KEBIJAKAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA TERHADAP KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA – Anak adalah suatu pribadi yang unik, dan hampir di setiap anak terdapat kecenderungan memberontak (Budiastuti: 2002). Meskipun demikian, perlu diingat bahwa anak merupakan potensi penting dan generasi penerus masa depan bangsa yang perlu mendapatkan perlindungan dari semua elemen masyarakat. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat, kasus pelanggaran hak anak pada 2018 mencapai 4.885 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada 2017 yang mencapai 4.579 kasus. Ketua KPAI Susanto merinci, dari jumlah itu kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) masih menduduki urutan pertama, yaitu mencapai 1.434 kasus (Indonesia: 2019).
Demi kepentingan terbaik anak, maka kejahatan anak tidak harus diselesaikan melalui sistem peradilan pidana tetapi, mendorong untuk diselesaikannya melalui proses informal yang mengarah ke Restorative Justice (Marlina: 2009). Restorative justice system bertujuan memperbaiki perbuatan jahat yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya yang melibatkan mereka secara langsung dalam penyelesaian masalah, dan berbeda dengan cara penanganan orang dewasa (Makaro: 2013) yang kemudian bermuara pada tujuan dari pidana itu sendiri, bertitik tolak kepada “perlindungan masyarakat” dan “perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana”. Sisi menarik artikel ilmiah ini, akan menyoroti kebijakan pembaharuan formulasi ide restorative justice yang terakomodir dalam Konsep KUHP Baru.
Penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum adalah bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan. Kebijakan penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) (Arief: 2014). Usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan (Ancel: 1965), khususnya terhadap anak tentu harus diformulasikan secara tepat. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, konsep Restorative Justice diformulasikan dalam Pasal 1 angka 7 “ Penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama- sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”.
Adapun proses yang dilaluinya disebut sebagai diversi dan dalam UU SPPA terlihat dari ketentuan Pasal 1 angka 7 ”…pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana”.
Restorative justice dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 diterapkan pada semua proses dan tahapan peradilan pidana, yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan (Djamil: 2013). Bahkan menurut Pujiyono, kebijakan penyelesaian tindak pidana anak dengan pendekatan Restorative Justice adalah diutamakan (Pujiyono: 2019). Hal tersebut senada dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 7 ayat (1) menyatakan wajib diupayakan diversi sejak pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan negeri, sedangkan tindak pidana yang dapat diupayakan diversi menurut Pasal 7 ayat (2) adalah:
1. Tindak pidana yang ancaman pidana di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
2. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Menariknya pendapat Barda Nawawi Arief mengenai pembatasan diversi pada Pasal 7 di atas, patut dikemukakan penjelasan dalam Commentary Rule 11 Beijing Rules, bahwa tindakan diversi khususnya ditujukan untuk the offence of non-serious nature. Namun selanjutnya dikemukakan, bahwa diversi itu tidak perlu dibatasi pada kasus-kasus kecil/ ringan, sehingga menjadikan diversi sebagai alat/instrumen penting (it need not necessarily be limited to petty cases, thus rendering diversion an important instrument) (Arief, Mediasi Penal Dalam UU SPPA, 2016). Berdasarkan hal tersebut, diberikan analisa bahwa pembatasan diversi utk pengulangan tindak pidana layak dikaji ulang, karena tidak senafas dengan Pasal 119 RUU KUHP yang menyatakan, bahwa: “Ketentuan mengenai pemberatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 dan Pasal 142, tidak berlaku terhadap anak yang melakukan pengulangan tindak pidana”. Jadi menurut RUU KUHP Baru, ketentuan “pemberatan pidana” yang tidak berlaku untuk residivis anak, bukan bentuk “peringanan” (seperti diversi ini). Berarti, seharusnya diversi tetap berlaku untuk residivis anak.
Analisa selanjutnya bahwa sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 7 ayat (1), Jaksa sebagai Penuntut Umum secara jelas mempunyai hak melakukan diversi yang prosesnya dapat dilaksanakan di ruang mediasi kejaksaan negeri, lebih lanjut Pasal 42 ayat (1) sampai dengan ayat (3) telah diformulasikan aturannya bahwa:
1. Penuntut Umum wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik;
2. Diversi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari;
3. Dalam hal diversi gagal, Penuntut Umum wajib melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan berita acara diversi.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diberikan penilaian bahwa penuntut umum setelah menerima berkas perkara dari penyidik untuk segera ditentukan, apakah akan dilakukan diversi atau tidak dilakukan diversi. Jika berdasarkan musyawarah, setuju dilakukan diversi, maka penuntut umum memasukkan anak tersebut pada program diversi.
Penyusunan KUHP Nasional yang baru untuk menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda dan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional (Soponyono: 2017).
Berbicara “Restorative Justice” dalam konsep KUHP Baru, tentu tidak dapat dilepaskan dari latar belakang yang mendasarinya. Latar belakang tersebut bertolak dari paradigma baru atau bertolak dari sudut pandang yang berubah. Perubahan yang dimaksud mengenai reaksi terhadap kejahatan maupun hakikat kejahatan itu sendiri (Soponyono: 2015). Perubahan itu misalnya meningkatkan kemungkinan berkurangnya pengendalian kejahatan melalui proses formal dan menitikberatkan pada partisipasi pelaku maupun korban dan meminimalisir adanya unsur pembalasan (Muncie: 2013).
Konsep KUHP menentukan mengenai pemidanaan terhadap anak, yaitu ketentuan bahwa pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan terhadap anak di bawah usia 18 tahun dengan beberapa pertimbangan yang dapat digunakan oleh hakim, adapun pidana terhadap anak di bawah umur diatur dalam Pasal 72 Konsep KUHP, yaitu:
Pasal 72
(1) Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 55 dan Pasal 56, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan, jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut:
a. terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun;
b. terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;
c. kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;
d. terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;
e. terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;
f. tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
g. korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;
h. tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;
i. kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;
j. pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;
k. pembinaan yang bersifat non- institusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa;
l. penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
m. tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; atau
n. terjadi karena kealpaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 5 (lima) tahun atau diancam dengan pidana minimum khusus atau tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat atau merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan mempertimbangkan kepentingan masa depan anak, penyelesaian kasus anak dengan konsep keadilan restoratif adalah sebisa mungkin menghindarkan anak dari sanksi pidana yang hanya bersifat menghukum. Sehingga dengan penyelesaian yang demikian, diharapkan anak akan terhindar dampak buruk akibat proses peradilan formal dan menghindarkan anak dari stigma buruk yang mungkin timbul dalam masyarakat.
Konsep restorative justice hakikinya menempatkan adanya posisi keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat, adapun formulasi Ide Restorative Justice dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terwujud melalui proses yang disebut diversi dan wajib diupayakan pada semua proses dan tahapan sistem peradilan pidana dan salah satunya adalah di tingkat penuntutan. Begitu juga perlu dicermati pembatasan diversi dalam Undang-Undang SPPA terhadap adanya pengulangan tindak pidana layak dikaji ulang, karena tidak senafas dengan RUU KUHP yang pada intinya menjelaskan bahwa seharusnya diversi tetap berlaku untuk residivis anak.
Kebijakan pembaharuan hukum pidana terhadap Konsep Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia seyogyanya memperhatikan ketentuan dalam RUU KUHP Baru yang pada dasarnya memberikan pemahaman bahwa dengan mempertimbangkan kepentingan masa depan anak, maka penyelesaian kasus anak dengan konsep keadilan restorative adalah sebisa mungkin menghindarkan anak dari sanksi pidana yang hanya bersifat menghukum, sehingga idealnya kedepan formulasi ide Restorative Justice melalui proses diversi diharapkan benar-benar anak akan terhindar dari dampak buruk akibat proses peradilan formal dan dari stigma buruk yang mungkin timbul dalam masyarakat.
Tinggalkan Balasan