Sistem Kesehatan Daerah : Isu dan Tantangan Bidang Kesehatan di Indonesia – Saat ini, sektor kesehatan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks. Selain harus beradaptasi dengan berbagai regulasi yang terkait dengan pembangunan kesehatan, pada saat yang sama jug harus menyesuaikan dengan beberapa perubahan strategis di bidang kesehatan dan menyelesaikan permasalahan kesehatan di era desentralisasi. Salah satu perubahan lingkungan strategis nasional yang turut mempengaruhi arah dan kebijakan pembangunan kesehatan di Indonesia adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Salah satu kebijakan strategis nasional pemerintah adalah dengan menargetkan semua penduduk telah tercakup dalam program JKN di tahun 2019. Hal ini tentunya patut diapresiasi. Program tersebut tentunya menuntut dilakukannya peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan baik tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, serta perbaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan. Namun, sejak JKN digulirkan sebagai program nasional, selalu terjadi defisit, dari angka Rp 3,3 triliun ( tahun 2014) menjadi Rp 6 triliun (tahun 2015) dan sekarang menyentuh Rp 8–9 triliun (tahun 2016). (JawaPos, 25 Oktober 2016). Kondisi ini tentunya patut direnungkan.
Selain JKN, beberapa terobosan pemerintah di bidang kesehatan, masih dikatakan belum cukup untuk meningkatkan akses dan mutu layanan kesehatan di Indonesia. Berbagai upaya memang terus diupayakan pemerintah dalam dua tahun terakhir. Selain dengan terus menambah jumlah peserta JKN sebagai upaya untuk mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) dan mengatasi deficit anggaran JKN berbagai inovasi terus digalakkan oleh pemerintah. Misalkan dengan Program Dokter Layanan Primer (DLP) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan, mencegah penyakit dan menjamin keberlanjutan layanan kesehatan di tingkat primer. Selain itu, sebagai solusi pemerataan tenaga kesehatan dengan mengirimkan tenaga kesehatan melalui program Nusantara Sehat ke daerah perbatasan, tertinggal dan kepulauan (DPTK), dan daerah bermasalah kesehatan (DBK).
Upaya serius pemerintah dalam pembangunan kesehatan diwujudkan juga dalam alokasi anggaran kesehatan naik jadi 5 persen dari APBN. Sejak 2014 hingga 2016, pagu anggaran Kemenkes dan dana alokasi khusus (DAK) kesehatan terus naik. Kenaikan anggaran Kemenkes dari 2014 ke 2015 sebesar 4,4 persen atau Rp 2,2 triliun. DAK kesehatan juga meningkat 195 persen dari tahun 2015 ke 2016 atau Rp 11,8 triliun.
Kenaikan dari 2016 ke 2017 sebesar 30 persen atau Rp 5,35 triliun. (Kompas, 2 Jan 2017).
Namun, berbagai program itu belum cukup. Adanya defisit anggaran dalam Program JKN setiap tahun menunjukkan bahwa terdapat sesuatu yang belum sempurna dalam pelaksanaan program itu. Isu transparansi layanan kesehatan juga masih menjadi problematika dalam masyarakat. Adanya isu penolakan pasien apabila ingin berobat ke rumah sakit adalah bukti masih terbatasnya akses bagi peserta JKN. Selain itu, mutu layanan dan sarana prasarana kesehatan di setiap daerah yang masih belum merata menjadi permasalahan pelik yang berdampak pada pembangunan kesehatan di daerah. Dengan kata lain, walaupun progam JKN penting untuk dilakukan, bagaimana masyarakat mendapatkan akses dan layanan kesehatan yang baik, upaya pencegahan penyakit dan koordinasi lintas sektor dalam pembangunan kesehatan juga penting untuk diperhatikan. Terkait dengan hal tersebut, keberhasilan pembangunan kesehatan tidak hanya terkait pada aspek penerapan, tetapi juga proses kebijakan dan hubungan antar lembaga terkait. Artinya kebijakan di bidang kesehatan baik ditingkat pemerintah pusat maupun daerah penting untuk diperhatikan. Keberhasilan Negara-negara maju seperti Amerika dan Jerman dalam pembangunan kesehatan adalah dengan menggunakan pendekatan desentralisasi. (Ricarda Milsteina, Carl Rudolf Blankart, 2016 : 7). Hal ini sebagaimana hasil penelitian Mills (1990:5) yang menyatakan bahwa desentralisasi struktur dan manajemen sistem kesehatan merupakan kunci utama dalam pelayanan kesehatan, khususnya dalam mencapai “health for all” dan pengembangan pelayanan kesehatan primer di berbagai negara. Wiku Adisasmito juga menambahkan cara berpikir dan bertindak yg logis, sistematis, komprehensif, dan holistik dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan penting untuk dilakukan (Wiku Adisasmito, 2010 : 7). Artinya, bagi Indonesia yang saat ini sudah masuk di era JKN, desentralisasi urusan kesehatan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan membangun sistem kesehatan baik di pusat dan di daerah penting untuk dilakukan.
Dalam konteks sistem kesehatan, pembangunan kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Dalam Pasal 1 butir 2 Perpres tersebut dijelaskan bahwa SKN adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya. SKN menjadi acuan dalam penyusunan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan yang dimulai dari kegiatan perencanaan sampai dengan kegiatan monitoring dan evaluasi.
Dalam Pasal 2 ayat (2) Perpres No. 72 Tahun 2012, mengamanatkan bahwa pembangunan kesehatan harus dilakukan secara berjenjang baik di pusat maupun di daerah dengan memperhatikan otonomi daerah dan otonomi fungsional di bidang kesehatan. Pasal tersebut secara yuridis memiliki dua arti. Pertama, bagi daerah, pembangunan kesehatan tidak cukup hanya dengan menggunakan SKN. Daerah perlu memiliki acuan dan pedoman dalam pembangunan kesehatan daerah yang sesuai dengan kondisi spesifik, kebutuhan dan permasalahan kesehatan di masing- masing daerah. Dengan kata lain, daerah perlu memiliki Sistem Kesehatan Daerah (SKD).
Kedua, kontruksi regulasi yang diatur dalam SKD harus sesuai dengan otonomi fungsional pemerintah daerah dibidang kesehatan. Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibidang kesehatan diatur dalam Undang- Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana terakhir di ubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2015 (Undang-Undang Pemerintahan Daerah). Undang – Undang tersebut, telah memberikan peran yang cukup kuat bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan kesehatan di wilayahnya. Artinya bagi pemerintah daerah yang akan menyusun SKD sebagai regulasi daerah, subtansi yang diatur dalam SKD tidak boleh bertentangan dengan kewenangan pemerintah pusat.
Beberapa kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah adalah Pengelolaan UKP dan UKM Daerah, Penerbitan izin rumah sakit kelas C dan D dan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat Daerah, Penerbitan izin praktik dan izin kerja tenaga kesehatan, Perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan untuk UKM dan UKP Daerah, Penerbitan izin apotek, toko obat, toko alat kesehatan dan optikal, Penerbitan izin usaha mikro obat tradisional (UMOT), Penerbitan sertifikat produksi alat kesehatan, Penerbitan izin produksi makanan dan minuman pada industri rumah tangga, Pengawasan post- market produk makanan minuman industri rumah tangga dan Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
SKD adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen di Daerah secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat Kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. SKD mengatur keterpaduan berbagai elemen di daerah dalam pembangunan kesehatan melalui pengelolaan upaya kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan, manajemen, informasi dan regulasi kesehatan serta pemberdayaan masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang di kemukakan oleh Nallari bahwa kebijakan kesehatan memerlukan kombinasi regulasi dan kompetisi, pendanaan dari sektor publik dan swasta, serta kerangka kelembagaan yang memfasilitasi semuanya (Nallari, 2011:231). Kebijakan tersebut dapat meliputi kebijakan public dan swasta tentang kesehatan, dimana kebijakan kesehatan diasumsikan untuk merangkum segala arah tindakan dan di laksanakan serta mempengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan pembiayaan dalam sistem kesehatan. Kebijakan ini mencakup sektor publik (pemerintah) sekaligus sektor swasta. (Buse et.al, 2005:6).
Beberapa contoh konstruksi yang dapat diatur dalam SKD misalnya pada sub sistem pembiayaan kesehatan. Sebagai upaya untuk mendukung program JKN, penguatan peran Dinas Kesehatan Daerah dalam pengelolaan dana kapitasi JKN juga penting untuk dilakukan. Hal ini misalnya dengan memberikan ruang bagi Dinas Kesehatan Daerah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan secara berjenjang dan secara fungsional kepada FKTP dalam pengelolaan dana kapitasi JKN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dana kapitasi JKN harus dipastikan penggunannya hanya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Hal ini mengingat potensi dana kapitasi yang rawan untuk di korupsi.
Contoh yang lain misalnya dalam pengeloaan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Pengaturan mengenai UKP dan UKM dalam SKD dengan pendekatan tematik local dapat menjadi strategi penguatan SKN. Misalnya dengan mengalokasikan sebagian dari dana desa untuk Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan pengembangan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM). Dengan disahkan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, maka setiap desa dari 77.548 desa yang ada, akan mendapat dana alokasi yang cukup besar setiap tahun. Kucuran dana sebesar ini akan sangat besar artinya bagi pemberdayaan masyarakat desa di bidang kesehatan.
Hak dan kewajiban Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes) dalam memberikan layanan kesehatan di daerah, alternatif model penyelesaian sengketa medis yang terjadi antara pasien dengan fasyankes juga dapat menjadi konstruksi pengaturan dalam SKD. Hal ini bertujuan untuk mengatasi berbagai problematika dan isu dalam layanan kesehatan di era JKN. Saat ini, isu disparitas dalam layanan kesehatan dan isu transparansi kesehatan masih selalu menjadi problematika dalam penyelenggaraan kesehatan di daerah.
Dengan demikian, tantangan yang juga dihadapi Indonesia saat ini adalah bagaimana membangun kebijakan daerah yang diarahkan pada upaya untuk menopang dan menguatkan SKN dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, di rekomendasikan bagi setiap daerah untuk membangun Sistem Kesehatan Daerah (SKD) sebagai kebijakan penyelenggaraan kesehatan di daerah dengan memperhatikan otonomi daerah dan otonomi fungsional di bidang kesehatan. Dengan adanya SKD, pemerintah daerah, rumah sakit, masyarakat, dan swasta memiliki acuan dan metode penyelenggaraan pembangunan kesehatan daerah bagi yang secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dan Indonesia sejahtera.
Tinggalkan Balasan