RELEVANSI PRINSIP HUKUM ENERGI DAN MASA DEPAN PENGGUNAAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA

RELEVANSI PRINSIP HUKUM ENERGI DAN MASA DEPAN PENGGUNAAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA – Peristiwa blackout yang terjadi dibeberapa wilayah Pulau Jawa pada 4 Agustus 2019 mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Padamnya aliran listrik pada akhir pekan tersebut membuat banyak kegiatan perekonomian lumpuh dan terhenti. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan kerugian yang dialami dunia usaha mencapai angka Rp 200 Miliar lebih. Kejadian tersebut kembali menyadarkan banyak orang akan pentingnya energi listrik dalam kehidupan, dalam banyak hal bahkan mencapai tahap ketergantungan. Ketiadaan pasokan listrik dapat dipastikan akan menghambat banyak kegiatan yang dilakukan, mulai dari rutinitas sehari-hari hingga aktivitas perekonomian, transportasi hingga telekomunikasi akan sangat sulit dilakukan tanpa adanya energi listrik.

Menurut data yang dirilis oleh Kementerian ESDM (2019), tingkat konsumsi listrik secara nasional mengalami peningkatan yang signifikan selama 5 tahun terakhir. Pada tahun 2014, konsumsi listrik mancapai 878 kWh/Kapita, jumlah tersebut mengalami lompatan yang signifikan pada paruh pertama tahun 2019 menjadi 1.071 kWh/Kapita. Hal tersebut terjadi karena meningkatnya akses masyarakat terhadap elektrifikasi dan juga adanya pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya konsumsi listrik secara nasional harus disertai dengan peningkatan produksi energi listrik yang dihasilkan oleh pembangkit baik yang dimiliki oleh PLN ataupun perusahaan swasta. Hal yang wajib diperhatikan dari produksi listrik dari pembangkit tersebut adalah sumber energi primer yang digunakan untuk menghasilkan listrik.

Data bauran energi primer yang digunakan oleh pembangkit listrik menunjukkan bahwa penggunaan batubara sebanyak 61,85%, Gas 21,12%, Bahan Bakar Minyak dan Bahan Bakar Nabati 4,32%, serta energi baru dan terbarukan 12,71% (Publikasi 5 Tahun Kinerja KESDM, 2019:27). Dapat disimpulkan bahwa 87,29% sumber energi primer yang digunakan dalam pembangkit adalah energi tak terbarukan (energi fosil). Artinya bahwa untuk memenuhi permintaan akan pasokan listrik yang semakin meningkat, maka ektraksi terhadap sumber daya alam tak terbarukan juga akan semakin masif. Jika tidak disertai dengan kebijakan energi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU Energi) sebagai dasar hukum utama kebijakan energi nasional telah menetapkan asas dan tujuan pengelolaan energi yaitu kemanfaatan, rasionalitas, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional. Secara konsisten prinsip tersebut juga dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN), dalam PP tersebut prinsip kebijakan pengelolaan energi adalah berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna menciptakan kemandirian dan ketahanan energi nasional. Prinsip hukum energi yang dianut oleh UU Energi dan PP KEN tersebut relevan dengan berbagai studi yang dilakukan oleh para ahli hukum energi, khususnya di negara yang menggunakan energi baru dan terbarukan sebagai energi primer dengan masif. Prest dan Soutter (2018: 809) mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian para ahli, terdapat inti prinsip hukum energi yang sangat penting, yaitu perlindungan terhadap lingkungan, kesehatan manusia, melawan perubahan iklim, ketahanan dan keandalan energi.

Pendapat lain dikemukakan oleh Heffron, Rønne, Tomain, Bradbrook, dan Talus (2018: 40) yang mengungkapkan tujuh prinsip dalam hukum energi, yaitu prinsip kedaulatan sumber daya nasional, prinsip akses terhadap layanan energi modern, prinsip keadilan energi, prinsip kehati-hatian, rasional, dan keberlanjutan dalam penggunaan sumber daya alam, prinsip perlindungan terhadap lingkungan, kesehatan manusia, dan melawan perubahan iklim, serta prinsip keamanan, keandalan dan ketahanan energi. Eksistensi prinsip hukum energi tersebut bisa dilacak dari prinsip hukum lingkungan internasional yang terlebih dahulu ada dan diakui oleh banyak negara di dunia melalui konvensi dan perjanjian internasional yang disepakati, khususnya terkait perlindungan lingkungan dan sumber daya alam.

Berdasarkan prinsip hukum energi, dapat dikatakan bahwa secara law in book baik UU Energi dan PP KEN telah sejalan dengan prinsip-prinsip hukum energi yang dianut secara universal oleh dunia internasional. Jika secara konsisten diimplementasikan maka menggunakan energi baru dan terbarukan sebagai sumber energi primer untuk pembangkit listrik adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Implementasi kewajiban tersebut bukan hanya dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai regulator, tetapi juga oleh BUMN, swasta dan masyarakat sebagai konsumen utama energi listrik. Mengubah sumber energi primer dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan bukanlah hal yang sederhana untuk dilakukan, meskipun mayoritas sumber energi primer berasal dari batubara, minyak dan gas bumi namun demikian data menunjukkan bahwa setiap tahun ada peningkatan yang cukup signifikan terkait penggunaan energi baru dan terbarukan sebagai sumber energi primer. Hingga tahun 2018, kapasitas terpasang pembangkit listrik yang menggunakan panas bumi sebagai energi primer tercatat sejumlah 1.948,3 MW sedangkan kapasitas terpasang energi alternatif lain seperti angin, surya, dan air tercatat sejumlah 753,3 MW dan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga bioenergi sejumlah 1.882,8 MW (Publikasi 5 Tahun Kinerja KESDM, 2019: 32).

Upaya meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan sebagai energi primer pembangkit listrik juga sebagai langkah Indonesia mengimplementasikan UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim). Dengan meningkatnya penggunaan energi baru dan terbarukan sebagai energi primer maka akan semakin mengurangi penggunaan energi fosil terutama batubara sebagai energi utama pembangkit listrik. Pengurangan penggunaan batubara akan berdampak signifikan terhadap penurunan emisi CO2, pada tahun 2018 Indonesia telah menurunkan emisi CO2 menjadi 43,8 Juta Ton.

Konsistensi penerapan prinsip hukum energi dan implementasinya secara cukup optimal dapat dipelajari dari Jerman. Undang-Undang Sumber Daya Energi Terbarukan (Erneurbare Ernegien Gesetz) yang dibentuk pada tahun 2000 menjadi produk hukum utama dalam mengarusutamakan penggunaan energi baru dan terbarukan (Luc Pelkmans, Ed, 2018: 2). Data Bauran energi di Jerman tahun 2018 menunjukkan bahwa penggunaan energi fosil sebanyak 48,8% dan energi baru dan terbarukan (termasuk nuklir) sebanyak 51,2% (Renewable Anergies Agency, 2019: 5).

Jerman mungkin bukan negara yang sempurna untuk dijadikan model dalam penggunaan energi baru dan terbarukan, namun demikian Indonesia harus terus berupaya agar target bauran energi 2025 seperti yang diamanatkan PP KEN tercapai dengan baik. Prinsip hukum energi yang diakui secara umum oleh dunia internasional dan yang sebagian telah ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia perlu diarusutamakan, khususnya dalam regulasi yang ditetapkan Menteri atau Pemerintah Daerah. Menggunakan energi baru dan terbarukan sebagai energi primer pembangkit memang tidak akan menjamin ketiadaan blackout dimasa yang akan datang, tetapi penggunaan energi tersebut jika dilaksanakan sesuai tujuh prinsip hukum energi sangat mungkin akan menjaga ketersediaan energi bersih yang melimpah bagi generasi mendatang.

Categories:

Tinggalkan Balasan