URGENSI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH – Indonesia merupakan negara yang menganut sistem otonomi daerah dalam menjalankan sistem pemerintahannya dan hal ini tercermin dalam Pasal 18 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap- tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Dalam menjalankan otonomi daerah pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah masuk dalam klasifikasi urusan pemerintahan konkuren yang dibagi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah telah menimbulkan adanya hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah salah satunya yaitu pemberian sumber penerimaan daerah yang berupa pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana tercantum dalam Pasal 279 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Pemberian sumber penerimaan daerah berupa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu kebijakan desentralisasi fiskal yang ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan dan pemberdayaan kepada masyarakat, meningkatkan daya saing daerah, dan kemandirian daerah.
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber keuangan daerah dan masuk dalam kategori Pendapatan Asli Daerah (PAD). Saat ini pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah diatur dalam Undang-
Pertama, selama berlakunya UU tentang PDRD terdapat beberapa kali permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dan dari beberapa permohonan yang diajukan tedapat 4 (empat) permohonan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi yakni:
a. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2011
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan kata “golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g UU tentang PDRD bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Salah satu pertimbangan hukum mahkamah untuk mengabulkan permohonan ini karena golf merupakan salah satu jenis olahraga prestasi yang dipertandingkan baik dalam tingkat nasional maupun internasional. Selain itu permainan golf ada juga yang tidak untuk tujuan prestasi melainkan untuk tujuan kesehatan, rekreasi, dan lain- lain. Oleh karena itu, golf tidak dapat dikelompokkan sebagai sebuah hiburan dan dikenai sebagai objek pajak hiburan.
b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XII/2014
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XII/2014 mengabulkan seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 124 UU tentang PDRD terkait formulasi penghitungan tarif retribusi menara telekomunikasi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah menyatakan bahwa pengenaan tarif retribusi menara telekomunikasi yang memberikan batas maksimal 2% dari NJOP tanpa disertai dengan sistem penghitungan yang jelas tidak memberikan kepastian hukum yang akan menyebabkan ketidakadilan dalam penerapannya.
c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XV/2017
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa Pasal 1 angka 13 UU tentang PDRD sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen”, Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar”, Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU tentang PDRD bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangan hukumnya Mahamah Konstitusi menyatakan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XIII/2015 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan “alat berat” tidak termasuk ke dalam pengertian kendaraan bermotor. Dalam rangka menghindari terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanannya maka terhadap alat berat dan alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen dalam UU tentang PDRD tidak boleh dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor karena alat berat dan alat besar bukan merupakan kendaraan bermotor. Oleh karena itu agar alat berat tetap dapat dikenakan pajak maka dibutuhkan dasar hukum baru dalam perubahan UU tentang PDRD yang mengeluarkan alat berat dan alat besar dari Pajak Kendaraan Bermotor.
Selain itu dalam pertimbangan hukum dan amar putusannya Mahkamah memberikan tenggang waktu 3 (tiga) tahun kepada pembentuk undang- undang untuk melakukan perubahan UU tentang PDRD. Tenggang waktu ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kekosongan hukum tentang pengenaan pajak terhadap alat berat. Selama belum diundangkannya perubahan UU tentang PDRD maka alat berat tetap dapat dikenakan pajak sampai dengan 19 September 2020 berdasarkan UU tentang PDRD. Apabila dalam tenggang waktu tersebut belum dilakukan perubahan terhadap UU tentang PDRD maka Pemerintah Daerah tidak dapat mengenakan Pajak Kendaraan Bermotor terhadap alat berat dan alat besar.
d. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan menyatakan bahwa Pasal 1 angka 28,
Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU tentang PDRD adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain tetap dapat dikenai pajak atau dengan kata lain tetap dapat dijadikan sebagai objek pajak, namun pengenaan pajaknya harus diatur dalam undang-undang dengan nomenklatur atau istilah yang lebih tepat agar tidak menimbulkan kerancuan maupun kebingungan bagi masyarakat terutama subjek pajak dan wajib pajak. Selain itu dalam petimbangan hukum dan amar putusan mahkamah menyatakan bahwa untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum dalam pengenaan pajak,
Kedua, UU tentang PDRD telah membagi jenis retribusi menjadi 3 (tiga) yakni retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan perizinan tertentu. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan telah menghapuskan retribusi penggantian biaya cetak KTP dan Akta Catatan Sipil. Penghapusan retribusi ini menimbulkan akibat hukum perlu dilakukan penyesuaian dan perubahan terhadap jenis retribusi jasa umum yang terdapat dalam UU tentang PDRD karena retribusi penggantian biaya cetak KTP dan Akta Catatan Sipil termasuk dalam jenis retribusi jasa umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 110 ayat (1) huruf c UU tentang PDRD.
Ketiga, dalam UU tentang PDRD diatur mengenai evaluasi Raperda Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur yang diatur dalam Pasal 157. Namun dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah memberikan kewenangan kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk melakukan evaluasi Raperda dan Perda berdasarkan Pasal 249 ayat (1) huruf j. Jadi kewenangan untuk melakukan evaluasi Raperda Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota menjadi kewenangan DPD, Menteri Dalam Negeri, dan Gubernur.
Keempat, Pasal 158 UU tentang PDRD mengatur mengenai pembatalan Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Pembatalan perda terkait pajak daerah dan retribusi daerah diajukan melalui Menteri Dalam Negeri. Namun dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 maka Menteri Dalam Negeri tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam pertimbangan hukumnya mahkamah berpendapat bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945, pengujian atau pembatalan Perda menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung. Hal ini dapat dimaknai bahwa Pembatalan Perda Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi daerah saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Berdasarkan uraian diatas maka diketahui terdapat beberapa putusan mahkamah konstitusi yang tidak selaras antara pertimbangan hukum mahkamah dengan amar putusannya seperti dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XV/2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017. Ketidakselarasan ini akan menimbulkan perbedaan penafsiran dan kebingungan di masyarakat dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan pemerintah daerah maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU tentang PDRD dengan mempertimbangkan beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi dan dengan melakukan harmonisasi serta sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan terkait agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan.
Tinggalkan Balasan