POLEMIK UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG TABUNGAN PERUMAHAN RAKYAT (TAPERA)
5 min readPOLEMIK UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG TABUNGAN PERUMAHAN RAKYAT (TAPERA) – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) pada 23 Pebruari 2016.Polemik sudah terjadi sejak peraturan yang merupakan inisiatif DPR ini masih berupa RUU sampai akhirnya disahkan. UU yang terdiri dari 12 Bab dan 82 Pasal ini menjadi polemik terutama dari kalangan pengusaha dan pekerja, karena dana tapera tersebut dibebankan kepada pengusaha dan pekerja. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bahkan berencana untuk melakukan judicial review terkait peraturan ini. Pada dasarnya target utama dari pemanfaatan dana tapera adalah bagi pekerja dengan kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).Kategori MBR adalah pekerja dengan penghasilan sampai dengan Rp 4 juta/ bulan untuk pembelian rumah tapak dan Rp. 7 juta/bulan untuk apartemen dan rumah susun. Sedangkan bagi pekerja non-MBR dan pemberi kerja atau pengusaha, tidak dapat mempergunakan dana tabungannya untuk pembiayaan rumah, namun dapat digunakan sebagai Jaminan Hari Tua (JHT) atau tabungan pensiun. UU Tapera ditujukan untuk memfasilitasisistem tabungan perumahan dalam rangka mengatasi backlog (kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tempat tinggal) secara bertahap. Sampai dengan tahun 2010berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) masih terdapat backlog kepenghunian sebesar 13,5 juta unit rumah, dan pada tahun 2015 naik menjadi 15 juta unit rumah.
Pekerja Mandiri dan Pegawai yang telah menikah atau berusia minimal 20 tahun dengan gaji diatas upah minimum diwajibkan untuk mengikuti Program Tapera. Program Tapera akan menambah jumlah iuran wajib dengah jumlah tidak lebih besar dari 3% jumlah gaji, maksimal 20 kali dari upah minimum. Beban iuran tersebut dibagi kepada Pemberi Kerja sebesar 0.5% dan Pegawai sebesar 2.5%, sedangkan Pekerja Mandiri membayar iuran tersebut sendiri. Setiap peserta program Tapera akan mendapatakan Nomor Identitas Kepesertaan dan Rekening Individu. Diakhir masa kepersertaan setiap Peserta akan mendapatkan uang tabungan Tapera, ditambah dengan bunga hasil investasi, sedangkan hanya Peserta yang memenuhi persyaratan yang dapat memanfaatkan dana Tapera. Investasi Tapera akan fokus pada investasi produk keuangan perumahan dan kawasan permukiman berserta produk terkaitnya. Investasi akan dilakukan dengan sistem Syariah Islam atau konvensional yang setiap Peserta dapat memilih. Program Tapera nantinya akan diawasi dan dikelola oleh Badan Pengolaan Tapera (BP Tapera). (http://www.hukumproperti.com)
Undang-undang ini baru berlaku efektif tahun 2018 karena harus menungguPeraturan Pemerintah (PP), pembentukan Badan Pengelola Tapera (BP Tapera), Komite Tapera,
penggabungan/peleburan Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum) ke dalam BP Tapera, bank kustodian, bank pembiayaan, dan manajer investasi.
Beberapa Kebijakan UU Tapera yang Menjadi Polemik
Pertama, besaran iuran wajib yang akan dikenakan, saat ini perkiraan iuran wajib untuk pekerja 0,5% dan pemberi kerja/pengusaha 2,5%, total 3%. Berdasar
ketentuan Pasal 17 ayat (2) ketentuan pasti besaran iuran tersebut diatur lebih lanjut dengan PP. Beban baik bagi pekerja maupun pengusaha semakin besar setelah sebelumnya dibebankan iuran BPJS kesehatan, bagi pekerja 1% dari upah dan bagi pemberi kerja/pengusaha 4% dari upah. Iuran BPJS ketenagakerjaan bagi pekerja untuk dana jaminan hari tua 2% dari upah dan untuk jaminan pensiun 1% dari upah. Iuran BPJS ketenagakerjaan bagi pegusaha jaminan hari tua 3,7% dari upah, jaminan kecelakaan kerja 0,24- 1,74% dari upah, jaminan kematian 0,3% dari upah, jaminan pensiun 2% dari upah, cadangan pesangon 8%. Sedangkan untuk rencana iuran Tapera pekerja dibebankan sebesar 2,5% dari upah, dan pengusaha 0,5% dari upah. Total iuran bagi pekerja 6,5% dari upah dan pengusaha 18,74%-
20,24% dari upah (http://video.metrotvnews.com)
Diharapkan pada tahap perumusan PP, pemerintah melibatkan semua pihak terkait UU Tapera, terutama pihak yang berkeberatan yaitu pemberi kerja/pengusaha dan pekerja, agar besaran iuran wajib yang dikenakan dapat berimbang.
Kedua, kebijakan pembiayaan perumahan yang diatur UU Tapera berpotensi tumpang tindih dengan kebijakan BPJS ketenagakerjaan. Ketentuan Pasal 37A PP No. 55 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, pemerintah mengatur pengembangan dana sosial JHT pada instrumen investasi dapat digunakan untuk mendukung program penyediaan perumahan bagi peserta maksimal 30% dari total dana sosial JHT. Sinkronisasi peraturan mutlak perlu dilakukan pemerintah bukan hanya terkait penyediaan perumahan namun juga terkait pengaturan jaminan hari tua dan jaminan kesehatan.
Ketiga, penetapan Warga Negara Asing (WNA) sebagai peserta Tapera.Salain Warga Negara Indonesia (WNI) ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Tapera mengatur keikutsertaan WNA pemegang visa dalam iuran wajib Tapera dengan masa kerja minimal 6 bulan. Namun WNA ini tidak berhak menggunakan fasilitas pembiayaan rumah sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (2). Oleh karenanya,lebih lanjut ketentuan ini
perlu dikaji ulang dan diperjelas urgensi dan relevansinya dalam PP agar lebih tepat sasaran.
Keempat, berkaitan dengan BP Tapera yang masih diragukan.Status hukum BP Tapera perlu dipertegas apakah badan hukum publik, BUMN atau privat, karena dalam UU Tapera tidak mengatur status hukum BP Tapera. Selain itu perlunya pengawasan pengelolaan dana Tapera. Menurut UU Tapera, dana diinvestasikan ke produk konvensional maupun syariah, seperti deposito, surat utang pemerintah pusat dan daerah, surat berharga perumahan, dan bentuk investasi lain yang menguntungkan. Baiknya ada pemisahan pembukuan dana atau aset BP Tapera dengan dana Tapera yang diatur dalam UU Tapera.Juga berkaitan dengan transparansi peralihan aset Bapertarum Pegawai Negeri Sipil ke dalam BP Tapera harus transparan, mengingat peleburan Bapertarum termasuk semua karyawannya ke dalam BP Tapera.
Kelima, kepastian kemanfaatan bagi peserta tapera. Manfaat yang diperoleh bagi peserta MBR adalah mendapatkan perumahan yang layak dengan harga murah, sedangkan bagi peserta non-MBR dana yang dikumpulkan bisa dicairkan pada masa pensiun. Namun berdasar ketentuan Pasal 14 ayat 3 bahwa hasil pemupukan dana yang diperoleh setelah terlebih dahulu dilakukan pembagian secara prorata. Makna prorata berpotensi terhadap pemotongan pemupukan dana yang diperoleh peserta. Jika demikian idelanya dana hasil pemupukan peserta tidak dilakukan pemotonganuntuk memenuhi rasa keadilan dan pemanfaatan dana yang optimal. Jika tetap diberlakukan sistem prorata maka pemerintah harus transparan dalam mengatur rincian pemotongan tersebut. Pengelolaan dana tapera memang perlu dilakukan pengawasan secara melekat dan transparansi laporan dana secara berkala yang dapat diakses peserta. Selain itu perlu diatur lebih lanjut mengenai jangka waktu peserta mendapatkan fasilitas pembiayaan rumah sejak terdaftar menjadi peserta Tapera yang belum diatur dalam UU Tapera.
Unsur Efektifitas Hukum dalam UU Tapera
Pengelolaan tapera berdasar pengaturan Pasal 2 dilandaskan pada beberapa asas diantaranya asas gotong royong, kemanfaatan, keadilan, dan keterbukaan.Sejalan dengan asas pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik, diatur dalam Pasal 5
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, diantaranya kesesuaian antar jenis, hierarki, dan materi muatan; kedayagunaan dan
kehasilgunaan;kejelasan rumusan; dan keterbukaan.Namun dengan adanya polemik yang terjadi, kebijakan UU Tapera belum sepenuhnya mengakomodir asas- asas tersebut. Lebih lanjut hal ini berkaitan dengan efektivitas pemberlakukan UU Tapera. Pengukuran efektivitas hukum dapat ditinjau dari sejauhmana aturan tersebut ditaati atau tidak ditaati(Achmad Ali Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) 2009:375). Salah satu unsur yang mempengaruhi ketaatan hukum secara umum diantaranya Relevansi aturan hukum dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum. Jika aturan hukum berbentuk undang-undang, pembuat undang-undang dituntut untuk mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang tersebut (C. G. Howard & R. S Mumners, Law: Its Nature And Limits, 1965: 46-47), dalam Achmad Ali 2009:298). Selain itu salah satu unsur penentu efektif tidaknya suatu hukum yang berkaitan dengan undang- undang adalah bahwa peraturan yang ada sudah cukup sinkron secara hierarki tidak ada pertentangan (Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, 1983:80). Merujuk teori tersebut dengan polemik yang terjadi, UU Tapera belum sepenuhnya memenuhi unsur efektivitas hukum. Harapan kedepan pembuat undang- undang lebih bisa mengakomodir unsur- unsur tersebut sehingga undang-undang yang dihasilkan dapat berjalan efektif, berdayaguna dan berhasilguna.