URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU
6 min readURGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU – Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Pemilu (RUU Kitab Hukum Pemilu) dimuat dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang- Undang Prioritas Tahun 2016, yaitu pada nomor 26 dengan judul RUU Kitab Hukum Pemilu. Dalam kolom keterangan, draft dan RUU Kitab Hukum Pemilu disiapkan oleh Pemerintah. RUU Kitab Hukum Pemilu adalah satu gagasan untuk mengkodifikasi/mengompilasikan berbagai UU yang terkait dengan Pemilu ke dalam satu naskah. Penyatuan UU Pemilu kedalam satu naskah bersama ini pun didasari atas Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu DPR, DPD, dan DPRD pada tahun 2019 dilaksanakan secara serentak.
Memaknai Putusan MK No 22-24/PUU- VI/2008 untuk Pemilu Serentak 2019
Persoalan sistem Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD memang perlu dievaluasi
kembali karena cara penetapan caleg terpilih dengan urutan suara tersebut pada Pemilu 2009 dan 2014 ternyata masih menimbulkan banyak masalah. Sehingga kemudian muncul pertanyaan selanjutnya, apakah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dalam rangka Pemilu serentak tahun 2019 apakah masih tetap menggunakan sistem proporsional terbuka atau kembali ke sistem proporsional tertutup?
Dalam rangka mementum perbaikan pelaksanaan Pemilu, terutama pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019 melalui RUU Kitab Hukum Pemilu yang perlu sesegera mungkin mulai disusun, maka perlu dikaji kembali apakah benar MK dalam Putusan MK No 22-24/PUU- VI/2008 mewajibkan penggunaan sistem urutan suara terbanyak? Apakah jika kembali ke sistem nomor urut bertentangan dengan putusan MK? Sejatinya, Putusan MK No 22-24/PUU- VI/2008 memiliki amar yang pada
pokoknya menyatakan bahwa Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 10 Tahun 2008) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Banyak yang mungkin keliru memahami Putusan MK No 22-24/PUU- VI/2008 ini, dengan berasumsi bahwa MK mewajibkan penggunaan sistem urutan suara terbanyak. Hal ini adalah keliru, karena MK tidak pernah mewajibkan pemberlakuan sistem urutan suara terbanyak dikarenakan 2 (dua) hal, yakni:
1.Terkait dengan sistem pemilu, apakah akan menggunakan sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup, semua itu adalah konstitusional. Hal ini dikarenakan sistem-sistem tersebut adalah wujud pilihan sistem yang lahir dari delegasi kewenangan yang dimandatkan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 kepada pembentuk undang-undang.
Oleh karena Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 terutama pada ayat (6) mendelegasikan kepada pembentuk undang-undang, maka sejatinya pilihan apakah akan menggunakan sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup, semua itu adalah konstitusional, sehingga itulah sebabnya adalah keliru ketika diartikan bahwa MK dalam Putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 telah mewajibkan pemberlakuan sistem urutan suara terbanyak.
Hal lainnya yang juga menguatkan alasan bahwa MK tidak pernah membatalkan Undang- Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang terdapat dalam Pendapat Mahkamah pada point [3.17] Putusan MK No 51-52-59/PUU- VI/2008 yang menyatakan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak
mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, seperti halnyaketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan,
serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”.
2. Keberlakuan sistem dengan urutan suara terbanyak sejatinya adalah DPR dan pemerintah (pembentuk undang-undang) sendiri dalam pasal selanjutnya yakni Pasal 215 UU No. 10 Tahun 2008. Terkait pasal yang kemudian diuji ke MK, sebenarnya putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 sejatinya hanya menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ayat-ayat tersebut dibatalkan karena ambang batas 30% dari bilangan pemilih pembagi (BPP) sebagai ambang dimulainya penetapan dengan urutan suara terbanyak dianggap tidak adil terhadap para caleg maupun terhadap para pemilih. Hal ini dinyatakan oleh MK dalam Pendapat Mahkamah dalam Putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 pada halaman 104-105 yang menyatakan sebagai berikut:
Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 yang menentukan bahwa calon terpilih adalah calon yang mendapat di atas 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau menempati nomor urut lebih kecil, jika tidak ada yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu partai politik peserta Pemilu adalah inkonstitusional. Inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat sebagaimana telah diuraikan di atas dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak
diindahkan dalam penetapan anggota legislatif akan benar-benar melanggar kedaulatan rakyat dan keadilan, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem erpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil”. Selanjutnya, mahkamah lalu berpendapat pula ”Bahwa dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing- masing Caleg. Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung hak
suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak.
Oleh karena itu, dalam rangka mementum perbaikan pelaksanaan Pemilu, terutama pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019 melalui RUU Kitab Hukum Pemilu, pembentuk undang- undang berkeinginan untuk kembali ke sistem nomor urut, maka hal ini tidaklah bertentangan dengan Putusan MK No 22- 24/PUU-VI/2008.
Hal yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam hal kaitannya dengan pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019. Adapun mengenai pencalonan pasangan presiden/wapres yang harus dipilih secara serentak bersama dengan calon-calon anggota legislatif, hal itu juga harus segera dibahas mekanisme dan syarat-syaratnya. MK sendiri dalam putusannya tidak menegaskan bahwa semua partai politik peserta pemilu langsung dapat mengajukan pasangan capres/cawapres, melainkan hanya memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu
DPR, DPD, dan DPRD padat tahun 2019 dilaksanakan secara serentak. Perlu dikaji apakah semua partai politik yang telah berbadan hukum dan lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 2019, dapat ikut dalam Pemilu Serentak 2019? Ataukah partai politik yang dapat mengajukan pasangan capres/cawapres hanya bisa diajukan oleh partai politik yang sudah pernah ikut pemilu dan mempunyai kursi di DPR berdasar hasil Pemilu 2014? Hal ini sesuai bunyi Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Jika dalam hal ini “pemilihan umum” dimaksud adalah Pemilu 2019 maka berdasarkan pengertian gramatikal pasal a quo maka “pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemiihan umum” adalah Pemilu 2014.
Oleh karena itu, adalah penting jika RUU Kitab Hukum Pemilu dapat dilaksanakan secepatnya mulai tahun 2016 ini, sebagaimana RUU ini telah masukdalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016, hal ini juga dikarenakan bilamana ada yang kemudian mengajukan judicial review atas RUU Kitab Hukum Pemilu tersebut, minimal untuk masalah-masalah yang penting tersebut sudah bisa diselesaikan dan diputus sebelum pendaftaran caleg dan pasangan capres/cawapres pada sebelum penghujung tahun 2018.