PEMBAHARUAN SISTEM HUKUM ACARA PERDATA
8 min readPEMBAHARUAN SISTEM HUKUM ACARA PERDATA – Hukum acara perdata atau yang sering juga disebut hukum perdata formal adalah sekumpulan peraturan yang membuat bagaimana caranya orang bertindak di depan pengadilan, bagaimana caranya pihak yang terserang kepentinganya mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak sekaligus memutus perkara dengan adil, bagaimana melaksanakan keputusan hakim yang bertujuan agar hak dan kewajiban yang telah diatur dalam hukum perdata materiil itu dapat berjalan dengan semestinya, sehingga terwujud tegaknya hukum dan keadilan (Wirjono Projodikoro, 1975:13). Dengan demikian kedudukan hukum acara perdata menjadi amat penting. Beberapa alasan yang dikemukan mengenai pentingnya pengaturan hukum acara perdata antara lain: pertama, menjamin kepastian hukum di mana setiap orang berhak mempertahankan hak perdatanya sebaik-baiknya dan setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum perdata yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dapat dituntut melalui pengadilan. Kedua, hukum acara perdata berfungsi untuk menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya ketentuan hukum materiil dalam praktik melalui perantaraan peradilan.
Dalam RPJMN 2015-2019 selain pelaksanaan hukum pidana, penegakan hukum perdata juga menjadi salah satu hal yang perlu untuk dibenahi. Sasaran yang hendak dicapai dalam pembangunan bidang hukum dalam kurun waktu 2015- 2019 adalah: pertama, meningkatnya kualitas penegakan hukum dalam rangka penanganan berbagai tindak pidana, mewujudkan sistem hukum pidana dan perdata yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel bagi pencari keadilan dan kelompok rentan dengan didukung oleh aparat penegak hukum yang profesional dan berintegritas; dan kedua, terwujudnya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas keadilan bagi warga negara. untuk mencapai sasaran tersebut ditentukan arah kebijakan dan strateginya berupa melaksanakan reformasi sistem hukum perdata yang mudah dan cepat yang merupakan upaya untuk meningkatkan
daya saing perekonomian nasional. Dalam rangka mewujudkan daya saing tersebut, pembangunan hukum nasional perlu diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan industri; serta menciptakan kepastian investasi, terutama penegakan dan perlindungan hukum. Oleh karena itu diperlukan strategi secara sistematis terhadap revisi peraturan perundang- undangan di bidang hukum perdata secara umum maupun khusus terkait hukum kontrak, perlindungan HKI, pembentukan penyelesaian sengketa acara cepat (small claim court), dan peningkatan utilisasi lembaga mediasi.
Saat ini untuk penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, masih digunakan ketentuan yang bersumber dari Het Herziene Indonesische Reglement (HIR) dan Reglement Buitengewesten (RBG) sebagai sumber hukum acara perdata di Indonesia (Sudikno Mertokusumo, 2006: 3), yang diadopsi berdasarkan asas konkordansi karena merupakan produk pemerintah kolonial Belanda yang masih berlaku sampai sekarang, dengan mengacu kepada Pasal 2 Aturan Peralihan UUD NRI 1945. HIR sering diterjemahkan menjadi “Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui” adalah
hukum acara dalam persidangan perkara perdata maupun pidana yang berlaku di pulau Jawa dan Madura. Reglemen ini berlaku di jaman Hindia Belanda yang tercantum di Berita Negara (staatblad) No.
16 tahun 1848. Sedangkan RBG diterjemahkan menjadi “Reglemen Hukum Daerah Seberang” merupakan hukum acara yang berlaku di persidangan perkara perdata maupun pidana di pengadilan di luar Jawa dan Madura (tercantum dalam Staatblad 1927 No. 227).
Di jaman penjajahan Belanda, HIR dan RBg adalah undang-undang yang mengatur hukum acara perdata dan pidana bagi penduduk pribumi. Perbedaannya, HIR berlaku di pulau Jawa dan Madura sedangkan RBg berlaku di luar Jawa dan Madura. Setelah merdeka, HIR dan RBG masih tetap berlaku berdasarkan aturan peralihan UUD 1945, aturan peralihan pada Kontitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Ketiga peraturan peralihan Undang- Undang Dasar menyatakan bahwa HIR dan RBG masih berlaku. Saat ini, tidak ada lagi perbedaan antara HIR dan RBg karena kedua undang-undang tersebut diadopsi menjadi hukum yang berlaku. Sayangnya, pemberlakuan HIR dan RBG menjadi hukum nasional tidak dituangkan secara formal dalam undang-undang sebagaimana misalnya pemberlakuan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) sebagai hukum positif.
Keberadaan hukum acara perdata yang merupakan warisan pemerintah Hindia Belanda belum mampu menjawab perkembangan kebutuhan masyarakat yang sangat dinamis. Upaya untuk menjawab kebutuhan masyarakat atas keberadaan hukum acara perdata telah dilakukan melalui pengaturan yang tersebar di beberapa undang-undang, antara lain seperti Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009. Pengaturan yang tersebar dibanyak tempat ini berpotensi menimbulkan inkonsistensi dalam pelaksanaannya, apalagi pengaturan mengenai hukum acara ini tidak diatur secara rinci sehingga memerlukan peraturan pelaksana. Sayangnya peraturan pelaksana yang dibutuhkan untuk mengatur hal-hal teknis yang diamanatkan oleh undang-undang sehingga berdampak
pada kesulitan dalam praktek peradilan. Untuk mengatasi hal tersebut, Mahkamah Agung kemudian sesuai dengan kewenangannya membuat Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
Disamping itu beberapa permasalahan lain yang ditemukan dalam praktek peradilan akibat kekosongan hukum acara perdata tersebut adalah sulitnya proses eksekusi putusan, panjangnya proses penyelesaian perkara dengan nilai gugatan tertentu, dan tahapan penyelesaian sengketa pada pengadilan tingkat pertama yang berbiaya tinggi. Padahal dalam Pasal 2 ayat (4) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam penjelasan pasal menjelaskan yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Faktanya permasalahan terkait dengan biaya tinggi dalam sengketa di pengadilan seringkali menjadi keluhan masyarakat. Keluhan mengenai hal ini tidak saja terjadi pada sengketa terkait bisnis seperti kepailitan, paten, merek, dan kontrak dagang namun juga terjadi pada sengketa terkait wanprestasi, perbuatan melawan hukum, perkawinan dan waris islam. Anggapan biaya yang tinggi dalam beracara di pengadilan membawa dampak tersendiri misalnya seperti beberapa tahun silam sebagaimana diberitakan oleh media cetak ataupun televisi ketika ada seorang pengusaha yang meninggal dunia karena ditagih oleh debt collector kartu kredit yang diterbitkan oleh salah satu bank. Penagihan tunggakan utang dengan menggunakan jasa debt collector sebenarnya sudah diketahui oleh masyarakat luas. Namun kemudian mengapa bank menempuh jalur ini untuk menagih tunggakan hutang kliennya? Hal ini diakibatkan karena biaya perkara perdata yang harus dikeluarkan oleh bank jika menempuh jalur pengadilan tidak akan sepadan dengan total tunggakan hutang seorang nasabah. Hal ini belum ditambah dengan jika dalam perkara perdata, bank akan menggunakan jasa pengacara yang bisa mencapai Rp. 100.000.000,-
Selain permasalahan terkait dengan biaya yang tinggi, kesulitan dalam melaksanakan eksekusi putusan pengadilan merupakan permasalahan yang juga dihadapi dalam hukum acara perdata. Walaupun secara tegas Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan, namun terhadap ketentuan dalam ayat (2) ini diberi pembatasan sebagaimana disebutkan dalam ayat (3) bahwa putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Nangroe Aceh Darussalam, diketahui beberapa penyebab sulitnya eksekusi antara lain: 1) Adanya upaya hukum yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk melawan putusan pengadilan, sehingga perkara tersebut mentah kembali, sebelumnya putusan sudah dapat dieksekusi akhirnya tertunda oleh adanya upaya hukum tersebut. 2) Karena perikemanusiaan yang tidak mungkin pemohon eksekusi memaksakan termohon eksekusi untuk melaksanakan putusan pengadilan di mana menyangkut dengan perikemanusiaan yang dalam praktek ditemukan termohon eksekusi harus membongkar rumah di atas tanah tereksekusi. 3) Karena objek eksekusi masih tersangkut perkara lain. 4) Karena tidak adanya biaya pemohon eksekusi sehingga tertundanya eksekusi. 5) Karena tidak adanya bantuan keamanan baik oleh ketidaksediaan pihak keamanan sendiri dan juga oleh karena tidak ada jarninan keamanan di lapangan, serta lokasi eksekusi jauh di pedalaman sehingga sulit dijangkau oleh pihak keamanan dan petugas eksekusi.
Permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah terkait dengan panjangnya proses penyelesaian perkara di pengadilan. Pada prinsipnya terdapat beberapa tahapan penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan negeri, dimulai dari mengajukan gugatan, pemeriksaan identitas para pihak, upaya perdamaian (mediasi), jawaban dari pihak tergugat apabila mediasi gagal, replik, duplik, kesimpulan pertama, proses pembuktian, kesimpulan kedua, penyusunan putusan oleh majelis hakim. Pelaksanaan tahapan- tahapan tersebut memerlukan waktu antara 3 sampai dengan enam bulan. Namun kemudian jika salah satu pihak tidak puas atas putusan hakim, masih
dimungkinkan upaya hukum lain baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.
Terhadap permasalahan ini Mahkamah Agung telah mengeluarkan baik itu peraturan maupun surat edaran. Salah satunya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian Perkara Di Pengadilan Tinggi Dan Pengadilan Negeri yang menghimbau agar di tingkat pengadilan negeri dan di tingkat pemeriksaan perkara diharapkan tidak melebihi 6 bulan sejak diterimanya gugatan. Namun dalam prakteknya tidaklah semudah itu. Beberapa hal yang menyebabkan panjangnya proses beracara di pengadilan antara lain dikarenakan kondisi yang terjadi di lapangan, seperti ketika para pihak yang berperkara berlainan kota sehingga menyulitkan kehadiran para pihak dari sisi pemanggilan yang berhubungan dengan kehadiran dalam pemeriksaan perkara (Pramono Sukolegowo, 2008). Selain itu karakter penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang memang memiliki karakteristik seperti proses yang sangat formal, keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim), para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan, sifat putusannya memaksa dan mengikat (coercive and binding), orientasi kepada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah), persidangan bersifat terbuka dan apabila ada pihak yang tidak puas atas putusan hakim, maka dapat mengajukan upaya hukum lain (Anita Afriana, 2015). Karakter inilah yang seringkali dianggap tidak efektif dan efisien.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura disebutkan bahwa dari putusan-putusan Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura tentang perkara perdata, yang tidak ternyata bahwa besarnya harga gugat ialah seratus rupiah atau kurang. Oleh salah satu dari pihak-pihak yang berkepentingan dapat diminta supaya pemeriksaan perkara diulang oleh Pengadilan Tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing- masing. Ketentuan tersebut sebenarnya telah memberikan kewenangan kepada pengadilan negeri untuk menyelesaikan perkara-perkara sederhana dengan nilai yang tidak melebihi Rp 100,-. Jadi dibawah nilai tersebut tidak diperkenankan banding. Ketentuan ini sebenarnya juga mengakomodir peyelesaian sengketa yang cepat dan ongkos perkara yang juga lebih murah.
Ketentuan Undang-Undang ini kemudian ditanggapi oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Peratuan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan, hal ini bertujuan agar pemeriksaan perkara tidak berlanjut pada tahapan berikutnya karena telah tercapai perdamaian. Untuk mengetahui sejauh mana efektivitas pemberlakuan PERMA ini, perlu dilakukan dalam kajian tersendiri.
Sebagaimana telah diuraikan secara panjang di atas bahwa proses penyelesaian perkara yang panjang, memakan waktu dan biaya tinggi dapat membawa dampak seperti: pertama, melemahnya kepercayaan masyarakat pada lembaga pengadilan. Hal ini ditandai dengan minimnya jumlah perkara perdata (termasuk di dalamnya sengketa kontrak bisnis) yang diajukan ke pengadilan kurang lebih 20.000 (dua puluh ribu) perkara per tahunnya. Kedua, dapat mempengaruhi iklim kemudahan berbisnis atau berusaha (ease of doing business) di Indonesia. Kewenangan peradilan yang beririsan dengan kemudahan berusaha ada ketika pelaku usaha atau pihak terkait terjadi perselisihan dengan melibatkan lembaga pengadilan (kewenangan pengadilan pada penegakan kontrak dan penyelesaian kepailitan).
Oleh karena itu perlu mendorong optimalisasi hukum acara perdata yang akan dapat mendorong efisiensi penyelesaian perkara perdata. Hal ini juga akan dapat memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan daya saing perekonomian nasional. Salah satu yang dapat dilakukan untuk mendorong hal tersebut adalah melakukan analisis dan evaluasi ketentuan peraturan perundang- undangan yang terkait dengan hukum acara perdata agar dapat direkomendasikan upaya pembenahan dan penyesuaian peraturan perundang- undangan yang terkait.
Hal ini pada prinsipnya sejalan dengan program agenda prioritas Joko
Widodo dan Jusuf Kalla yang dikenal dengan Nawa Cita yaitu pertama, pada poin menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Kedua, membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya. Selanjutnya disebutkan bahwa pemerintah secara konsisten akan menjalankan agenda reformasi birokrasi secara berkelanjutan dengan restrukturisasi organisasi birokrasi pemerintah, meningkatkan kompetensi aparatur, memperkuat monitoring dan supervisi atas kinerja pelayanan publik, dan mendorong masyarakat untuk mengawasi kinerja pelayanan publik.