MENGGAGAS RESTATEMENT UNDANG-UNDANG

MENGGAGAS RESTATEMENT UNDANG-UNDANG – Sering ditemui suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya memuat suatu istilah dengan pengertian yang berbeda. Di sisi lain terdapat juga terhadap suatu istilah dalam Undang-Undang pengertiannya berbeda dengan pengertian yang umum yang dipahami masyarakat. Hal lain yang juga sering ditemukan adalah dalam ketentuan pidana yang pengenaan pidananya berbeda dalam beberapa undang-undang padahal tindak pidana yang dilakukan sama. Kejadian atau kondisi tersebut sering disebut sebagai tumpang tindih dan ketidakjelasan undang- undang atau secara umum dapat disebut sebagai ketidakharmonisan undang- undang dan multitafsir.

Kondisi ketidakharmonisan antar undang-undang dan ketentuan yang multitafsir dapat disebabkan oleh kuatnya pengaruh politik dalam pembentukan perundang-undangan. Dalam pembentukan perundang-undangan kadang tidak mempertimbangkan teori, prinsip, dan asas hukum tetapi lebih

banyak unsur kepentingan tertentu. Kondisi tersebut berdampak pada penafsiran yang berbeda pada pemangku kepentingan yang terkait dengan suatu undang-undang tersebut dan masyarakat. Penafsiran yang beragam tersebut akan menimbulkan sulitnya implementasi undang-undang dan inkonsistensi dalam penegakan hukum. Masalah penafsiran akan semakin rumit ketika instansi Pemerintah sebagai institusi yang memiliki kapasitas untuk memberikan penafsiran ternyata antarinstansi pemerintah sendiri berbeda memberikan penafsiran. Kondisi ini akan berdampak pada pengembangan hukum dan peraturan perundang– undangan di Indonesia baik bagi pemangku kepentingan, praktisi hukum, akademisi, dan pembuat kebijakan yang ingin memastikan yang dimaksud dalam ketentuan undang-undang dari sumber yang tepat.

Untuk memastikan maksud

ketentuan undang-undang yang tepat memang dapat ditelusuri dari proses pembentukan undang-undang yang dilakukan dalam pembahasan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden yang ditungkan dalam risalah pembahasan. Risalah pembahasan yang ada sering kali tidak memuat mengenai dasar alasan suatu ketentuan ditentukan atau dinormakan yang didasari oleh teori, prinsip, dan asas hukum. Risalah pembahasan biasanya hanya memuat kronologi atau sejarah ketentuan tersebut ditentukan. Untuk memastikan maksud ketentuan undang-undang secara tepat dan akuntabel perlu dilakukan penjelasan kembali terhadap ketentuan undang- undang tersebut khususnya ketentuan yang tidak harmonis dan multitafsir yang dilakukan oleh pihak yang berkompeten. Penjelasan kembali terhadap ketentuan Undang-Undang yang tidak harmonis dan multitafsir yang dituangkan dalam bentuk dokumen penjelasan hukum. Penyusunan dokumen penjelasan kembali lazimya digunakan dalam lingkup putusan hakim yang dikenal dengan restatement.

Restatement merupakan kegiatan riset untuk memberikan penjelasan kembali terhadap isu-isu hukum tertentu. Secara umum, restatement merupakan

aktivitas riset dengan mengkaji topik atau

isu tertentu dalam bidang hukum melalui peraturan perundang-undangan, putusan hakim dan pendapat ilmuwan di bidang hukum yang terdapat dalam literatur hukum baik dalam format buku, artikel, maupun disertasi. Istilah restatement awalnya diperkenalkan oleh American Law Institute (ALI), organisasi yang didirikan pada 1923. ALI terdiri dari para hakim terkemuka, profesor hukum, dan pengacara. Dalam pengerjaan restatement, ALI melakukan pemeriksaan kasus dan mengidentifikasi tren dalam hukum umum dan kemudian menuangkan temuan mereka ke prinsip-prinsip atau aturan hukum. Pelaksanaan restatement dilakukan secara berkesinambungan, bahkan bisa berlangsung dalam kurun waktu lama 9-21 tahun. Tujuan dari penyusunan restatement adalah untuk mengikuti perkembangan hukum yang berjalan sangat pesat dalam common law system. Keberadaan praktik restatement ditujukan untuk memperjelas dan menegaskan kembali suatu konsepsi hukum yang sudah ada. Oleh karena itu, dapat dikatakan restatement membahas isu-isu hukum dalam koridor ius constitutum (hukum yang ada) dan bukan

ius constituendum (hukum yang akan).

Di Indonesia, praktik restatement dilakukan salah satunyanya oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada tahun 2011 yang menyusun laporan penelitian Restatement. Dalam kesempatan itu PSHK mengangkat suatu tema, yaitu Grosse Akte. Program penyusunan restatement tersebut dilaksanakan dengan didukung National Law Reform Program (NLRP). NLRP juga mendukung penyusunan restatement dan bekerja sama dengan institusi, praktisi, dan akademi yang kredibel untuk isu-isu hukum seperti, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur (kecakapan dan kewenangan bertindak berdasar batasan umur); penjelasan hukum tentang keadaan memaksa (syarat-syarat pembatalan perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa/force majeur); dan Penjelasan Hukum tentang Eksekusi Gadai Saham. Restatement di Indonesia yang diketahui melalui publikasi hanya hal tersebut diatas dan jumlahnya masih sedikit itu pun dilakukan pada lingkup putusan hakim. Belum diketahui sampai saat ini publikasi restatement undang-undang atau mungkin tidak ada yang melakukan restatement undang-undang.

Penyusunan restatemen terhadap isu hukum dalam undang-undang yang tidak harmonis dan multitafsir perlu didorong pada perdebatan hukum yang akuntabel berdasarkan prinsip-prinsip hukum. Bila pada tataran Undang-Undang sudah tidak harmonis dengan undang- undang yang lain dan terdapat ketentuan yang multitafsir maka akan menimbulkan ketidakharmonisan turunan pada tingkat peraturan pelaksana baik itu peraturan pemerintah, peraturan presiden, maupun peraturan menteri. Salah satu dampaknya adalah menguatnya ego sektoral di pemerintahan dalam implementasi Undang-Undang yang mengakibatkan kinerja pemerintah tidak efektif pada tataran implementasi sehingga sasaran yang ingin dicapai dari tujuan dibentuknya undang-undang tidak dapat terwujud.

Lembaga penelitian hukum, akademisi, dan pemangku kepentingan dibidang perundang-undangan harus mempelopori dan mendorong penyusunan restatement undang-undang. Kegiatan awal dalam restatement undang-undang dapat diawali dengan mengidentifikasi isu- isu yang krusial yang sudah ada maupun berpotensi menimbulkan ketidak

harmonisan Undang-Undang maupun multitafsir seperti pengenaan tindak pidana yang berbeda pada tindak pidana yang sama, kriteria yang dapat dikriminalisasi terhadap perbuatan hukum, dan kriteria penentuan besaran tindak pidana. Sistem pendukung (Supporting system) pada penyusunan dan pembahasan undang-undang yang berada pada DPR maupun Presiden tentunya sudah mengidentifikasi isu-isu yang menimbulkan ketidakharmonisan dan multitafsir tersebut. Langkah selanjutnya adalah menginventarisasi isu-isu tersebut untuk kemudian dapat dilakukan restatement undang-undang. Restatemen undang-undang di Indonesia dapat belajar dari Irlandia Utara yang menggunakan penyusunan restatement untuk kepentingan legislasi. Irlandia Utara melalui Komisi Reformasi Hukumnya turut mengembangkan restatement sebagai bentuk konsolidasi legislasi yaitu sebagai sarana untuk mengkonsolidasikan berbagai undang-undang dan perubahannya, dimana hal tersebut nantinya akan menjadi rekomendasi terhadap pembentukan atau perubahan suatu undang-undang. Sama halnya dengan negara common law, meskipun dapat dikutip dalam putusan hakim, restatement di Irlandia Utara tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum serta tidak ditujukan untuk mengubah substansi dari hukum itu sendiri.

Tahap selanjutnya setelah restatement selesai dibuat adalah bagaimana restatement ini dapat menjadi referensi bahkan acuan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan kebijakan yang dibuat. Restatement yang ada saat ini di Indonesia cenderung hanya bersifat kajian yang diterbitkan atau dipublikasikan setelah penyusunan restatement selesai. Dalam konteks pembahasan undang-undang restatement undang-undang yang dibuat sebaiknya dikeluarkan atau dipublikasikan pada saat pembahasan undang-undang dimana terdapat isu-isu yang sesuai dengan restatement Undang-Undang yang dibuat. Momentum publikasi restatement perlu diperhatikan sebagai strategi agar restatement Undang-Undang yang dibuat menjadi referensi atau bahkan menjadi acuan bagi para pengambil kebijakan pada saat pembahasan undang-undang Pada saat membahas Undang-Undang para pengambil kebijakan membutuhkan banyak masukan, tentunya masukan yang akuntabel   dari   sumber   yang   kredibel.

Masukan yang kredibel berupa restatement ini tentunya menjadi hal yang sangat penting karena sudah memuat prinsip-prinsip hukum sehingga tidak bias dengan kepentingan politik yang ada saat pembahasan berlangsung. Saat ini restatement undang- undang perlu digagas, karena dari segi isu yang akan dikaji sudah jelas tinggal menginventarisasi isu-isu tersebut. Selanjutnya dalam penyusunan restatement undang-undang, hal yang sangat penting adalah menetapkan metodologi penyusunannya. Metode penyusunan perlu ditentukan sehingga hasil yang diinginkan bisa tercapai maksimal dan dapat dipertanggungjawabkan.

Categories:

Tinggalkan Balasan