IRONI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
5 min readIRONI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA – Bangsa Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya, meninggalkan sejarah beserta warisan yang tak ingin dijadikan pendikte oleh bangsa Indonesia yang kini merdeka. Setelah proklamasi kemerdekaannya Indonesia terus berusaha membentuk tatanan hukum yang sesuai dengan jati diri negara Indonesia. KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) sebagai warisan bangsa kolonial masih diberlakukan di Indonesia hingga saat ini, dengan dasar menghindari kekosongan hukum (recht vacuum) melalui Pasal I Aturan Peralihan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang berbunyi “Segala peraturan perundang- undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Ironinya, Profesor asal Universiteit Utrecht Belanda Prof. Dr.Tineke E. Lambooy mengemukakan, bahwa KUHPerdata di negara asalnya telah mengalami beberapakali perubahan menyesuaikan dengan kondisi yang ada di Belanda (hukumonline.com, 18 April 2015). Indonesia memang belum melakukan pembaharuan secara menyeluruh bagi KUHPerdata seperti yang terjadi dengan KUHP. Namun, sudah banyak bagian KUHPerdata yang telah diperbarui dengan undang–undang, sehingga KUHPerdata seakan tersingkirkan dan dipertanyakan kedudukannya.
Kedudukan KUHPerdata di Indonesia sering menuai pro dan kontra. Pada sidang Badan Perancangan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bulan Mei 1962, Sahardjo, S.H., sebagai Menteri Kehakiman pada masa tersebut menyatakan gagasan bahwa KUHPerdata hanya dianggap sebagai pedoman. Hal ini disebabkan karena KUHPerdata dirasa kurang sesuai dengan nilai–nilai yang hidup di Indonesia. Sebagaimana cita–cita negara Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan mengharapkan adanya sistem hukum yang didasarkan kepribadiaan Indonesia, penafsiran KUHPerdata sebagai pedoman merupakan suatu bentuk dorongan agar terwujudnya cita–cita tersebut. Dengan gagasan ini, hakim dapat mengesampingkan beberapa pasal dalam KUHPerdata dan menggagas suatu aturan yang baru. Pendapat ini juga didukung dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963 yang diterbitkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada masa kepemimpinan Wirjono Prodjodikoro, Burgerlijk Wetboek (BW) dianggap sebagai suatu kodifikasi hukum tidak tertulis (hukumonline.com, 19 Maret 2009).
Bertentangan dengan pendapat sebelumnya, sebagian kelompok menganggap KUHPerdata sebagai suatu undang–undang yang berlaku secara sah dalam sistem hukum Indonesia. Pendapat ini didasarkan dengan aturan peralihan UUD NRI 1945 yang memberlakukan KUHPerdata sebagaimana disebutkan sebelumnya. Selain itu, pembaharuan bagian–bagian KUHPerdata selama ini melalui pengaturan yang lebih khusus. Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali, pengaturan tersebut mengesampingkan KUHPerdata itu sendiri tetapi tidak spesifik mencabut keberadaan KUHPerdata. Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya juga menyatakan bahwa pengertian pencabutan peraturan perundang- undangan berbeda dengan pengertian perubahan peraturan perundang-undangan sehingga pencabutan peraturan perundang- undangan tidak merupakan bagian dari perubahan peraturan perundang-undangan (Soeprapto, 2007:174). Menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 jo.Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, suatu peraturan perundang–undang hanya dapat digantikan atau diubah, maupun dinyatakan tidak berlaku lagi/dicabut dengan peraturan perundang–undangan yang setingkat atau lebih tinggi, dengan ini dapat disimpulkan bahwa kedudukan KUHPerdata merupakan suatu undang–undang.
Pembaharuan tersebut didasarkan dengan penyesuaian nilai-nilai dan kondisi perkembangan Negara Indonesia, dengan ini menujukkan bahwa Indonesia mencoba untuk mewadahi seluruh golongan masyarakat yang ada. Tetap berlakuanya KUHPerdata yang sebelumnya memang telah menggolongkan masyarakat yang ada berdasarkan keanekaragaman hukum adat bangsa Indonesia dan pasal 163. I.S. (Indische Staatsregeling) dirasa semakin lengkap dan menunjukkan kebhinekaan Indonesia dengan adanya pengaturan secara khusus. Di sisi lain, hal ini dapat memicu terjadinya dualisme hukum dalam sistem hukum Indonesia. Contohnya sengketa waris, bagi umat muslim di Indonesia berlaku ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan berlaku pula KUHPerdata bagi mereka yang tunduk. Hal tersebut dapat menimbulkan sangketa bagi umat muslim yang wajib tunduk kepada KHI namun ingin memilih KUHPerdata sebagai pedoman dalam menyelesaikan sangketa waris tersebut. Negara memang dapat memberikan kebebasan bagi rakyatnya untuk memilih ketika terjadi hal seperti yang disebutkan, namun dapat menujukkan inkonsistensi suatu hukum di negara Indonesia.
Pembentukan undang–undang baru yang dilakukan oleh Indonesia juga dirasa seperti “tambal sulam” seperti contohnya dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak mengakomodir secara tegas terkait pernikahan beda agama yang pada faktanya sudah sering terjadi Indonesia. Indonesia mengembalikan lagi ke kepercayaan masing–masing sebagaimana dikatakan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, hal ini menimbulkan banyak penafsiran dan mempertanyakan kepastian hukum. Prof. R. Benny Riyanto (Kepala BPHN) dalam Seminar Nasional Pembentukan Undang-Undang tentang Perikatan Nasional di Universitas Airlangga menyampaikan pendapat Hamid S. Attamimi (Wakil Sekretaris Kabinet) Indonesia yang memiliki pandangan mendahulukan modifikasi, dalam arti membuat undang-undang tersendiri yang mencabut atau mengubah kodifikasi dan/atau membentuk undang-undang sektoral sebanyak mungkin guna mengisi kebutuhan yang lebih pragmatis dalam rangka mendukung pembangunan nasional (hukumonline.com, 29 April 2019).
Indonesia belum melaksanakan kodifikasi karena kodifikasi dirasa akan memakan waktu yang lama dan faktor pekembangan dunia yang cukup pesat. Berkaitan dengan perkembangan dunia membuat KUHPerdata tidak mendapat perhatian penuh dibandingkan Hukum Acara Perdata yang telah menjadi agenda prolegnas sejak tahun 2017. RUU Hukum Acara Perdata sebagai prosedur dalam mencari keadilan menjadi urgensi, salah satunya faktor perkembangan teknologi yang berdampak besar pada kekuatan pembuktian yang mana dalam HIR alat bukti terkuat adalah alat bukti tertulis, sedangkan rekaman video, footage cctv, rekaman suara, dan lain–lainnya sudah dapat dipertimbangan menjadi bukti yang cukup kuat di persidangan. Menurut Teddy Anggoro, dosen hukum perdata bidang ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ”konsep tersebut sebenarnya memiliki ruh kolonialisme yang disisipkan dalam prosedur mencari keadilan. Perdata harus (kebenaran) formil, pidana (kebenaran) materil, itu dulu dipakai Belanda untuk merebut tanah kita, kekayaan kita, dipaksakan pembuktian formil sehingga pasti orang kita kalah,” (Kongres Advokat Indonesia, 30 November 2017). Indonesia dapat saja memilih unifikasi terkait Hukum Perdata agar kedudukan KUHPerdata tersebut lebih jelas, mengingat asas–asas dalam KUHPerdata juga cukup penting dan sesuai dengan negara Indonesia seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsesualisme, asas kepercayaan, asas kekuatan mengikat, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan. Selain itu, unifikasi dapat mencegah terjadinya dualisme hukum serta menjamin kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia. Namun resiko yang perlu dipertimbangkan apabila dilaksanakan suatu unfikasi hukum dalam tatanan hukum Indonesia adalah penyamaran terhadap kebhinekaan Indonesia itu sendiri, mengingat bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan ras yang memiliki hukum kebiasaan atau adat yang beragam pula. Hal tersebut dapat menyebabkan penolakan yang besar dari masyarakat terutama masyarakat hukum adat.