Re Thinking GBHN (Misi Menghidupkan yang Telah Mati)
6 min readRe Thinking GBHN (Misi Menghidupkan yang Telah Mati) – Wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebenarnya wacana yang telah lama, kemudian semakin bergema kembali, Kongres V PDIP di Bali pada Sabtu, 10 Agustus 2019 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengusulkan kelanjutan amandemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan demi menjamin kesinambungan pembangunan nasional, sebagai partai pemenang pemilu dan partai berkuasa tentunya sikap PDIP tersebut menjadi semakin Viral.
Wacana menghidupkan GBHN memang telah lama, sejak amademen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) melalui empat (4) tahap, GBHN tidak lagi diatur dalam konstitusi. Panitia Ad Hoc I MPR 1999 menetapkan kesepakatan dasar untuk Amademen tersebut, yaitu:
1) Tidak mengubah Pembukaan UUD NRI Tahun 1945;
2) Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3) Mempertegas sistem pemerintahan Presidensial;
4) Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal;
5) Perubahan dilakukan dengan cara addendum.
GBHN terkait dengan kesepakatan mempertegas sistem presidensial.
Mempertegas sistem presidensial diantaranya adalah dilakukannya pemilihan presiden secara langsung (Pasal 6A UUD NRI Tahun 1945). Dengan perubahan ini, hubungan presiden dengan MPR juga berubah yang dahulu presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan (MPR) sehingga
Presiden merupakan mandataris yang melaksanakan arahan MPR baik Ketetapan (Tap) MPR dan GBHN. Dengan Sistem pemilihan presiden dan pertanggungjawaban kepada MPR maka MPR berhak untuk memberhentikan presiden. Selain itu presiden tidak dapat menjalankan tugasnya dalam jangka waktu tertentu. Mekanisme tersebut dipandang lebih pada sistem parlementer sehingga dianggap melemahkan sistem presidensil. Karena secara umum presiden harus tetap mendapatkan kepercayaan politik parlemen untuk tetap menjalankan tugasnya (seperti dengan Perdana Menteri dalam sistem parlementer), apabila tidak maka MPR dapat menjatuhkan Presiden hanya dengan alasan politik. Contoh Kasus penghentian Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 23 Juli tahun 2001.
Penguatan sistem presidensil selain dilakukan dengan Pemilihan lansung Presiden, juga dilakukan dengan membatasi masa jabatan Presiden pertama bahwa masa jabatan presiden lima tahun dan presiden hanya dapat dipilih untuk dua kali masa jabatan (Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945). Kemudian Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 7C UUD NRI Tahun 1945) Dengan adanya Pasal ini, maka secara kesisteman hubungan antar lembaga negara dalam sistem presidensiil terjaga karena tidak akan terjadi pembubaran parlemen oleh eksekutif sebagaimana terjadi pada sistem parlemeter.
Dari gambaran tersebut terlihat bahwa menghidupkan GBHN tidak hanya terkait mengenai perencanaan nasional saat ini tetapi juga terkait dengan sistem ketatanegaraan. Terdapat beberapa dampak yang perlu dipertimbangkan: Pertama, Alasan menghidupkan GBHN, diantaranya:
1) Karena tidak adanya GBHN itu maka pembangunan di Indonesia tidak akan berjalan dengan baik pada jangka panjang, GBHN sebagai acuan kerja pemerintahan secara berkesinambungan, terutama untuk menata sistem demokrasi.
2) Berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan memperkuat nasionalisme serta mendorong sinkronisasi peran antarkelembagaan baik unsur lembaga perwakilan rakyat, kementerian dan lembaga-lembaga lainnya agar terbangun integrasi perencanaan dan pengganggaran pembangunan nasional yang berdimensi kerakyatan dan partisipatif.
3) GBHN juga akan membantu presiden yang sedang bertugas maupun calon presiden di periode selanjutnya agar “stay on track” dalam menjalankan tugas dan wewenangnya untuk kemajuan bangsa.
4) Saat ini Indonesia tidak memiliki perencanaan pembangunan nasional secara menyeluruh yang meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial serta pemerintah daerah.
Berdasarkan beberapa alasan tersebut maka pertanyaanya, apakah selama ini tidak ada perencanaan nasional. Setelah di hapusnya GBHN kemudian bentuk perencanaan nasional berubah menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005 – 2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Tahunan atau sering dikenal dengan istilah Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Sehingga tidak tepat jika dikatakan bahwa selama ini tidak ada perencanaan pembangunan nasional.
Terhadap alasan tidak adanya keberlanjutan pembangunan pusat hingga daerah, yang perlu dianalisa adalah tidak adanya keberlanjutan pembangunan pusat hingga daerah disebabkan oleh karena tidak adanya GBHN atau ternyata terdapat faktor lain, jika dilihat dari konteks pelaksanaan efektifitas GBHN tidak terlepas dengan konteks sosialpolitik yang terjadi saat ini. Pada saat itu kendali pusat hingga daerah sangat kuat, kontrol pemerintah terhadap demokrasi hingga ekonomi tersentral. Jika dibandingkan pada saat ini, dengan perkembangan demokrasi dan sosial politik saat ini tentu akan berbeda. Perubahan sistem demokrasi politik yang semakin terbuka, kekuasaan yang terdesentralisasi. Sebagai contoh, presiden dengan konsep pemilihan lansung mempunyai janji politik kepada rakyat sebagai pemilihnya. Sehingga presiden tentu akan melakukan program yang sesuai dengan janjinya, pemilih pun akan melihat janji tersebut untuk menentukan pilihannya, begitupun dengan pemilihan kepala daerah, sehingga perubahan arah kebijakan.
Salah satu argumentasi utama mengapa perlu menghidupkan GBHN adalah pandangan bahwa perencanaan pembangunan di Indonesia pasca reformasi mengalami kekacauan, tidak ada arah dan saling berbenturan antara pusat dan daerah. Selain itu mereka juga menyoroti soal kesinambungan program- program pembangunan yang bisa jadi mengalami keterputusan ketika terjadi pergantian pemerintahan. selain itu pengaruh Sistem multi partai sebagai variable penting dalam proses pemilihan kepemimpinan di pusat dan daerah, sehingga rentan terjadi perbedaan perencanaan tertentu dalam pembangunan pusat dan daerah, atau keterputusan beberapa kebijakan tertentu antara masa pemerintahan bukan karena tidak adanya GBHN.
Selain itu setiap pemerintahan baru dalam pembangunan tidak total melakukan perubahan pembangunan, yang artinya masih melanjutkan beberapa kebijakan dari pemerintah sebelumnya. Tidak bisa digeneralisir apabila terdapat kebijakan yang tidak berkelanjutan dimaknai bahwa hal tersebut bertentangan dengan pembangunan berkelanjutan, padahal dapat saja perubahan pembangunan dilakukan sebagai bentuk evaluasi dari perencanaan sebelumnya yang tidak efektif. Selama ini paradigma perencanaan pembangunan diasumsikan berjalan secara lurus dan bertahap.
Padahal perencanaan pembangunan juga harus beradaptasi dengan kondisi yang ada. Sehingga permasalahan perencanaan pembangunan bukanlah masalah hukum tetapi terkait dengan teknik perencanaan ekonomi dan praktek politik serta ketata negaraan.
Alasan lain perlu adanya GBHN adalah Indonesia tidak memiliki perencanaan pembangunan nasional secara menyeluruh yang meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial serta pemerintah daerah. Pengaturan secara khusus terhadap lembaga negara yang lain menyebabkan permasalahan baru. Bagaimana apabila lembaga tersebut dalam praktiknya tidak melaksanakan atau melanggar GBHN, dapatkah dijatuhkan sanksi kepada lembaga tersebut, apakah MPR yang akan menjatuhkan sanksi?. Contoh apabila Dewan Perwakilan Daerah (DPR) yang melanggar GBHN padahal DPR adalah juga merupakan anggota MPR. Atau presiden yang melakukan pelanggaran terhadap GBHN, pakah akan dipecat oleh MPR?. belum lagi dengan kelembagaan yudisial yang lain, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang independen untuk menjaga marwah peradilan. Pertanyaan kelembagaan ini akan sulit dijawab karena secara politik hukum penguatan Presidensial telah ditempatkan sebagai politik hukum mendasar yang berdampak sistemik dengan berkurangnya peran parlemen atau MPR dalam membangun stabilitas politik.
Kedua, Struktur kelembagaan MPR, apabila ingin konsisten menggunakan GBHN maka seharusnya juga akan merubah susunan anggota MPR. Saat ini MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai perwakilan dari jalur politik (partai politik) dan (DPD) dari perwakilan yang mewakili daerah provinsi. Sebelum Amademen, susunan MPR terdiri dari anggota DPR dan utusan Golongan yang terdiri dari perwakilan para cendekiawan, tokoh agama, dan perwakilan fungsional lainnya sehingga mencerminkan aspek keterwakilan rakyat yang sangat majemuk. Oleh karena itu GBHN pada masa MPR sebelum amademen merupakan aspirasi dari seluruh komponen masyarakat. Bukan hanya aspirasi komponen politik atau daerah seperti MPR saat ini.
Ketiga, Koreksi GBHN, kemungkinan lain yang mungkin terjadi apabila GBHN bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, siapakah lembaga yang akan melakukan koreksi, apabila jawabannya MPR adalah lembaga tertinggi Negara maka koreksi akan dilakukan sendiri oleh MPR, padahal MPR terdiri dari anggota DPR yang berasal dari partai politik maka koreksi akan diselesaikan dengan mekanisme politik. Bukan melalui mekanisme hukum.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menghadirkan GBHN sebenarnya tidak menjadi pilihan tepat. Tetapi apabila pilihan politik nasional melalui DPR dan DPD mengarah akan menghidupkan GBHN, maka sebaiknya juga merubah relasi struktur ketata negaraan, seperti Struktur MPR yang terdiri dari perwakilan yang lebih majemuk, merubah sistem presidensil ke arah parlemen, simplifikasi partai politik (orde baru hanya 3 partai) atau jika ingin ekstrim seperti di Republik Rakyat Tiongkok hanya satu partai untuk mengendalikan dinamika arah partai sehingga kebijakan GBHN akan lebih efektif dilaksanakan. Pilihan menghidupkan atau tidak menghidupkan GBHN, secara praktik merupakan kebijakan politik nasional karena akan merubah konstitusi dan sistem kelembagaan. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kebijakan tersebut akan mendorong kesejahteraan masyarakat, pembangunanan nasional dan stabilitas sosial politik menjadi lebih baik.