URGENSI PEMBENTUKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEJABAT NEGARA – Apakah itu pejabat negara? Pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung. Sebagai contoh pejabat Negara adalah anggota DPR, Presiden, dan Hakim. Pejabat- pejabat tersebut menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara. Namun definisi tersebut bukanlah definisi undang-undang melainkan kesimpulan dengan dari sejumlah jabatan yang dikategorikan sebagai pejabat negara. Definisi ini muncul karena sejatinya pada saat ini tidak ada satupun undang-undang yang ada mendifinisikan secara pasti apa itu pejabat negara.
Tidak adanya landasan hukum yang dapat menjadi acuan mana yang dikategorikan sebagai pejabat negara dan mana yang bukan justru menimbulkan kerancuan dalam bernegara. Kerancuan itu muncul karena pada kondisi saat ini ada juga jabatan lain yang dimiliki oleh lembaga negara namun tidak memiliki status yang jelas sebagai contoh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) ataupun anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atau juga Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adapun beberapa hal yang menujukkan betapa pentingnya ada landasan hukum yang jelas mengapa perlu ada undang-undang tentang pejabat negara adalah sebagai berikut:
Acuan Jabatan Pejabat Negara Mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN)
Definisi pejabat negara dalam UU ASN memang tidak ada namun ada klasifikasi pejabat negara di UU ASN yang dimuat dalam Pasal 122. Namun demikian hal ini menimbulkan kerancuan tersendiri ketika ada kebutuhan mengklasifikasikan jabatan tertentu tapi mengacunya ke dasar hukum dari aparatur sipil negara, hal ini akan jelas berbeda bilamana ada undang-undang khusus yang mengatur mengenai hal tersebut.
Problematika Hakim Pejabat Negara di Pasal 122 UU ASN
Bahwa Pasal 122 UU ASN memang betul telah mengklasifikasikan pejabat negara namun kemudian muncul persoalan berikutnya, misalnya di Pasal 122 huruf e, disebutkan bahwa “Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc. Memang posisi hakim memang dapat dilihat sebagai “Wakil Tuhan” di dunia sehingga membutuhkan keahlian dan tanggung jawab yang khusus. Jabatan hakim memang begitu penting karena peranannya yang menentukan nasib seseorang atau bahkan kelompok tertentu. Ketika tanggung jawab besar dimiliki oleh hakim sebagai suatu jabatan profesi memang dimaklumi perlu adanya jaminan fasilitas ataupun hak yang sebanding untuk didapatkan. Namun demikian, ketika statusnya diposisikan sebagai pejabat negara maka perlu ada hal yang diluruskan yakni bagaimana status dari seorang pegawai negeri sipil (PNS) bisa menjadi pejabat negara, karena jika dibandingkan dengan jabatan pejabat negara ladin yang ada di Pasal 122 UU ASN jelas berbeda. Pejabat negara lain dalam pasal tersebut umumnya didapatkan melalui jalur pemilihan yang sifatnya politis bukan karir PNS.
Hingga saat ini terkait dengan status pejabat negara yang diberlakukan bagi setiap hakim memang memilki acuan yakni Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU PPK). Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Nomor. 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim dinyatakan bahwa mengenai jabatan hakim sebagai pejabat negara yang mana disisi oleh PNS dengan jabatan tertentu atau pejabat negara tertentu yang berstatus PNS. Konsekuensi lainnya yang timbul dari pengaturan ini menjadikan PNS yang berprofesi sebagai hakim berstatus “ganda”, karena ketika calon hakim diangkat sebagai hakim, status PNS yang dimiliki olehnya masih melekat pula. Adanya problematika ini perlu mendapatkan solusi kedepannya agar diluruskan mengenai status pejabat negara ini apakah layak hakim mendapatkan status tersebut bagaimana kalau lebih baik hak-hak yang mereka dapatkan saja yang ditingkatkan tidak perlu statusnya. Lebih lanjut lagi bagimana dengan hakim ad hoc? mengapa di Pasal 122 UU ASN tersebut dikecualikan, sedangkan tanggungjawabnya sebagai “Wakil Tuhan” pun serupa.
Anggota DPRD sebagai Pejabat Daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda)
Berdasarkan UU Pemda, misalnya dalam Pasal 95 ayat (2) UU Pemda disebutkan bahwa “Anggota DPRD provinsi adalah pejabat Daerah provinsi”. Hal yang sama juga ada di Pasal 148 ayat (2) UU Pemda bahwa “Anggota DPRD kabupaten/kota adalah pejabat Daerah kabupaten/kota”. Hal ini menimbulkan beragam pertanyaan, seperti misalnya, pertama apa itu pejabat daerah? tidak ada definisi undang-undang mengenai hal ini, kedua bagaimana mungkin anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai pejabat daerah sedangkan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dalam Pasal 122 UU ASN disebut sebagai pejabat negara. Padahal dalam UU Pemda disebutkan keduanya merupakan mitra yang sejajar, apakah bisa sejajar ketika keduanya berbeda status? begitu juga dengan perbedaan status ini bagaimana peran check and balances bisa optimal? Belum lagi DPRD yang lahir dari Pemilu sesuai amanat konstitusi di Pasal 22E ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Ketika di pasal tersebut dinyatakan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, lalu mengapa hanya DPRD saja yang pejabat daerah? mengapa berbeda dengan DPR, DPD, dan Presiden serta Wakil Presiden padahal sama-sama dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu)? Oleh karena itu perlu ada status yang jelas bagi DPRD mengingat konstitusi telah menyebut jabatan tersebut secara jelas.
Tidak Jelasnya Status pejabat pada Komisioner dan Badan
Pasal 122 UU ASN tidak menjelaskan status pejabat pada Komisioner atau Badan, padahal dalam Pasal 122 UU ASN ada pejabat komisi juga yakni Komisi Yudisial yang disebut sebagai pejabat negara. Bagaimana KPU dan Bawaslu bisa bekerja dengan dasar uang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) namun statusnya tidak jelas, pejabat negara bukan pejabat daerah juga apalagi namun kerja-kerja mereka melahirkan pejabat negara seperti anggota DPR, DPD, dan Presiden serta Wakil Presiden, begitu juga DPRD. Belum lagi KPK yang status pejabatnya juga tidak jelas sedangkan KPK dapat begitu saja menangkap oknum-oknum tertentu yang diduga melakukan pelanggaran tindak pidana korupsi, padahal yang ditangkap tersebut adalah pejabat negara.
Hal-hal tersebut diatas hanyalah sedikit dari banyak hal yang merupakan kerumitan tidak jelasnya status pejabat negara yang ada saat ini. Dampak dari itu semua adalah banyak hal seperti misalnya protokoler, keuangan, juga peran kerjanya sebagai lembaga yang dapat menjalankan amanah undang-undnag. Jika saja ada suatu landasan hukum dalam bentuk undang-undang yang dapat menjadi paying hukum dari semua rumpun jabatan tersebut maka kedepannya jabatan- jabatan tersebut niscaya kana lebih maksimal bekerja demi negara. Dengan demikian terkait dengan kebutuhan hukum akan adanya undang-undang mengenai pejabat negara ini maka perlu kiranya kedepan dibentuk undang-undang khusus mengenai pejabat negara.
Tinggalkan Balasan