MENYOROTI MARAKNYA PENGENDARA MOTOR DIBAWAH UMUR – Sepeda motor sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia.Hingga tahun 2016 jumlah sepeda motor di Indonesia mencapai 85 juta unit kendaraan. Namun besarnya penggunaan motor di Indonesia belum diimbangi dengan kesadaran keselamatan berkendara. Keselamatan masih menjadi faktor yang kurang diperhatikan oleh masyarakat sebagai pengguna sarana dan prasarana lalu lintas. Pada tahun 2015 sepeda motor menyumbang angka 56% dari total 9002 kejadian kecelakaan kendaraan bermotor yang terjadi di Indonesia (http://www.netmedia.co.id). Jumlah kecelakaan sepeda motor berdasarkan data dari Korlantas Polri pada periode trimester ketiga 2015 sebanyak 28.544 kasus.
Tingginya jumlah kasus kecelakaan lalu lintas patut menjadi perhatian bersama, terutama jika pelaku pelanggaran lalu luntas adalah anak dibawah umur. Merujuk pada Undang-
Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), definisi pengemudi berdasar Pasal 1 angka 23 UU LLAJ adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Sedangkan persyaratan wajib bagi pengemudi berdasar Pasal 77 ayat (1) UU LLAJ adalah memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan. Sebagaimana diketahui usia minimal 17 tahun merupakan syarat usia untuk mendapatkan SIM, yang berupa SIM A, SIM C, dan SIM D sesuai ketentuan Pasal 81 ayat (2) huruf a UU LLAJ. Pasal 81 Ayat 1 UU LLAJ juga menegaskan,seseorang bisa mendapatkan SIM bila memenuhi syarat usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian.
Fenomena yang marak saat ini di berbagai daerah di Indonesia adalah sepeda motor yang dikemudikan oleh anak di bawah umur yang belum mencapai usia 17 tahun, padahal resiko yang menimpa lebih besar karena anak masih dalam kondisi emosi yang belum
stabil sehingga berbagai pelanggaran pun rentan terjadi. Berdasar data Polda Metro Jaya, pelanggaran oleh pengendara anak di Jakarta pada tahun 2015 sebesar 18713 pelanggar, jumlah ini meningkat sebesar 92,32% jika dibanding tahun 2014 yang hanya mencapai 9730 pelanggar.
Ketentuan Pidana Bagi Pelanggar
Dalam praktiknya penanganan kasus pelanggaran pengendara motor, aparat kepolisian umumnya melakukan penindakan (tilang) kepada anak dibawah umur yang melakukan pelanggaran, dengan menyita sepeda motor dan baru bisa dikembalikan setelah orang tua yang bersangkutan mengurus surat tilang dan mendapat pengarahan serta bimbingan dari kepolisian.
Terhadap pelanggaran pengendara kendaraan bermotor yang berkaitan dengan SIM, termasuk bagi pengendara motor anak dibawah umurmerujuk padaPasal 288 ayat (2) UU LLAJyang menentukan pidana kurungan paling lama 1 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000,00, bagi pengendara yang tidak membawa SIM atau tidak dapat menunjukkan SIM pada saat mengemudikan kendaraan bermotor di jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (5) huruf b. Sedangkan bagi
pengendara yang mengemudikan kendaraan bermotor dan tidak memiliki SIM, Pasal 281 jo. Pasal 77 ayat (1) UU LLAJ menentukan pidana kurungan paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00.
Ketentuan pidana terhadap kelalaian yang dilakukan oleh pengendara motor termasuk anak dibawah umur diatur dalam Pasal 310 UU LLAJ:a) Pidana penjara paling lama 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00, bagi pengemudi kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud Pasal 229 ayat (2); b) Pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 bagi pengemudi kendaraan bermotoryang karena kelalaiannya mengakibatkan KecelakaanLalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakanKendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksuddalam Pasal 229 ayat (3); c) Pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 bagi pengemudi kendaraan bermotoryang karena kelalaiannya mengakibatkan KecelakaanLalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimanadimaksud dalam Pasal 229 ayat (4); d) Pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,00, bagi bagi pengemudi kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4).
Terkait pelanggaran yang dilakukan oleh anak dibawah umur maka berlaku ketentuan yang ada dalam Undang- Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (UU SPPA). Mengenai pidana denda, ketentuanPasal 71 ayat (3) UU SPPA mengatur apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Pidana denda tidak termasuk dalam pidana pokok maupun pidana tambahan yang dapat dikenakan kepada anak. Pidana pokok bagi Anak berdasar ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU SPPA meliputi : a) pidana peringatan;
b) pidana dengan syarat:pembinaan di luar lembaga;pelayanan masyarakat; atau pengawasan; c) pelatihan kerja; d) pembinaan dalam lembaga; e) penjara.Sedangkan pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 71 ayat (2) UU SPPA terdiri dari : a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b)
pemenuhan kewajiban adat (denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat Anak serta tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental Anak).
Apabila dalam hukum materiil hukuman pidananya bersifat alternatif seperti pengaturan Pasal 281 jo. Pasal 77 ayat (1) UU LLAJ,ancaman pidana bagi pengemudi yang tidak memiliki SIM berupa pidana kurungan atau denda maka hakim yang akan menentukan hukuman yang tepat dijatuhkan kepada pelanggar. Jika pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim, maka berdasar ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU SPPA paling lama 1/2 dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Sedangkan, jika pidana denda, dikembalikan kepada pertimbangan hakim, karena pada dasarnya dalam UU SPPA yang diatur adalah jika pidana penjara kumulatif dengan pidana denda, maka pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.
Jika pengendara motor dibawah umur melakukan pelanggaran tidak memiliki SIM dan mengakibatkan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia, berdasar contoh kasus dari Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 74/Pid.Sus/2013/Ptr dan Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan Nomor 89/ Pid. B/2012/PN.PSR, ada dakwaan (dakwaan subsidair) yang mendakwa dengan Pasal 281 UU LLAJ namun hakim memutuskan terdakwa dipidana berdasarkan Pasal 310 UU LLAJ (www.hukumonline.com).
Sedangkan terhadap kasus dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 256/Pid.Anak/2012/PN.Jkt.Sel, Majelis Hakim menjatuhkan vonis 3 bulan pidana penjara dan 6 bulan masa percobaan, karena terbukti melanggar Pasal 310 UU LLAJ.Penjatuhan vonis masa percobaan tidak harus menjalani hukuman penjara asalkan selama masa percobaan yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan pidana atau pelanggaran hukum dan melakukan wajib lapor ke kejaksaan secara berkala. Pada kasus tersebut dari awal tidak dilakukan penahanan dengan pertimbangan rekomendasi dari Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Selatan, anak di bawah umur, berstatus pelajar dan masih sekolah, serta ada permintaan keluarga (www.kompas.com).
Namun berbeda dengan putusan kasus Abdul Qadir Jaelani (AQJ), putra musisi Ahmad Dhani pada tahun 2014 lalu,
Majelis Hakim memutus vonis bebas dari segala tuntutan pidana dan menjatuhkan perintah agar AQJ dikembalikan kepada orangtuanya, meski terbukti melanggar Pasal 310 UU LLAJ Majelis hakim menganggap AQJ kurang perhatian orang tua sehingga masih bisa diberikan pembinaan. Hakim mempertimbangkan hal lain yang meringankan hukuman AQJ karena adanya perdamaian antara keluarga terdakwa dengan para korban. Keluarga terdakwa dianggap bertanggung jawab menanggung biaya pengobatan dan pemakaman para korban yang luka maupun meninggal dunia. Bahkan keluarga AQJ bersedia menanggung biaya pendidikan hingga perguruan tinggi bagi anak korban yang meninggal dunia. Kasus AQJ tergolong “restoratif justice” yang memang diatur dalam UU SPPA (www.bandung.bisnis.com).
(3) UU SPPA, anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah yang telah berumur 12 tahun dan belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana, serta ketentuan Pasal 69 ayat (2) bahwa anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan, jadi pada kasus AQJ tidak dapat dikenakan pidana penjara.
Faktor Penyebab Pelanggaran dan Upaya Penanggulangan
Pada umumnya pelanggaran yang dilakukan oleh anak bukan didasarkan kepada motif jahat (evil will/evil mind), tetapi lebih kepada penyimpangan dari norma-norma sosial, terhadap mereka para ahli kemasyarakatan memberikan pengertian sebagai “anak nakal” atau dengan istilah “Juvenale Delinquency”. Dengan istilah tersebut terhadapnya dapat terhindar dari golongan yang dikategorikan sebagai penjahat (criminal).
Pelanggaran pengendara motor pada anak dibawah umur disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, Keluarga. Menurut Devi Rahmawati pengamat sosial dari Universitas Indonesia, bahwa pada saat ini telah terjadi pergeseran pola asuh atau “kolaps dalam pola asuh”, yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di dunia, ketika para orang tua mengurangi tingkat kedisiplinannya. Jika di negara- negara lain pemberian junk food diberikan sebagai reward kepada anak ketika berprestasi atau sebab lain, di Indonesia
reward ini adalah berupa pemberian gadgets dan kendaraan bermotor termasuk didalamnya sepeda motor. Jadi anak-anak justru diberikan reward yang sebenarnya membahayakan anak itu sendiri. Tentunya bukan hal yang bijak jika pemberian sepeda motor dilakukan terhadap anak dibawah umur. Penentuan batas minimal umur 17 tahun sebagai syarat kepemilikan SIM adalah karena anak dianggap sudah matang secara psikologis dan kognitif, sehingga bisa bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang diambil. Hal itu penting, karena saat berkendara pengambilan keputusan tidak hanya menyangkut keselamatan diri, tapi juga pengguna jalan lain. Selain itu, pada usia itu anak juga sudah dianggap stabil secara emosi. Dengan kondisi jalan raya, pemakai jalan dituntut untuk tidak mudah tersulut emosinya. Banyak orangtua yang belum memahami risiko tersebut, akhirnya mengizinkan anaknya mengendarai kendaraan bermotor. Pergeseran pola asuh yang sudah membudaya tersebut harus segera disadari dan perlahan diubah, karena keluarga adalah lembaga pertama anak. Peran orang tua dalam mendidik dan memberikan perhatian dengan cara yang benar, serta pengetahuan yang memadai mengenai tertib lalu lintas dan keselamatan berkendara juga sangat diperlukan, sehingga anak memiliki pengetahuan yang cukup tentang hak dan kewajibannya dalam berkendara.
Kedua, Sekolah. Sebangai sarana pendidikan dan pengetahuan bagi anak, sekolah memegang peranan penting terutama dalam menanamkan sikap disiplin terhadap anak. Terdapat beberapa sekolah yang mengizinkan siswanya membawa kendaraan bermotor ke sekolah, sehingga mendorong anak dibawah umur untuk berkendara, dan minimnya bimbingan dan sosialisasi dari institusi terkait dalam hal pengetahuan berkendara. Peran pemerintah dan instansi terkait sangatlah penting. Peran ini dapat berupa penerapan larangan dan sanksi bagi sekolah yang mengijinkan siswanya yang membawa atau mengemudikan kendaraan bermotor, dan disertai pemenuhan fasilitas oleh pemerintah dan pihak terkait berupa kendaraan atau bus sekolah bagi para siswa. Meningkatkan kerjasama antara sekolah, orang tua, dengan pihak terkait dalam halsosialisasi terutama dari kepolisian dalam hal pengetahuan berkendara dan peraturan UU LLAJ.
Ketiga, Lingkungan. Mengendarai kendaraan kurang hati-hati bahkan melebihi kecepatan maksimum tampaknya merupakan suatu perilaku yang kurang matang di tengah masyarakat. Tidak sedikit pengemudi yang melakukan hal itu, khususnya anak di bawah umur sehingga kerap pelanggaran lalu lintas tersebut menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Peran pemerintah dan instansi terkait mutlak diperlukan dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat, meningkatkan kedisiplinan, dan keselamatan dalam berkendara, yang dapat berupa sosialisasi yang difasilitasi pemerintah setempat bekerjasamadengan kepolisian dan instansi terkait lainnya. Upaya tersebut diharapkan dapat menciptakan ketertiban dan kedisiplinan masyarakat dalam berkendara.
Keempat, diri sendiri. Anak atau remaja juga berperan dalam hal pelanggaran berkendara. Faktor pergaulan dan gaya hidup dapat mempengaruhi anak dibawah umur yang belum stabil secara emosi. Untuk itu, peran dan perhatian yang benar dari orang tua dan keluarga sangat penting dalam mengarahkan anak kepada pemahaman yang benar dalam penggunaan moda transportasi. Umumnya orang tua memfasilitasi penggunaan kendaraan bermotor bagi anaknya terutama sebagai sarana transportasi ke sekolah dengan pertimbangan keselamatan, mengingat moda transportasi umum masih rawan kriminalitas, namun hal ini tidak diimbangi dengan kesadaran dan kedisiplinan dengan memfasilitasi anak dibawah umur. Pemenuhan fasilitas kendaraan atau berupa bis sekolah yang dapat mengantar jemput siswa juga diperlukan sehingga memberikan kenyamanan dan keselamatan terutama bagi siswa dan juga orang tuanya.
Penanggulangan terhadap banyaknya pengendara motor dibawah umur merupakan perhatian dan tanggung
jawab bersama, masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam mendukung penegakan hukum berlalu lintas dengan memberikan informasi dan masukan kepada pihak kepolisian yang berkaitan dengan masalah lalu lintas dan angkutan jalan termasuk pelanggaran yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Media sosial dan aplikasi online dapat menjadi pilihan sarana partisipasi aktif masyarakat yang terhubung langsung dengan pihak kepolisian. Kebijakan sekolah dan perhatian keluarga juga diperlukan dalam menamankan kedisiplinan anak dan pemahaman berkendara dengan kepemilikan SIM pada batas minimum umur 17 tahun.
Tinggalkan Balasan