PERKEMBANGAN AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (SEBUAH PERSPEKTIF YURIDIS) – Dalam ranah ilmu pengetahuan hukum pidana, terdapat berbagai pandangan tentang “ajaran sifat melawan hukum”. Andi Hamzah menyatakan bahwa istilah melawan hukum merupakan padanan istilah wederrechtelijk dalam Bahasa Belanda. Hoge Raad dalam putusannya tanggal 28 Juni 1911 yang menyangkut Artikel 326 Net.WvS menyatakan …”de dader geen eigen recht op de bevoordeling heeft”… artinya terdakwa tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati keuntungan itu. Wederrechtelijk
Sementara itu, menurut Noyon bahwa paham yang paling tepat mengenai wederrechtelijk
Guna melengkapi pandangan 3 (tiga) pakar hukum di atas, maka patut dikemukakanlah pendapat Darwan Prinst dalam bukunya berjudul “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, bahwa: melawan hukum secara formil berarti perbuatan yang melanggar/bertentangan dengan Undang-Undang. Sedangkan melawan hukum secara materiil berarti bahwa meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun adalah melawan hukum apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, seperti bertentangan dengan adat- istiadat, moral, nilai agama dan sebagainya, maka perbuatan itu dapat dipidana (Prinst, 2002: 29-30).
Secara yuridis, menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa yang dimaksud dengan “melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Lebih lanjut, di dalam Penjelasan Umum UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan: agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa, sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara ”melawan hukum” dalam pengertian formil dan materiil.
Terlepas dari pengertian di atas, perlu disimak lebih lanjut apa yang menjadi alasan pertimbangan pembuat undang-undang mencantumkan unsur melawan hukum dalam pengertian formil maupun materiil di dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, yaitu:
Pertama : mengingat korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime, maka pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa.
Kedua : dampak dari tindak pidana korupsi selama ini, selain merugikan keuangan dan perekonomian negara, juga
menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
Ketiga : dalam upaya merespon perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, agar dapat lebih memudahkan dalam pembuktian, sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.
Bertitik tolak pada Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan Penjelasan Umum UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, beserta diperkuat dengan dasar pertimbangan pembuat undang-undang mencantumkan unsur melawan hukum dalam pengertian formil maupun materiil di dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Maka dalam hal ini patut dikemukakanlah pandangan Sudarto bahwa memasukan unsur “melawan hukum” dalam pengertian materiil selain dalam pengertian formil di dalam Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi, maka aturan ini ada manfaatnya, kalau tidak, arti melawan hukum adalah bertentangan dengan Undang-Undang, sesuai dengan pandangan formil, maka sama saja tidak ada kemajuan (Sudarto, 1986: 131).
Patut untuk diketahui bersama, bahwa Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi serta Pengadilan Negeri di bawahnya, sejak lama telah menerapkan “materiele wederrechtelijkeheid” dalam berbagai putusan perkara tindak pidana korupsi, baik dalam fungsinya negatif maupun positif. Seperti terlihat pada putusan No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, Putusan Perkara Korupsi Nomor 81 K/Kr/1973 tanggal 30 Maret 1977, Putusan MA Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 yang memberikan penafsiran tentang perbuatan melawan hukum materiil, Putusan MA No. 25 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983, Putusan MA No. 24 K/Pid 1984 tanggal 6 Juni 1985, dan Putusan MA No. 241 K/Pid 1987 tanggal 21 Januari 1989 (Effendy, 2011: 20).
Perkembangan selanjutnya adalah dengan munculnya Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006 terhadap sistem pembuktian tindak pidana korupsi, bahwa pengertian melawan hukum materiil tersebut telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga yang dimaksud dengan melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini hanyalah perbuatan melawan hukum formil saja. Adapun amar Putusan MK tersebut pada pokoknya berbunyi sebagai berikut:
“Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Adapun beberapa dasar pertimbangan putusan MK tersebut, antara lain:
1. Pasal 28D ayat (1) mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas terseb ut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada;
2. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta;
3. Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele wederrechtelijk), yang mewajibkan pembuat undang-undang untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin (vide Jan Remmelink, Hukum Pidana, 2003: 358) merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah Bestimmheitsgebot;
4. Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat.
Jadi, dari beberapa pertimbangan MK tersebut di atas, konstruksi hukum putusan MK dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengandung asas “kepastian hukum” seperti asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, dalam arti:
a. Lex scripta : tertulis
b. Lex stricta : jelas dan ketat
c. Lex certa : pasti (Bestimmheits- gebot) – cermat dan rinci.
2. Konsep melawan hukum materiil yang merujuk pada “hukum tidak tertulis” adalah merupakan ukuran yang tidak pasti.
Berdasarkan konstruksi hukum putusan MK tersebut di atas, patut dikemukakan bahwa penulis kurang setuju dengan konstruksi berpikir MK yang menyatakan “kepastian hukum” dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah identik seperti kepastian hukum menurut asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Alasannya karena ketentuan formulasi Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Jadi, dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak digunakan istilah “kepastian hukum” saja, tetapi “kepastian hukum yang adil”. Sehingga lebih mengandung makna substantif, tidak sekedar kepastian formal (formal certainty), tetapi substantive/ material certainty. Bahkan jika diteliti lebih jauh, istilah “kepastian hukum yang adil” dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah senafas dengan makna “Asas Kepastian Hukum” dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, khususnya dalam penjelasan Pasal 3 Angka 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. Sehingga dengan demikian, yang ingin penulis sampaikan bahwa kepastian hukum menurut UUD NRI Tahun 1945 adalah adalah tidak hanya terbatas pada “kepastian formal” (formal certainty) berlandaskan UU semata, akan tetapi pada hakikatnya lebih mengandung nilai keseimbangan dengan “kepastian substantif/ materiil” (substantive/ material certainty).
Analisis selanjutnya, bahwa sehubungan dengan konstruksi hukum Putusan MK yang menyatakan: konsep melawan hukum materiil yang merujuk pada “hukum tidak tertulis” adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, penulis hanya ingin sampaikan bahwa hakikatnya tolak ukur untuk menentukan “nilai kepastian” dalam hukum tidak tertulis adalah domain hakim untuk mengujinya, kemudian hakimlah yang akan menentukan tolak ukurnya seperti apa, yang kemudian akan dimuatnya dalam dasar pertimbangan putusan pengadilan yang akan diputuskannya. Hal tersebut senafas dengan ketentuan Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tetang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa:
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Menariknya adalah bahwa pasca putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006 tersebut, Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Negeri (PN) dalam beberapa putusannya antara lain:
1. Putusan MA No. 2078.K/PID/2005
2. Putusan MA No. 996 K/Pid/2006
3. Putusan MA No. 1974 K/Pid/2006
4. Putusan MA No. 2065/K/Pid/2006
5. Putusan MA No. 1838.K/PID/2005
6. Putusan MA No. 2068 K/Pid/2006
7. Putusan MA No. 207 K/Pid/2007
8. Putusan MA No. 1144/K-Pid/2006
9. Putusan PN Kepanjen No. 1079/Pid.B/2007/PN.Kpj.
10. Putusan PN Kepanjen No. 91/Pid.B/2008/PN.Kpj.
11. Putusan PN Jakarta Selatan No. 1280/Pid.B/2009/ PN.JKT.Sel
Kesemuanya putusan tersebut di atas, adalah tetap memaknai unsur ”melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu baik dalam arti formil maupun dalam arti materiil.
Berdasarkan beberapa putusan di atas, hal tersebut memang sangat dilematis karena doktrin dan yurisprudensi memang bukan domain MK untuk mengujinya, sehingga kondisi faktual tersebut perlu segera dicarikan solusinya agar ke depan tidak terjadi multitafsir yang berlarut-larut terhadap Putusan MK tersebut dalam hal penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil. Untuk itu, seyogyanya MA RI bersikap tegas dan segera merespon putusan judicial review dari MK RI dengan segera mengeluarkan pendapat hukum melalui putusan perkara tindak pidana korupsi yang saat ini masih dalam proses kasasi, yang oleh Penuntut Umum di dalam tuntutan pidananya diterapkan ajaran melawan hukum yang diperluas dalam pengertian materiil.
Tinggalkan Balasan