FENOMENA DALAM KEKOSONGAN HUKUM – “Negara Indonesia merupakan Negara hukum”, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka dari itu dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem/aturan/hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa dan berdasar pada amanah Undang- Undang ditempatkanlah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia seperti yang tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun dalam kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara/keadaan yang timbul dalam dinamika masyarakat suatu negara sehingga kadang kala menyulitkan para penegak hukum untuk menyelesaikan hal tersebut.
Upaya penegakan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia seringkali berhadapan dengan kendala yang berhubungan dengan perkembangan masyarakat dan merupakan suatu konsekuensi logis dari perkembangan peradaban masyarakat dunia. Dalam hal ini perkembangan masyarakat yang lebih cepat daripada perkembangan peraturan perundang-undangan menjadi masalah berkaitan dengan hal-hal yang belum atau tidak diatur dalam Peraturan Perundang- Undangan, karena berdasarkan pernyataan tersebut bisa diambil suatu konklusi bahwa tidak mungkin suatu peraturan perundang- undangan dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas sehingga memungkinkan terjadinya keadaan dimana aturan yang ada di suatu Negara dianggap tidak lengkap dan tidak menjamin kepastian hukum warganya yang berakibat adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum) di masyarakat.
Hukum nasional yang berkeadilan dan teratur dapat menjadi ukuran yang pasti dalam masyarakat, namun pada kenyataannya hukum yang ada masih belum mampu mengakomodir serta jauh tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Hal inilah yang menjadi penyebab timbulnya kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan apa yang harus dipakai atau diterapkan, sehingga dalam masyarakat mengakibatkan tidak adanya kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur hal- hal atau keadaan yang terjadi. Untuk itu sangat diperlukan suatu hukum yang stabil dan fleksibel serta mampu mengikuti perkembangan tersebut tanpa mengilangkan nilai-nilai luhur kebangsaan yang sesuai cita-cita pendiri bangsa.
Menurut Hukum Positif kekosongan hukum (rechstvacuum) tersebut lebih tepat dikatakan sebagai kekosongan Undang- Undang atau Peraturan Perundang- Undangan. Ada kalanya hal tersebut juga terjadi dari sisi pihak yang mempunyai wewenang dalam melakukan penyusunan suatu Peraturan Perundang-Undangan baik oleh Legislatif maupun Eksekutif memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat Peraturan Perundang-Undangan itu dinyatakan berlaku maka keadaan dan hal-hal yang hendak diatur oleh peraturan tersebut sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan seiring dinamika masyarakat. Seringkali ditemukan juga ketidakkonsistensian Lembaga Eksekutif (Pemerintah) atau badan lain dalam rangka melaksanakan Undang-Undang dalam upaya menjamin kepastian hukum masyarakat, hal ini bisa kita temui dalam hal adanya amanah suatu Peraturan Perundang-Undangan yang mengharuskan diterbitkannya peraturan pelaksana namun pada kenyataannya aturan pelaksanaan tersebut yang pada dasaranya merupakan suatu kumpulan pedoman untuk menjadi dasar menjalankan lebih lanjut isi suatu Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tidak pernah ada / dibuat.
Maka dari itu diperlukan sinergisitas serta kesadaran lebih (awareness) dengan menghilangkan ego sektor terkait dengan tugas dan tanggung jawab selaku penyelenggara negara antara para pihak pembentuk peraturan dan peran serta aktif masyarakat, seperti yang tertuang dalam Pasal 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 terkait dengan “Partisipasi Masyarakat” dalam pembentukan Peraturan Perundang- Undangan sesuai dengan semangat perkembangan dunia dewasa ini yang mengedepankan transparansi antara pemerintah dengan rakyatnya yang tetap mengacu pada koridor hukum sesuai ideologi bangsa.
Hal lain yang kerap terjadi dalam fenomena berlakunya hukum jika disandingkan dengan perkembangan dinamika masyarakat terkait kekosongan hukum tidak hanya berhubungan langsung dengan Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan namun dapat juga berhubungan dengan Badan Peradilan itu sendiri. Yang pada hakikatnya Badan Peradilan merupakan bentuk penjabaran lebih lanjut mengenai Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permasalahan pertama yang berhubungan dengan hal ini dan kerap menjadi kebingungan dalam masyarakat yaitu dalam hal terjadi suatu perbuatan yang salah dan berakibat merugikan orang lain sementara perbuatan tersebut belum ada aturan dalam Undang- Undang. Untuk menjawab hal tersebut perlu dibahas lebih lanjut mengenai Yurisprudensi.
Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formil selain Undang- Undang, kebiasaan, dan traktat. Yurisprudensi dapat berarti ajaran hukum yang diciptakan oleh peradilan dan dipertahankan secara terus menerus oleh peradilan.
Menurut A. Ridwan Halim, Yurisprudensi adalah suatu putusan hakim atas suatu perkara yang belum ada pengaturannya dalam Undang-Undang yang untuk selanjutnya menjadi pedoman bagi hakim-hakim lainnya yang mengadili kasus- kasus serupa (1998:57). Lebih jelas Prof. Subekti berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Yurisprudensi adalah Putusan- putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat dikatakan ada hukum yang diciptakan melalui yurisprudensi (Kamil dan Fauzan, 2004:11).
Jadi tidak semua putusan hakim tingkat pertama atau tingkat banding dapat dikatakan sebagai yurisprudensi. Hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun 1995 menyimpulkan bahwa suatu putusan hakim dapat disebut sebagai yurisprudensi, apabila putusan tersebut memenuhi unsur, yaitu: pertama, putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan Perundang- Undangannya; kedua, putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap; ketiga, telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama; keempat, putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan; kelima, putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Sehingga dalam hal ini lebih dititikberatkan pada integritas serta profesionalitas aparat penegak hukum khususnya dalam Badan Peradilan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kemudian permasalahan kekosongan hukum lain yang berkaitan erat dengan Badan Peradilan apabila telah terjadi kekosongan hukum dalam masyarakat yakni akan timbul adanya perbuatan/hal baru yang menyimpang namun belum dikategorikan sebagai suatu tindak pidana, apa bisa dikategorikan perbuatan tersebut sebagai suatu tindakan kriminal. Untuk menjawab hal tersebut perlu dikaitkan dengan sistem peradilan hukum Indonesia, sistem peradilan hukum di Indonesia yang tidak menganut aliran freie rechtslehre (hakim bebas melakukan sesuatu / menciptakan hukum) dan aliran legisme (hakim selaku pelaksana pelaksana Undang- Undang belaka), tetapi menganut aliran rechtsvinding yang merupakan perpaduan antara aliran freie rechtslehre dengan aliran legisme (hakim terikat pada Undang- Undang, tetapi mempunyai kebebasan untuk menciptakan hukum/kebebasan yang terikat/keterikatan yang bebas). Oleh karena itu meskipun terjadi kekosongan hukum hakim harus lah berperan untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan hukum dapat dimaknai sebagai sebuah proses untuk menemukan hukum yang konkret terhadap gejala/peristiwa hukum yang konkret yang nantinya akan dibentuk oleh hakim atau petugas hukum terkait berdasarkan perkembangan yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, ada kalanya hakim dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab profesi harus menyesuaikan Peraturan Perundang-Undangan dengan hal-hal nyata oleh karena peraturan- peraturan yang ada tidak dapat mencakup segala peristiwa yang timbul dalam masyarakat. Sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni untuk mencapai kepastian hukum.
Berdasarkan Pasal 22 A.B. (Algemene Bepalingen) dinyatakan bahwa “Hakim yang menolak mengadili dengan alasan Undang- Undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak mengadili”.
Selain itu disebutkan pula dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Sehingga jika mengacu pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut secara tidak langsung memberikan ruang seluas-luasnya kepada hakim untuk tetap memeriksa perkara meski belum diatur dalam Undang-Undang dengan ketentuan hakim tersebut harus mampu berperan sebagai penemu hukum yang belum ada agar tetap sejalan dengan prinsip/asas legalitas yang masih dianut dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Karena jika kita mengacu pada amanah Undang-Undang sangat tegas dikatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, independent dan bebas dalam intervensi manapun, merdeka dapat diartikan bahwa hakim diberikan kewenangan yang sangat luas oleh Undang- Undang untuk menjalankan peradilan dan mengadilinya termasuk jika diperlukan melakukan inovasi dengan cara penemuan dan pembentukan hukum baru dengan tetap menegakan serta menerapkan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila. Namun perlu diingat walaupun hakim mempunyai peran untuk penemuan dan pembentukan hukum, kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan
legislatif ataupun eksekutif seperti halnya Badan Pembentuk Peraturan Perundang- Undangan. Keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1917 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata bahwa “Kekuasaan keputusan kehakiman hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan itu”.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka langkah utama dalam upaya untuk mengatasai kekosongan hukum yang ada dalam dinamika perkembangan masyarakat seperti yang sudah disebutkan yaitu diperlukannya kebijakan serta prakarsa dari Badan Pembentuk Peraturan Perundang- Undangan yang berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang” dan “Setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Pasal 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan pula bahwa “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat” dan “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”. Dalam hal ini berarti kebijakan serta prakarsa dari Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan memegang peranan yang sangat penting dalam menciptakan atau membentuk suatu Peraturan Perundang-Undangan baik mengatur hal-hal atau keadaan yang tidak diatur sebelumnya maupun perubahan atau penyempurnaan dari Peraturan Perundang- Undangan yang telah ada namun tidak sesuai dengan dinamika perkembangan dalam masyarakat. Selain itu diperlukan juga peran serta masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan agar terciptanya kestabilan, keteraturan dan keharmonisan hukum nasional. Yang tidak kalah pentingnya harus ada integritas serta sikap profesionalitas dari Badan Peradilan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena pada hakekatnya keadilan sebagaimana yang tercantum dalam sila ke 5 Pancasila tidak hanya sebatas adil/penyamarataan terhadap seluruh rakyat namun lebih mengacu pada kemampuan menjalankan hak dan kewajiban secara seimbang baik dalam pemenuhan kebutuhan terhadap setiap orang sesuai hak masing-masing serta kekuasaan hukum yang menjamin dan mampu/wajib memberi konsekuensi sanksi terhadap seluruh para pelanggar hukum sesuai dengan tingkat kesalahan dalam masyarakat.
Tinggalkan Balasan