POLITIK HUKUM PERUBAHAN KEDUA UU KPK
5 min readPOLITIK HUKUM PERUBAHAN KEDUA UU KPK – Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, dan professional serta berkesinambungan dengan berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK merupakan lembaga negara yang mempunyai tugas dan wewenang dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPK bersifat independen dan bebas dari kekuasaan apapun.
Namun dalam perkembangannya, kinerja dari KPK dirasakan kurang efektif, lemahnya koordinasi antar lini penegak hukum, terjadinya pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan staf KPK, serta adanya masalah dalam pelaksanaan tugas dan wewenang yakni adanya pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang berbeda dengan ketentuan Hukum Acara Pidana, kelemahan koordinasi dengan sesama aparat penegak hukum, permasalahan penyadapan, pengelolaan penyidik dan penyelidik yang kurang terkoordinasi, terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi penegak hukum, serta kelemahan belum adanya lembaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan tugas dan kewenangan pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK.
Politik Hukum RUU KPK
RUU tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK) sudah masuk dalam Prolegnas sejak Tahun 2011 melalui keputusan DPR RI No.02B/DPR/II/2010-2011. Kemudian masuk kembali pada Prolegnas Tahun 2015-2019, prioritas Tahun 2016 pada urutan 37 dimana Draft RUU dan Naskah Akademiknya disiapkan oleh DPR RI.
RUU KPK merupakan usulan inisiatif anggota DPR RI yang sudah di tandatangani oleh 40 anggota DPR RI dan disetujui oleh pimpinan DPR RI.
Selanjutnya DPR RI melakukan Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dibahas secara intensif dan mendalam oleh PANJA dalam konsinyering tanggal 8 Februari 2016.
Hal-hal pokok yang mengemuka dalam pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian disepakati dalam Rapat PANJA, secara garis besar adalah berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :
Nomenklatur “Kejaksaan Agung Republik Indonesia” dalam pasal Pasal 11 ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat(2), Pasal 45A ayat (2), dan Pasal 45B diubah menjadi “kejaksaan” sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Nomenklatur“Kepolisian Negara Republik Indonesia” dalam Pasal 11 ayat (2), 43 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 43A ayat (2), Pasal 43B, Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 45A ayat (2), Pasal 45B, diubah menjadi “kepolisian” sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Frasa “Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana” dalam Pasal 38 dan Pasal 46 ayat (1) diubah menjadi “undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana”.
Pasal 32 ditambahkan ketentuan bahwa “Pimpinan KPK yang mengundurkan diri, dilarang menduduki jabatan publik”.
Pasal 32 ayat 1 huruf c ditambah ketentuan pemberhentian tetap pimpinan KPK yang dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 37D tugas Dewan Pengawas ditambah yakni : – Memberikan izin penyadapan dan penyitaan, Menyusun dan menetapakan kode etik pimpinan KPK
Pasal 37D dalam memilih dan mengangkat Dewan Pengawas, Presiden membentuk Panitia Seleksi.
Pasal 37E ditambahkan 1 (satu) ayat dengan rumusan “anggota Dewan Pengawas yang mengundurkan diri, dilarang menduduki jabatan publik”.
Pasal 40 mengenai SP3, pemberian SP3 harus disertai alasan dan bukti yang cukup dan harus dilaporkan pada Dewan Pengawas, serta dapat dicabut kembali apabila ditemukan hal-hal baru yang dapat membatalkan alasan penghentian perkara.
Pasal 43 ditambah ketentuan bahwa pimpinan KPK dapat mengangkat penyelidik sendiri sesuai persyaratan dalam undang- undang ini.
Pasal 45 ditambah ketentuan bahwa pimpinan KPK dapat mengangkat penyidik sendiri sesuai persyaratan dalam undang-undang ini.
Pasal 47A dalam keadaan mendesak penyitaanboleh dilakukan tanpa izin dari Dewan pengawas terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan dengan Pleno Baleg Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilaksanakan pada tanggal 10Februari 2016, disetujui oleh 8 fraksi terdiri atas PDIP, GOLKAR, PAN, PKB, PPP, PKS, NASDEM, DEMOKRAT dan satu fraksi yang menolak yaitu fraksi GERINDRA.Direncanakan akan di Paripurnakan sebagi usul inisitif DPR RI.
Paripurna di DPR dengan salah satu agenda dalam rapat tersebut adalah pengesahan RUU UU KPK mengalami penundaan atau tidak jadi dibahas sampai batas waktu yang belum ditentukan. Hal ini oleh Pimpinan DPR menyatakan bahwa Pimpinan DPR memang bertemu Presiden di Istana untuk membahas kelanjutan revisi UUKPK. Hasil pertemuan Presiden Jokowi dan DPR sepakat pembahasan revisi UU KPK ditunda. Pertimbangannya, materi revisi UU KPK harus disempurnakan dan disosialisasikan kepada publik.
Kemudian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan revisi ditunda karena masih ada penolakan publik terkait dengan revisi empat poin revisi masih perlu sosialisasi. Keberadaan badan pengawas, penyidik independen, penyadapan, semua perlu pematangan berpikir, perlu sosialisasi,
selain itu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna mengatakan, karena opini publik sangat beragam dan tidak sedikit pihak yang menentang revisi, Pemerintah dan DPR akan mengundang pihak-pihak yang tidak setuju untuk sosialisasi. Dalam sosialisasi itu, pemerintah dan DPR akan menjelaskan bahwa revisi UU KPK tidak akan melemahkan KPK, jadi nanti pihak-pihak yang menyatakan revisi ini sama dengan pelemahan KPK akan diundang, tapi harus berbasis intelektual, tidak emosional.
RUU tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK) merupakan momok yang menakutkan bagi setiap partai politik yang ingin merubahnya. RUU KPK merupakan jantung bagi lembaga KPK untuk bekerja, jadi setiap partai politik yang ingin merubah/merevisi RUU tersebut akan selalu dibayang-bayangi adanya prasangka untuk melemahkan lembaga KPK. Apabila RUU KPK dipandang perlu untuk diubah/direvisi karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, maka untuk kedepan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Draft RUU dan Naskah Akademik disiapkan oleh Pemerintah dan disusun oleh KPK itu sendiri yang mengusulkan materi muatan apa yang perlu diubah untuk menunjang kinerja dari lembaga KPK tersebut agar lebih optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Apabila kesepatakan politik tersebut dapat dilaksanakan maka keberadaan RUU KPK sudah sesuai dengan peruntukannya dan tidak ada unsur-unsur yang dapat melemahkan kinerja lembaga KPK. Selain itu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga harus disesuaikan dengan Konvensi Anti Korupsi tahun 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003.