MENCERMATI PENGATURAN HUKUMAN KEBIRI DI INDONESIA
9 min readMENCERMATI PENGATURAN HUKUMAN KEBIRI DI INDONESIA – Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perppu 1 Tahun 2016). Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yaitu minimal 10 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara, penjara seumur hidup, dan hukuman mati.Perppu juga mengatur 3 pidana tambahan, yaitupengumuman identitas pelaku kepada publik, kebiri kimiawi, serta pemasangan alat deteksi elektronik (chip elektronik). (http://nasional.kompas.com/).
Pengundangan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 merupakan momentum yang sangat tepat ditengah maraknya kekerasan seksual yang menimpa anak. Masih segar dalam ingatan ketika publik dikejutkan dengan kematian Eno (18 tahun). Eno ditemukan tewas mengenaskan setelah diperkosa dan dibunuh oleh pacarnya danteman sekantornya sendiri dengan cara yang sangat sadis. Sebelum kematian Eno, juga
telah terjadi beberapa kematian yang diakibatkan kekerasan seksual, seperti yang menimpa Yuyun (14 tahun), yang juga dibunuh dengan cara yang kejam setelah diperkosa beramai-ramai oleh sekelompok pemuda karena pengaruh minuman keras.
Kasus kekerasan seksual di Indonesia, terutama kekerasan seksual pada anak di bawah umur beberapa tahun terakhir terus meningkat. Kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kurun waktu 13tahun terakhir berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Bahkan, pada tahun 2012- 2013 terdapat sekitar 30% peningkatan angka kekerasan seksual dan itu sama artinya dengan 35 orang setiap harinya menjadi korban kekerasan seksual (http://www.komnasperempuan.
Berdasarkan studi lainnya yang dilakukan oleh Forum Pengada Layanan (FPL) pada tahun 2014 di 9 provinsi, menunjukkan 45% perempuan korban kekerasan seksual masih berusia anak di bawah 18 tahun; 47% adalah incest, dimana 90% pelakunya adalah ayah korban; dan 85% pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan adalah orang dekat korban seperti orang tua, saudara, suami, tetangga, teman, dan guru (http://www.dpr.go.id). Data Catatan Tahunan (Catahu)2015 dari Komisi Nasional Perempuan menunjukkan, kekerasan seksual pada ranah personal mencapai 72 persen (2.399 kasus) dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, kasus pornografi dan NAPZA meningkat hampir 2 (dua) kali lipat pada tahun 2013 dan 2014. Pada tahun 2013 tercatat sebanyak 51 (lima puluh satu) kasus, meningkat pada tahun 2014 hingga 100 (seratus) kasus. Selain itu, laporan KPAI dari bulan Januari hingga September 2014 menunjukkan, 53 persen (53%) kasus melibatkan anak sebagai korban, 43 persen (43%) sebagai pelaku, dan sisanya sebagai saksi (Republika, 20 Mei 2016).
Lahirnya Perppu Nomor 1 Tahun 2016
Pada tanggal 11 Juni 2014 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Materi muatan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 kemudian disempurnakan dan
sebagian diatur kembali dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014). Hal ini disebabkandalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002dianggap belum mengatur perlindungan anak secara komprehensif, misalnya belum ada pengaturan mengenai perlindungan dari kekerasan seksual yang banyak menimpa anak dan belum dapat memberikan perlindungan terhadap anak yang dieksploitasi.
Pada kenyataannya, pengaturan mengenai larangan untuk melakukan kekerasan seksual dalam Undang-Undang
35 Tahun 2014 tidak membuat berkurangnya kasus kekerasan terhadap anak. Bahkan kasus kekerasan seksual semakin bertambah, pelakunya banyak dilakukan oleh anak (seperti yang telah dicontohkan di atas) dan cara melakukannya sangat sadis. Menyikapi hal tersebut, Presiden segera mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 dengan alasan utama untuk mengatasi kondisi darurat kekerasan seksual, terutama yang dialami oleh anak.
Materi muatan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 pada intinya mengubah dua pasal, yaitu a). Pasal 81 yang menyebutkan: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain; (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang- orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama- sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1); (4)Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D; (5)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun; (6)Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku; (7)Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan chip; (8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan; (9)Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
b) Pasal 82 yang berbunyi : (1)Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang- orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama- sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1); (3)Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E; (4)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1); (5)Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku; (6)Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan cip; (7)Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan; (8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Selain 2 pasal yang diubah, Perppu Nomor 1 Tahun 2016 juga menambah satu pasal 81A dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang berbunyi : Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama
2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok; (2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan; (3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi;
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Materi Muatan Perppu Nomor 1 Tahun 2016
a. Pidana Pokok
Pidana pokok yang diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 dilakukan penambahan masa maksimal pidana penjara selama 20 tahun (Pasal 81 ayat (5). Saat ini, dalam Undang-Undang 35 Tahun 2014, hukuman maksimal bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah pidana penjara selama 15 tahun. Selain penambahan masa tahanan juga diatur pidana seumur hidup dan pidana mati. Dasar hukum penjatuhan pidana mati diatur dalam Pasal 10 KUHP, bahwa pidana pokok terdiri atas: pidana mati; pidana penjara; pidana kurungan; pidana denda; dan pidana tutupan.Sampai saat ini penjatuhan pidana mati terhadap suatu tindak pidana masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Keberatan yang dirasakan oleh masyarakat terhadap penjatuhan pidana mati adalah bahwa penjatuhan pidana mati ini tidak dapat diperbaiki lagi apabila di kemudian hari terbukti bahwa putusan hakim yang menjatuhkan pidana mati itu berdasar atas kekeliruan atau keterangan- keterangan yang ternyata tidak benar.
Secara sosiologis, pidana mati dapat menimbulkan efek jera atau dapat mengurangi timbulnya kejahatan dipengaruhi oleh hakekat sanksi, kepastian dan persepsi
terhadap sanksi, maupun kecepatan- kecepatan penindakan atau penerapan sanksi. Sanksi dapat bersifat positif dan negatif. Sanksi berwujud imbalan dan negatif berwujud hukuman (Ratih Lestarini, 2007). Penjatuhanpidana matijuga didasarkan pada ide untuk menghindari tuntutan atau reaksi masyarakat yang bersifat balas dendam, emosional, sewenang- wenang, dan tidak terkendali.
Pengaturan pidana mati dalam Pasal 81 ayat (5) Perppu Nomor
1 Tahun 2016 dijatuhkan terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
b. Pidana Tambahan
Ketentuan Pasal 81 ayat (6) dan ayat (7) Perppu Nomor 1 Tahun 2016 mengatur penjatuhan pidana tambahan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pidana tambahan tersebut berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan chip. Sedangkan ketentuan Pasal 82 ayat (5) dan ayat (6) mengatur penjatuhan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, rehabilitasi, dan pemasangan cip. Penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan agar pelaku menjadi jera dan tidak akan melakukan perbuatannya di masa yang akan datang. Pelaku juga aka dibantu dengan rehabilitas dengan tujuan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan pelaku kekerasaan seksual yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial). Pengumuman identitas pelaku dimaksudkan agar pelaku diketahui oleh masyarakat sehingga sulit berintegrasi dan bersosialisasi di masyarakat setelah menjalani masa tahanannya.
Pengaturan hukuman kebiri dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 merupakan terobasan baru dalam bidang hukum. Hukuman kebiri telah ada di Eropa sejak abad pertengahan. Pada zaman sekarang, hukuman kebiri juga masih dilaksanakan di berbagai negara, seperti Ceko, Jerman, Moldova, Estonia, Argentina, Australia, Israel, Selandia Baru, Korea Selatan,
Rusia, serta beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Sebenarnya ada dua macam teknik kebiri, yaitu kebiri fisik dan kebiri kimiawi. Kebiri fisik dilakukan dengan cara mengamputasi organ seks eksternal pemerkosa, sehingga membuat pelaku kekurangan hormon testosteron. Kurangnya hormon ini akan banyak mengurangi dorongan seksualnya.Hukuman kebiri yang diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 berupa kebiri kimiawi,yaitu dengan cara menyuntikkan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang supaya produksi hormon testosteron di tubuh mereka berkurang. Tujuannya untuk mematikan nafsu seksual bagi pelaku tindak kekerasan seksual. kebiri kimiawi menimbulkan efek negatif berupa penuaan dini pada tubuh. Cairan anti-androgen diketahui akan mengurangi kepadatan tulang sehingga risiko tulang keropos atau osteoporosis meningkat. Satu hal yang perlu diketahui, kebiri kimiawi tidak bersifat permanen. Artinya, jika pemberian zat anti-androgen dihentikan, efeknya juga akan berhenti dan pemerkosa akan mendapatkan lagi fungsi seksualnya, baik berupa hasrat seksual maupun kemampuan ereksi (http://health.kompas.com/
Khusus untuk pemasangan chip yang dimaksud tidak diberikan kepada sembarang pelaku kejahatan seksual, namun kepada mereka yang dianggap berbahaya ketika sudah keluar dari penjara setelah menyelesaikan masa tahanan. Bentuk pengaplikasian chip nantinya bisa saja diwujudkan dalam bentuk gelang kaki dan kepolisian bisa memonitor pergerakannya. Misalnya pelaku pedofil, maka ketika pengguna gelang mendekati lokasi yang banyak anak-anak maka polisi sudah bisa bersiaga (http://news.detik.com/).
c. Pengecualian bagi pelaku anak
Ketentuan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2106 dikecualikan bagi pelaku Anak sesuai dengan ketentuan Pasal 81 dan 82, yang meyatakan bahwa Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak. Hal ini disebabkan anak pelaku kekerasan seksual sudahtunduk pada 2 ketentuan Undang-Undang yaitu, Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012). Anak pelaku kekerasan
seksual masih diberikan perlindungan agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta harus dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal angka 2 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014).
Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 sudah menerapkan konsep restorative justice ataukeadilan restoratif, yang telah disinkronisasikan dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Tujuannya adalah untuk melindungi anak yang menjadi pelaku kejahatan dan anak yang menjadi korban kejahatan. Konsep diversi yang ada dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 wajib diupayakan dalam setiap tahapan peradilan mulai dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Selain itu peran lembaga lain (seperti Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, dan Pembimbing Kemasyarakatan) sangat penting untuk mendukung diwujudkannya keadilan restoratif, khususnya bagi anak pelaku kekerasan seksual (Ismala Dewi, 2013).
Penetapan Perppu Menjadi Undang- Undang
Agar dapat ditetapkan menjadi Undang-Undang, Perppu Nomor 1 Tahun 2016 telah diajukan oleh Presiden kepada DPR pada masa persidangan kelima Tahun Sidang 2015-2016 ini. Perppu tersebut dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan Perppu menjadi
Undang-Undang. Selanjutnya DPR hanya akan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu yang diajukan. Jika Perppu mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tersebut langsung ditetapkan menjadi Undang- Undang. Namun, jika Perppu Nomor 1Tahun 2016 tersebut tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perppu tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1), (2), (3),
(4), dan (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.