REFLEKSI SEMBILAN TAHUN UU BANTUAN HUKUM – Negara yang berdasar atas hukum, wajib memberikan kepastian hukum kepada warga negaranya dengan mengedepankan hukum sebagai dasar perlindungan hak dan kewajiban tanpa ada diskriminasi. Konsep negara hukum memberikan jaminan terhadap tegaknya supremasi hukum dalam arti tidak boleh terjadi kesewenang- wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum, kedudukan yang sama dihadapan hukum baik terhadap rakyat maupun pejabat, dan terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan. Hal ini sejalan dengan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Dalam rangka menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum tersebut, maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Bantuan hukum ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan kepada masyarakat khususnya Orang Miskin atau Kelompok Orang Miskin yang berhadapan dengan hukum dengan mengamanatkan Kementerian Hukum dan HAM melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional sebagai penyelenggara program bantuan hukum.
Telah banyak sekali manfaat yang diperoleh dari lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum ini, baik dalam bentuk pendampingan litigasi dan non litigasi. Bantuan hukum litigasi diberikan kepada penerima bantuan hukum untuk mengimbangi kewenangan para penegak hukum dan melindungi hak-hak tersangka, terdakwa, atau terpidana dalam perkara pidana pada tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan; perkara perdata pada tahap gugatan dan persidangan; dan perkara tata usaha negara pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan persidangan. Sedangkan bantuan hukum nonlitigasi diberikan demi terciptanya masyarakat cerdas hukum dengan tersosialisasinya hak-hak setiap warga negara khususnya orang miskin ketika mendapatkan permasalahan hukum dan upaya untuk memberikan solusi atau pemecahan masalah hukum yang ada dalam masyarakat di luar pengadilan berupa konsultasi hukum, mediasi, dan beberapa kegiatan lainnya demi terwujudnya masyarakat yang berkekeluargaan tanpa harus selalu ke pengadilan.
Sesuai dengan perintah Undang- Undang Bantuan Hukum dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, organisasi yang dapat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada Orang Miskin atau Kelompok Orang Miskin wajib terlebih dahulu dilakukan verifikasi dan akreditasi. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (3) bahwa verifikasi dan akreditasi dilakukan setiap 3 (tiga) tahun, maka sejak diundangkannya undang-undang ini, Kementerian Hukum dan HAM melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional telah melaksanakan 3 (tiga) kali kegiatan periode verifikasi dan akreditasi. Untuk periode tahun 2013-2015 terdapat 310 PBH terverifikasi dan terakreditasi, selanjutnya untuk periode tahun 2016-2018 terdapat 405 PBH dan untuk periode tahun 2019- 2021 terdapat 524 PBH.
Verifikasi dan akreditasi yang dilaksanakan pada akhir tahun 2018 menjaring 192 PBH yang baru dari 864 organisasi yang mendaftar. Selain itu dilakukan pula akreditasi ulang terhadap 405 PBH lama (periode tahun 2016-2018) dan yang dinyatakan layak lanjut sebagai Pemberi Bantuan Hukum periode selanjutnya sebanyak 332 organisasi. Sehingga total organisasi yang layak sebagai Pemberi Bantuan Hukum dan dapat mengakses anggaran bantuan hukum periode tahun 2019-2021 sebanyak 524 PBH yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor : M.HH-01.HH.07.02 TAHUN 2018 tentang Lembaga/Organisasi Bantuan Hukum yang Lulus Verifikasi dan Akreditasi sebagai Pemberi Bantuan Hukum Periode Tahun 2019 s.d. 2021. Jumlah tersebut meningkat 30% lebih banyak dibandingkan periode akreditasi pada tahun sebelumnya yang hanya 405 PBH.
Terlepas dari berbagai prestasi yang diberikan oleh program bantuan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Bantuan Hukum, terdapat juga beberapa kekurangan yang mesti segera dibenahi. Hal ini sebagaimana tampak dalam statistik diatas, sebaran Pemberi Bantuan Hukum saat ini menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanaan bantuan hukum, masih terlihat beberapa provinsi memiliki jumlah PBH yang minim. Disamping itu berdasarkan data yang ada, mayoritas PBH pun hanya terkonsentrasi di ibukota provinsi, sehingga tidak menjangkau sampai ke tingkat kabupaten/kota. Bahkan saat ini hanya terdapat 215 kabupaten/kota yang memiliki PBH dari 514 keseluruhan kebupaten/kota se-Indonesia.
Menyikapi kendala ini, BPHN mengarahkan PBH untuk menunjuk rekan advokat yang berdomisili di kabupaten/kota untuk berafiliasi dengan PBH terverifikasi dan terakreditasi dengan menggunakan surat penunjukan dari Direktur/Ketua PBH terakreditasi, hal itu diharapkan dapat memperluas pemberian bantuan hukum untuk orang miskin atau kelompok orang miskin di tingkat kabupaten/kota.
Selain permasalahan sebaran PBH, beberapa hal yang juga menjadi perhatian yaitu pelaksanaan bantuan hukum itu sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam hukum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Bantuan Hukum, terdapat juga beberapa kekurangan yang mesti segera dibenahi. Hal ini sebagaimana tampak dalam statistik diatas, sebaran Pemberi Bantuan Hukum saat ini menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanaan bantuan hukum, masih terlihat beberapa provinsi memiliki jumlah PBH yang minim. Disamping itu berdasarkan data yang ada, mayoritas PBH pun hanya terkonsentrasi di ibukota provinsi, sehingga tidak menjangkau sampai ke tingkat kabupaten/kota. Bahkan saat ini hanya terdapat 215 kabupaten/kota yang memiliki PBH dari 514 keseluruhan kebupaten/kota se-Indonesia.
Pasal 3 Undang-Undang Bantuan Hukum bahwa penyelenggaraan bantuan hukum bertujuan untuk: (1) menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; (2) mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; (3) menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan (4) mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam tujuan penyelenggaraan bantuan hukum tersebut terdapat beberapa fokus perhatian, baik secara substansi maupun teknis penyelenggaraan. Bantuan hukum dinilai belum memberikan akses keadilan yang sama bagi seluruh warga negara khususnya kelompok rentan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 bahwa Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin dan lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 5 bahwa Penerima Bantuan Hukum meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yang mana hak dasar sebagaimana dimaksud meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.
Kelompok rentan, misalnya perempuan dan anak, kerap menjadi korban kekerasan. Catatan akhir tahun 2019 Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), di tahun 2018, terdapat peningkatan sebanyak 406.178 kasus kekerasan pada perempuan dilaporkan, naik sekitar 14% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam catatan akhir tahun tersebut, ranah yang paling berisiko terjadinya kekerasan terhadap perempuan yaitu kekerasan dalam ranah personal, yaitu diantaranya perkawinan atau dalam rumah tangga (KDRT). Sementara itu, catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) menerima 4.885 aduan kasus terkait anak di tahun 2018. Jumlah-jumlah tersebut di atas belum termasuk kekerasan yang terjadi tanpa dilaporkan ke instansi terkait maupun penegak hukum. Belum lagi dengan kelompok rentan lainnya seperti disabilitas, lansia dan sebagainya.
Pelaksanaan bantuan hukum saat ini lebih diprioritaskan pada pendampingan litigasi dan alokasi pembiayaan tersebut digunakan untuk pendampingan bagi pelaku. Sedangkan bagi korban, sementara ini bantuan hukum yang diberikan berbentuk kegiatan-kegiatan non litigasi seperti konsultasi hukum dan pendampingan di luar pengadilan yang besaran biayanya tidak cukup besar. Maka dukungan bantuan hukum bagi korban seringkali hanya melingkupi sampai tahap pelaporan atau pemeriksaan di tingkat kepolisian, padahal seharusnya bisa melingkupi sampai masalah non penanganan perkara seperti tahap pemulihan dan akses kebutuhan khusus untuk beberapa kasus tertentu, seperti rehabilitasi psikologi, konseling, rumah aman, dan lain sebagainya. Belum lagi jika kelompok rentan ini kesulitan didalam memperoleh Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang menjadi syarat memperoleh bantuan hukum, maka perlu dipikirkan kembali penyederhanaan prosedur memperoleh SKTM dengan memperhatikan kelompok rentan.
Persoalan lainnya adalah mengenai ruang lingkup kegiatan bantuan hukum. Undang-Undang Bantuan Hukum membagi ruang lingkup kegiatan meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Adapun lebih lanjut di dalam Pasal 16 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum disebutkan bahwa pemberian bantuan hukum secara non litigasi meliputi kegiatan: (1) penyuluhan hukum; (2) konsultasi hukum; (3) investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik; (4) penelitian hukum; (5) mediasi; (6) negosiasi; (7) pemberdayaan masyarakat; (8) pendampingan di luar pengadilan; dan/atau (9) drafting dokumen hukum.
Dari Pasal 16 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, terlihat bahwa kegiatan konsultasi hukum selama ini menjadi salah satu bagian dari kegiatan non litigasi, padahal pada kenyataannya kegiatan konsultasi hukum ini selalu menjadi langkah awal (pra penanganan) dari seluruh kegiatan bantuan hukum, baik litigasi maupun non litigasi. Selanjutnya untuk hal-hal berkaitan dengan perkara yang telah selesai pendampingannya (pasca penanganan perkara), bagaimana memastikan bahwa eksekusi putusan pengadilan dijalankan oleh masing-masing pihak, khususnya dalam perkara perdata seperti aanmaaning, sita jaminan, lelang dan lain sebagainya, karena sebenarnya PBH memiliki kewajiban untuk mendampingi hingga perkara hukumnya selesai. Sebuah perkara hukum dinilai selesai apabila eksekusi putusan dijalankan sesuai dengan isi putusan.
Dalam hal lainnya, akses keadilan bagi masyarakat miskin atau kelompok rentan juga dibutuhkan pada saat hak-hak konstitusionalnya dilanggar oleh suatu peraturan perundang-undangan. Bantuan hukum dalam litigasi saat ini memang sudah meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha, namun tidak untuk judicial review, hak uji materiil. Terhadap pengujian sebuah aturan sudah seharusnya masyarakat miskin dan kelompok rentan juga memiliki kesempatan yang sama untuk memperjuangkan haknya, apalagi hal ini juga terkait dengan beban biaya administrasi judicial review itu sendiri.
Terhadap permasalahan- permasalahan tersebut, perlu kiranya untuk segera mewujudkan integrasi, konsolidasi dan sinergi kebijakan dan pelaksanaan program bantuan hukum diantara para pemangku kepentingan, baik secara substansi terkait kebijakan maupun teknis penyelenggaraan. Namun tentunya sinergi ini akan lebih mudah terwujud apabila tertuang dalam sebuah norma dalam undang-undang yang lebih ideal untuk menyempurnakan beberapa kekurangan selama ini. Misalnya mengenai peran pemerintah daerah yang mungkin tidak hanya dalam hal alokasi anggaran bantuan hukum saja tetapi juga membantu mempersiapkan dan meningkatkan kapasitas lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan dalam setiap periode pelaksanaan verifikasi dan akreditasi atau integrasi yang mungkin dapat dilakukan antara pemangku kepentingan terkait dalam hal kelompok rentan yang kesulitan memperoleh dokumen administrasi sebagai persyaratan bantuan hukum.
Tinggalkan Balasan