PROBLEMATIKA MEKANISME PENYELESAIAN PINJAMAN GAGAL BAYAR PADA PINJAMAN ONLINE DI INDONESIA

PROBLEMATIKA MEKANISME PENYELESAIAN PINJAMAN GAGAL BAYAR PADA PINJAMAN ONLINE DI INDONESIA – Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju berdampak pula pada kegiatan bertransaksi dalam lembaga pembiayaan. Transaksi pembiayaan mengalami proses digitalisasi, yang karena proses ini berdampak atas sebuah kemudahan bertransaksi secara online atau istilah populernya disebut dengan financial technology.

Financial technology dalam bukunya Roy S. Freedman yang berjudul Introduction to Financial Technology adalah:

“Financial Technology is concerned with building systems that model, value, and process financial products such as bonds, stocks, contracts, and money. At a minimum, financial products are represented by the dimensions of price, time, and credit. Like commercial systems, financial systems incorporate trading systems and trading technology to enable the buying and selling of products at different times and in different market spaces”.

Dengan kata lain Financial technology adalah kegiatan yang memfokuskan untuk pembangunan sistem model, nilai, dan proses kegiatan produk dari finansial seperti obligasi, perjanjian dan uang. Hal ini seperti menunjukkan perbedaan pada perbedaan harga, waktu, dan kredit. Seperti contoh, dalam dunia trading kita dapat membeli produk di waktu dan markets yang berbeda (Roy S. Freedman, 2006: 1).

Salah satu produk financial technology atau fintech di Indonesia adalah peer to peer lending atau pinjaman online. Dalam POJK No. 77 /POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi menggunakan istilah Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi untuk mendefnisikan pinjaman online. POJK tersebut memberikan definisi Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi sebagai penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.

Namun sayangnya, POJK tersebut belum mampu menjangkau kepentingan perlindungan hukum terhadap pemberi pinjaman atau platform online apabila terjadi gagal bayar atau kredit macet (Heryucha Romanna Tampubolon, 2019: 196). Selain itu, diperlukan regulasi yang mengatur mengenai mekanisme hukum apabila penerima pinjaman gagal bayar atau tidak melakukan kewajibannya dengan tepat waktu. Peraturan tersebut sangat diperlukan melihat perkembangan penyelenggara bisnis pinjaman online sudah sangat berkembang di Indonesia.

Berdasarkan peristiwa yang terjadi  di Indonesia, CNCB mencatat permasalahan pinjaman macet online di Indonesia berdasarkan website (cnbcindonesia.com, 9 Oktober 2019) menyatakan bahwa pinjaman fintech sebanyak Rp 7,05 Triliun sedangkan kredit bermasalah menembus angka Rp 44,8 Miliar. Angka pada pinjaman bermasalah ini mengalami kenaikan karena pada tahun 2018 presentase kredit macet fintech 1,5%, pada awal tahun 2019 naik mencapai 2%, dan di bulan Februari 2019 mencapai 3,18%. Liputan 6 menyatakan dalam website (liputan6.com, 23 Oktober 2019) bahwa perusahaan dari aplikasi mengerahkan penagih utang atau Debt Collector dengan cara meneror melalui pesan pendek di telepon seluler maupun di media sosial. Dengan bunga yang diberikan kepada para penerima pinjaman yang melewati jangka waktu pembayaran cukup mencekik dengan tempo yang sangat pendek, kebanyakan debitur berutang ke pinjaman online lain dengan tujuan untuk gali lubang tutup lubang. Selain itu, BBC Indonesia dalam website (bbc.com, 23 Oktober 2019) mencatat kasus atas nama Agustin Cahyani (23 Tahun) meminjam uang di salah satu platform online pada akhir September 2018 lalu sebanyak Rp 1,8 juta yang seharusnya jatuh tempo dalam 13 hari dan belum bisa dibayarnya sehingga penyelesaiannya yang dilakukan oleh platform tersebut dengan memberi denda berupa bunga sehingga Agustin harus mengembalikan uang sejumlah Rp 1,9 juta. Pihak platform juga menelfon dan meneror penerima pinjaman agar segera dilunaskan pinjamannya.

Maka dari itu, Penulis melihat adanya kekosongan hukum dimana belum adanya peraturan yang mengatur apabila peminjam atau penerima pinjaman tidak menyelesaikan kewajibannya kepada platform online serta belum ada perlindungan bagi pihak penyelenggara dan pemberi pinjaman. Dalam penyelenggaraan bisnis pinjaman online ini, terdapat problematika dalam mekanisme penyelesaian pinjaman gagal bayar antara lain:

1. Struktur Hukum (Legal Structure)

Problematika dalam hal ini adalah OJK tidak akan mengeluarkan peraturan khusus mengenai risiko pinjaman gagal bayar. OJK menganggap bahwa surat himbauan dan pedoman perilaku bagi pihak penyelenggara cukup untuk melakukan prosedur penyelesaian pinjaman gagal bayar, sedangkan surat himbauan tersebut masyarakat tidak dapat mengetahui substansi dari surat tersebut. Hal ini dapat berimplikasi terhadap pandangan masyarakat atas kinerja dari OJK dalam hal menanggapi mekanisme penagihan terhadap pinjaman gagal bayar.

Selama ini, ketentuan penagihan terhadap penerima pinjaman yang gagal bayar tidak diatur di dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 namun dimuat dalam Pedoman Perilaku Pemberian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi secara Bertanggung Jawab. Dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Pasal 48 menyebutkan bahwa platform di Indonesia wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi yang ditunjuk oleh OJK yaitu AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia).

OJK sebagai lembaga yang berwenang mengawasi kegiatan bisnis pinjaman online di Indonesia sampai saat ini belum mempunyai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Seperti yang diketahui, OJK mempunyai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk 6 sektor keuangan yaitu, sektor perasuransian, sektor pasar modal, sektor dana pensiun, sektor perbankan, sektor penjaminan, dan sektor pembiayaan dan pegadaian. Namun, sampai saat ini OJK belum mempunyai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor financial technology yang dianggap penting melihat kondisi perkembangan bisnis financial technology di Indonesia yang bergerak begitu cepat.

2. Substansi Hukum (Legal Substant)

a. Belum Ada Peraturan Khusus yang Mengatur tentang Mekanisme Penyelesaian Pinjaman Gagal Bayar.

OJK sedang menyusun rancangan yang baru untuk peer to peer lending. Namun, belum bisa dinyatakan apakah rancangan tersebut bersifat mengganti atau melengkapi POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Akan tetapi dalam rancangan yang sedang disusun ini, tidak memuat tentang mekanisme penyelesaian pinjaman gagal bayar. Hal ini dikarenakan menurut OJK bukan sesuatu yang menjadi urgensi untuk dibuatkan suatu peraturan. Hal ini didukung juga karena belum adanya undang-undang yang mengatur khusus tentang Financial Technology.

b. Lemahnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

OJK hanya menghimbau platform online di Indonesia dalam menagih penerima pinjaman yang gagal bayar secara tidak baik melalui surat yang dikirim langsung kepada seluruh platform peer to peer lending di Indonesia. Selain adanya code of conduct (pedoman perilaku) yang harus dipatuhi oleh anggota asosiasi, sejauh ini mitigasi cara penagihan yang wajar masih menggunakan kode etik dan tanggung jawab pihak penyelenggara. OJK juga mengatakan bahwa POJK Nomor 77/POJK.01/2016 dirasa sudah tidak relevan lagi bagi para pihak penyelenggara bisnis ini. Hal ini dikarenakan perkembangan peer to peer lending di Indonesia sangatlah pesat sehingga peraturan ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada. Menurut salah satu platform online di Indonesia, POJK ini juga dinilai terlalu banyak mengakomodir atau melindungi kepentingan penerima pinjaman.

3. Budaya Hukum (Legal Culture)

a. Kurangnya Pengetahuan Masyarakat dalam Menggunakan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi.

Pada kenyataannya banyak masyarakat Indonesia yang masih belum paham tentang bisnis ini tetapi sudah mulai terjun langsung dalam bisnis ini. Sehingga masih banyak masyarakat yang terjebak dalam bisnis Platform-platform illegal serta complain terhadap bunga yang besar. OJK menyebutkan bahwa banyak pengaduan dari masyarakat tentang platform illegal. Hal ini sebetulnya tidak akan terjadi apabila masyarakat terlebih dahulu mengecek platform tersebut sudah terdaftar di OJK atau belum. Untuk melakukan pengecekan pun mudah karena semua daftar OJK yang sudah terdaftar dan berizin ada di website resmi OJK. Apabila adanya kerja sama yang baik antara penerima pinjaman dengan platform online dalam hal penagihan tentunya semua prosedur akan berjalan dengan lancar dan tidak perlu dilimpahkan penagihannya kepada pihak ketiga. Namun kenyataannya selama ini masyarakat merasa tidak mampu membayar dan menutup akses diri untuk dapat dihubungi dengan tim penagih dimana masyarakat tersebut meminjam uang.

Hal ini tetap terjadi meskipun sudah ada peringatan tentang risiko buruk yang dapat diterima oleh masyarakat apabila pinjaman termasuk pinjaman gagal bayar. Risiko buruk tersebut seperti pemberian denda perhari, adanya info terhadap kontak darurat apabila penerima pinjaman tidak dapat dihubungi (rasa malu karena berhutang), serta adanya riwayat yang buruk dalam hal pinjaman yang tercatat di Fintech Data Centre (FDC).

b. Pandangan Masyarakat Terhadap Cara Penagihan dari Pihak Ketiga.

Hal ini berimplikasi terhadap opini masyarakat terhadap sistem penagihan yang dilakukan melalui saluran telepon yang dilakukan oleh platform pinjaman online. Secara kenyataan, tidak semua sistem penagihan melalui saluran telepon dapat tergolong negatif atau dilakukan dengan tidak baik. Di samping itu, pandangan masyarakat dapat berimplikasi terhadap reputasi dari platform online yang bersangkutan. Hal ini dapat merugikan salah satu pihak tanpa tahu atas kebenaran sebab akibat yang terjadi diantara para pihak. Cara pandang penagihan terhadap penagih baik dari pihak platform maupun dari pihak ketiga dalam hal menagih dengan itikad baik untuk mengingatkan atas segala risiko buruk yang mungkin terjadi apabila penerima pinjaman termasuk dalam daftar pinjaman gagal bayar seringkali tidak dihiraukan. Sering kali masyarakat menanggapi peringatan atas risiko buruk yang mungkin terjadi hanyalah untuk membuat penerima pinjaman merasa takut. Hal ini berimplikasi bahwa penerima pinjaman tidak menanggapi dengan serius peringatan atas risiko yang akan dialami oleh penerima pinjaman.

c. Kesadaran Hukum Masyarakat Tergolong Lemah.

Kesadaran hukum masyarakat Indonesia tergolong lemah dilihat dari cara masyarakat untuk mau membaca dan mempelajari peraturan yang ada. Hal ini dikarenakan masih banyak aduan dari masyarakat tentang sistem penagihan melalui telepon seluler kepada OJK. Hal ini sudah jelas tertera dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, Pedoman Perilaku Pemberian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Secara Bertanggung Jawab dan tertera dalam Kebijakan Privasi dari sebuah platform. Apabila penerima pinjaman memahami POJK tersebut, maka penerima pinjaman akan mengajukan pinjaman kepada platform yang sudah terdaftar dan berizin. Hal ini dikarenakan platform yang sudah terdaftar dan berizin harus menjadi anggota asosiasi (AFPI).

Apabila menjadi anggota AFPI, maka platform tersebut harus bekerja sama dengan lembaga penagih (debt collector) yang sudah mendapat sertifikasi dari AFPI. Untuk masalah pemanfaatan data termasuk kontak dari seluler milik penerima pinjaman sudah dicantumkan dalam kebijakan privasi yang muncul pada layar telepon pengguna sebelum penerima pinjaman menggunakan layanan pinjam meminjam uang lebih jauh.

Categories:

Tinggalkan Balasan