HUKUM PIDANA MASIHKAH SEBAGAI THE LAST RESORT
5 min readHUKUM PIDANA MASIHKAH SEBAGAI THE LAST RESORT – Hukum Pidana sebagai sarana terakhir atau sering disebut sebagai ultimum remedium dalam bahasa Inggris disebut juga sebagai The Last Resort merupakan suatu asas yang pada umumnya melekat pada hukum pidana. Ultimum Remedium adalah suatu obat terakhir yang digunakan apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan. Oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi. Kalau masih ada jalan lain janganlah menggunakan hukum pidana (Soedarto: 2013, 20). Sifat ultimum remedium ini juga menjadi sebuah pembeda antara hukum pidana dengan sub bidang hukum lain dikarenakan sub hukum lain, seperti hukum perdata, hukum tata negara dan hukum administrasi negara dalam penggunaannya tidaklah bersifat ultimum remedium seperti hukum pidana, namun primum remedium, yang dijadikan sebagai sarana utama atau terdepan dalam penggunaannya.
Hukum pidana dijadikan sebagai sebuah sarana terakhir/obat terakhir bukan tanpa alasan. Sanksi hukum pidana yang memberikan nestapa (penderitaan), dan tragis (menyedihkan) menjadi salah satu alasan, disamping alasan lainnya, yakni setelah seorang pelaku kejahatan telah selesai menjalankan sanksi pidana (pidana) yang diterimanya, lantas tidak menghapuskan dan melepaskannya dari cap atau stigma jahat yang diberi kepadanya oleh masyarakat. Cap atau stigma tersebut bahkan bisa melekat hingga orang tersebut mati, seolah-olah ia telah dipidana seumur hidup.
Dewasa ini, telah terjadi perubahan cara pandang masyarakat dalam memahami hukum pidana sebagai ultimum remedium.Sebagai contoh adalah dalam menangani kasus pencemaran nama baik. Terbukti berdasarkan laporan yang dikutip dari kompas, tercatat ada sebanyak 1451 laporan informasi dari hasil laporan kepolisian hanya untuk kejahatan pencemaran nama baik melalui sosial media yang rencananya akan ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian (kompas.com Senin, 12 Maret 2018). Pencemaran nama baik adalah jenis kejahatan yang biasanya dilakukan oleh individu kepada individu lain dan penyelesaiannya paling memungkinkan jika diselesaikan melalui langkah-langkah damai dan musyawarah. Namun sekarang cara perdamaian dan musyawarah dikesampingkan oleh masyarakat dan lebih mandahulukan sarana hukum pidana seolah-olah hukum pidana adalah sarana terdepan dan yang utama.
Ada juga kasus di Jember Jawa Timur pada tahun 2013, seorang ibu yang dilaporkan oleh anaknya ke polisi karena dituduh mencuri kayu dari pekarangan rumah anaknya. Tahun 2017 di Kudus Jawa tengah, seorang anak melaporkan ibunya ke polisi akibat si Ibu memukul dirinya, dan akhir-akhir ini di Indonesia banyak fenomena saling lapor ke kepolisian antara pihak-pihak yang bermasalah satu sama lain dengan dalil atau alasan masing- masing pihak agar lawan atau musuh atau orang bersengketa dengannya dapat di jatuhi pidana.
Kasus di atas seolah-olah menggambarkan fenomena dalam masyarakat yang menjadikan hukum pidana sebagai alat “penggebuk atau melibas” dalam arti bahwa hukum pidana saat ini digunakan oleh orang-orang sebagai alat untuk melawan musuh. Hal tersebut jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam hukum pidana, yang menjadikan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam penggunaannya, dalam arti jika masih ada jalan lain sebisa mungkin janganlah menggunakan sarana hukum pidana.
Para sarjana hukum sepakat bahwa hukum pidana bisa saja sesekali tidak bersifat ultimum remedium dalam penerapannya namun lebih condong kepada penggunaannya sebagai sarana yang utama (primum remedium). Hal tersebut dapat terjadi apabila telah memenuhi kriteria sehingga perubahan dari yang sebelumnya ultimum remedium menjadi primum remedium dimungkinkan dan diperbolehkan terjadi dalam hukum pidana. Adapun primum remedium dapat diterapkan dalam hukum pidana, pertama apabila kejahatan tersebut digolongkan sebagai musuh seluruh ummat manusia (Hostis Humanis generis) sehingga jangankan sebuah negara, bahkan seluruh dunia bersepakat untuk memberantas jenis kejahatan tersebut. Kedua, kejahatan tersebut termasuk ke dalam jenis kejahatan luar biasa (extraordinary Crime). Ketiga, kejahatan tersebut menimbukan kerugian yang sedemikain besarnya kepada benda hukum atau kepentingan hukum sehingga tidak dapat diperbaiki lagi.
Adapun untuk kejahatan-kejahatan lain, apalagi kejahatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana ringan, maka seyogiyanya lebih mengedepankan penyelesaian secara non hukum pidana (nonpenal) terlebih dahulu, dikarenakan sanksi pidana yang sangat memberikan nestapa dan menyedihkan, juga sanksi sosial dari masyarakat, yakni dalam bentuk stigma atau cap yang diberi masyarakat bagi para terpidana bahkan tetap melekat setelah selesai menjalankan pidana, tak jarang pula sampai seumur hidup. Terkhusus juga apabila perbuatan yang diancam dengan pidana itu juga merembes atau menyentuh ranah hukum lain, seperti hukum perdata dan hukum administrasi, maka seyogianya lebih dahulu mengutamakan dan menempuh penyelesaian secara perdata dan administasi sebagai sarana yang utama (primum remedium). Hal tersebut karena peran hukum pidana dalam sub hukum lain, misal hukum perdata dan hukum administrasi adalah sebagai hukum pembantu (hulprecht) atau dikenal sebagai hukum pidana dapat dipandang sebagai bahan pembantu. Artinya bahwa demi ditaatinya sub hukum lain maka hukum pidana dapat turut membantu, namun tetap sebagai sarana terakhir, dan mengedepankan sub hukum masing- masing sebagai sarana utama dalam penyelesaiaannya.
Kekurangan lain apabila hukum pidana dijadikan sebagai primum remedium
Selanjutnya, dalam menggunakan sarana hukum pidana perlu kiranya memperhatikan tujuan dari pemidanaan. Saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita tidak menyebutkan secara eksplisit tujuan dari pemidanaan, sehingga menyebabkan baik pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum terkadang bingung dan kurang memahami hakikat daripada pemidanaan itu sendiri. Dengan adanya tujuan pemidanaan yang jelas maka pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum dapat memiliki acuan yang jelas dan tidak secara sembarangan menggunakan sarana hukum pidana sebagai sarana ultimum remedium. Menurut John Kaplan tujuan pemidanaan atau disebut dasar-dasar pembenar pidana, disamping sebagai deterrence, incapacitation, dan rehabilitation, juga bertujuan untuk menghindari balas dendam (avoidance of blood feuds), adanya pengaruh yang bersifat mendidik (the educational effect), dan mempunyai fungsi memelihara perdamaian (the peace keeping function) (Muladi dan Barda: 2010, 20).
Berdasarkan tujuan pemidanaan tersebut, maka apabila sub bidang hukum lain telah mampu mencapai dari tujuan pemidanaan yang telah ada, bahkan mampu mengembalikan kerugian atau kerusakan benda/kepentingan hukum atau bahkan memulihkan seperti sedia kala, maka seyogianya hukum pidana tidak perlu dipergunakan atau setidaknya dijadikan sebagai the last resort.