KONSTITUSIONALITAS BAHASA DALAM PERJANJIAN
4 min readKONSTITUSIONALITAS BAHASA DALAM PERJANJIAN – Secara empiris, pilihan bahasa yang digunakan dalam proses komunikasi antar manusia (termasuk dalam konteks transaksi niaga internasional) pada satu sisi dapat menjadi sarana efektif untuk mencapai kesepakatan, namun pada sisi lain justru menjadi potensi utama terjadinya sengketa. Pasal 31 (1) UU No.24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) yang sejatinya mulai berlaku sejak Tanggal 9 Juli 2009 mengatur bahwa “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia”.
Persoalan hukum utama dalam konteks transaksi niaga internasional yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan Warga Negara Indonesia (pihak domestik Indonesia) sebagai salah satu pihak adalah “apa konsekuensi hukumnya manakala perjanjian tersebut tidak menggunakan Bahasa Indonesia?”. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.451/Pdt.G/2012/PN. Jkt.Bar (yang kemudian dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 48/Pdt.G/2014/PT. DKI dan Putusan MA No. 601 K.PDT/2015 ) menyatakan bahwa perjanjian yang demikian itu batal demi hukum.
Huala Adolf menegaskan bahwa posisi akademiknya bertentangan (kontra) dengan eksistensi Pasal 31 (1) UU Bahasa (Kompas, 22/2/2017, hlm. 7). Dalam konteks ini, Penulis menawarkan perspektif lain (yakni pro) terhadap eksistensi pasal tersebut. Menurut Penulis, pasca berlakunya UU Bahasa, terjadi pergeseran politik hukum Indonesia terhadap kemutlakan prinsip kebebasan berkontrak yang telah ajeg dianut selama ini dalam ranah hukum perdata. Hal ini memiliki landasan konstitusional yang tegas sebagaimana diatur dalam Pasal 28J (2) UUD NRI Tahun 1945 sehingga pasca berlakunya UU Bahasa terdapat kewajiban hukum bagi “pihak domestik Indonesia” untuk menggunakan Bahasa Indonesia dalam setiap transaksi niaga internasional yang dilakukannya.
Dalam Pasal 3 UU Bahasa dinyatakan bahwa salah satu tujuan pengaturan bahasa (termasuk dalam transaksi niaga internasional) adalah menjaga kehormatan dan kedaulatan serta menciptakan kepastian hukum. Dalam konteks “kepastian hukum”, Pasal 28D (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan “Setiap orang berhak atas…kepastian hukum yang adil…” sehingga dalam penafsiran a contrario, kepastian hukum yang tidak adil (termasuk dalam bentuk transaksi niaga internasional yang cenderung asimetris) harus dipandang sebagai suatu perbuatan hukum yang inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian dapat dilihat jelas political will dan keberpihakan Pembentuk UU Bahasa yang lebih mengutamakan perlindungan terhadap posisi dan kepentingan hukum (legal standing) “pihak domestik Indonesia” yang cenderung menjadi pihak inferior dalam suatu transaksi niaga internasional.
Dengan telah berlakunya UU Bahasa, penulis justru mempertanyakan motif “pihak domestik Indonesia” yang tetap memilih untuk tidak menggunakan Bahasa Indonesia dalam transaksi niaga yang dilakukannya dengan pihak asing. Ada setidaknya 2 (dua) asumsi terkait hal ini, yakni Pertama, “sikap pasrah” dari “pihak domestik Indonesia” terhadap posisi inferiornya dalam transaksi niaga internasional tersebut. Kedua, ada potensi itikad buruk dari para pihak dalam transaksi niaga internasional tersebut dengan menjadikan Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa sebagai ‘senjata pamungkas’ yang sengaja disimpan untuk dijadikan salah satu alasan pembatalan kontrak tersebut di kemudian hari.
Penulis termasuk orang yang meyakini bahwa kata “wajib” merupakan operator norma yang senantiasa akan menimbulkan sanksi manakala kewajiban dalam norma tersebut tidak dipatuhi. Kata “wajib” sebagai operator norma sejatinya merupakan primary laws yang senantiasa berpasangan dan tidak dapat dipisahkan dengan secondary laws yang memuat ketentuan mengenai what officials must or may do when the primary laws are broken (H.L.A. Hart, 1961:7). Mahkamah Agung (MA) sebagai salah satu officials telah menegaskan bahwa transaksi niaga internasional yang melibatkan “pihak domestik Indonesia” sebagai salah satu pihak namun tidak menggunakan bahasa Indonesia adalah batal demi hukum. Sanksi “batal demi hukum” inilah yang harus disadari oleh para pihak (khususnya “pihak domestik Indonesia”) sebelum dan pada saat melakukan suatu transaksi niaga internasional.
Dalam salah satu pertimbangan (ratio decidendi) Putusan PN Jakarta Barat No.451/Pdt.G/2012/PN. Jkt.Bar disebutkan bahwa kesepakatan atau perjanjian niaga internasional yang dibuat pasca berlakunya UU Bahasa (9 Juli 2009) yang melibatkan “pihak domestik Indonesia’ sebagai pihak namun tidak menggunakan bahasa Indonesia dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang (UU Bahasa). Pengadilan Negeri Jakarta Barat juga mempertimbangkan Pasal 1335 KUH Perdata yang menyatakan “suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum” dan Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban umum”.
Ada beberapa solusi yang Penulis tawarkan terkait persoalan ini,. Pertama, “Para pihak dalam transaksi niaga internasional (khususnya “pihak domestik Indonesia”) harus senantiasa menekankan pentingnya versi bahasa Indonesia dalam setiap transaksi niaga internasional, namun kesepakatan mengenai pilihan hukum (choice of law) yang berlaku manakala terjadi sengketa dalam transasksi tersebut tetaplah didasarkan pada prinsip kebebasan berkontrak, sebab kewajiban yang diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa sejatinya hanya meliputi kewajiban mengenai penggunaan (usage) Bahasa Indonesia dan tidak meliputi kewajiban bahwa hukum Indonesia wajib dijadikan referensi pilihan hukum (choice of law) yang dianut manakala terjadi sengketa dalam transaksi tersebut. Kedua, diperlukan pemahaman yang lebih jernih bahwa kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia hanya berlaku terhadap perjanjian yang dibuat pasca berlakunya UU Bahasa (9 Juli 2009) sehingga perjanjian yang dibuat sebelum berlakunya UU Bahasa tetap sah secara hukum. Ketiga, para pelaku usaha (“pihak domestik Indonesia”) memiliki posisi hukum (legal standing) yang sangat beralasan untuk mengajukan permohonan constitutional review kepada MK sebagai the guardian and the sole interpreter of the constitution guna menegaskan tafsir konstitusional atas Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa guna menjamin tegaknya prinsip “kepastian hukum yang adil” sebagaimana yang diatur sebagai salah satu hak konstitusional dalam Pasal 28D ayat (1) UUDNRI Tahun 1945. Tawaran ketiga ini sejatinya diamanatkan pula dalam salah satu pertimbangan (ratio decidendi) Putusan PN Jakarta Barat No.451/Pdt.G/2012/PN. Jkt.Bar.