku (follow the suspect) sehingga dapat dijatuhi hukum sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan pendekatan follow the suspect tidak membuat perbuatan atau kegiatan teror ini berhenti, karena jaringan yang begitu luas (global) dan tersembunyi membuat eksistensi mereka terjaga dan juga tidak efektif untuk mencegah dan menindak para pelaku yang terlibat dalam kegiatan terorisme. Mereka tidak hanya menyediakan para pelaku yang siap secara sukarela meledakkan diri, namun juga donatur yang menyediakan dana sebagai pembiayaan pembelian bahan peledak, senjata, penyewaan markas atau persembunyian dan biaya operasional lainnya.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 ini menjadi salah satu upaya negara melindungi warga negara dan kedaulatannya dari tindakan terorisme, dengan cara mencegah pendanaan terorisme itu sendiri, khususnya yang melalui penyedia jasa keuangan seperti bank, lembaga pembiayaan, perusahaan asuransi, perusahaan pialang, dana pensiun lembaga keuangan, dll.
Upaya Indonesia untuk mengkriminalisasi pendanaan terorisme ini juga dilandasi atas diratifikasinya International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999 (disahkan menjadi Undang-undang Nomor 6 tahun 2006 tentang ratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999), sehingga Indonesia berkewajiban untuk memasukan dan mensinkronisasi elemen di dalam konvensi tersebut pada hukum positif yang terkait. Sebelum undang-undang ini dibentuk, Indonesia sudah sejak jauh hari mengaturnya dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, (LNRI Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan LNRI Nomor 4284, namun dianggap belum cukup untuk mencegah aliran pendanaan kegiatan terorisme tersebut. Pendekatan dalam UU ini adalah mengejar aliran dana (follow the money)dengan maksud agar kegiatan terorisme ini tidak dapat menjalankan rencana-rencananya untuk melakukan teror. Pergeseran pendekatan untuk memberantas tindak pidana terorisme ini dikarenakan telah terjadi banyak fenomena yang ditemukan saat dilakukannya penyelidikan terorisme itu sendiri, salah satunya adalah sumber-sumber dana yang sangat besar datang dari akun rekening yang tidak dikenal atau dikirimkan oleh pihak-pihak yang diduga menjadi penyandang dana utama teroris tersebut.[Ryan Eka Permana Sakti, http://www.kompasiana.
Dalampasal 4 UU ini disebutkan bahwa “…..setiap orang yang sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme, organisasi teroris, atau teroris…” artinya secara hukum pidana, unsur kesengajaan ini menjadi salah satu hal penting yang dapat menjerat seseorang sebagai terduga teroris.
Untuk itu maka perlu dilakukan revisi terhadap UU Pemberantasan Teroris, agar pelaku teror dapat dihukum dengan hukuman yang maksimal dan menimbulkan efek jera. Dalam rancangan revisi UU Pemberantasan Teroris ada beberapa poin yang krusial dan menjadi perdebatan sengit di DPR, yaitu: hukuman berupa pencabutan paspor atau pencabutan kewarganegaraan secara langsung bagi WNI yang mengikuti pelatihan perang secara ilegal di luar negeri, penambahan pasal baru berkaitan informasi elektronik terkait adanya dugaan tindakan terorisme (sebagai bukti untuk melakukan penangkapan), perdagangan senjata dengan tujuan tindakan terorisme, penambahan pasal tentang kewenangan ekstra teritorial aparat penegak hukum untuk menangkap terduga pelaku terror(terduga teroris/ warga negara (asing) yang ada di sini), dan adanya penambahan masa penahan bagi teduga pelaku teror sebelum ditetapkan sebagai tersangka menjadi
120 hari yang dibagi menjadi dua termin.[http://www.antaranews.
Untuk melakukan deradikalisasi, maka pemerintah melibatkan 7 (tujuh) kementerian dalam program deradikalisasi secara holistik melalui sejumlah pendekatan, yakni pendekatan agama, pendekatan psikologi, pendekatan pendidikan, dan “vocational training”. Kementerian yang dilibatkan antara lain Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan dan
Namun harus diingat bahwa semangat revisi UU Pemberantasan Teroris tetap memperhatikan HAM, serta objektif dalam hal penangannya sehingga tida
Tinggalkan Balasan