PERKEMBANGAN FORMULASI ASAS LEGALITAS DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA

PERKEMBANGAN FORMULASI ASAS LEGALITAS DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA –

Hukum Pidana

Patut untuk diketahui bersama, bahwa asas legalitas merupakan salah satu asas fundamental dalam hukum pidana. Asas ini pada mulanya diperkenalkan oleh Anselm von Feuerbach, seorang pakar hukum pidana Jerman yang merumuskan asas legalitas dengan mantap dalam bahasa latin:

1). nulla poena sine crimine: tiada pidana tanpa perbuatan pidana;

2). nulla poena sine lege: tiada pidana tanpa adanya undang-undang;

3). nulla crime sine poena legali: tiada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang (Jaya, 2004: 21-22).

Meskipun rumus itu dalam bahasa latin, namun menurut Andi Hamzah ketentuan tersebut tidaklah berasal dari hukum romawi. Hukum romawi tidak mengenal asas legalitas, baik pada masa republik maupun sesudahnya. Rumusan asas legalitas tersebut, dibuat oleh Anselm von Feuerbach (1775-1833) di dalam bukunya “Lehrbuch des peinlichen Rechts” pada Tahun 1801. Jadi, merupakan produk ajaran klasik pada permulaan abad kesembilan belas. (Hamzah, 2008: 40). Berbicara mengenai asas legalitas, maka sudah barang tentu timbul 1 pertanyaan mendasar, yakni apakah hakikat masalah yang terkandung dalam asas legalitas? Terkait hal itu, Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa pada hakikatnya asas legalitas mengatur tentang 2 masalah dasar berikut ini: 1). Masalah ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu; 2). Masalah sumber/dasar hukum (dasar legalisasi) dapat dipidananya suatu perbuatan, jadi sebagai ”dasar kriminalisasi atau landasan yuridis pemidanaan”(Arief, 2018: 5).

Sehingga dengan bertitik tolak pada 2 masalah dasar tersebut, maka tulisan ini terfokus dan menyoroti perkembangan formulasi asas legalitas dilihat sebagai sumber/dasar hukum (dasar legalisasi) dapat dipidananya suatu perbuatan menurut ketentuan sistem pemidanaan dalam hukum pidana positif Indonesia (KUHP/WvS) dan hukum pidana di masa depan (Konsep RUU KUHP).

Secara   yuridis   menurut  ketentuan hukum   pidana   positif    Indonesia,   asas legalitas terletak di Buku I KUHP/WvS tentang ”aturan umum” (General Rules). Namun yang patut digaris bawahi adalah, bahwa ”aturan umum” (General Rules) yang yang ada dalam Buku I KUHP/WvS itu sendiri merupakan sub-sistem dalam sistem pemidanaan substantif di Indonesia, sekaligus sebagai induk atau pusat/sentral dari keseluruhan sistem pemidanaan di Indonesia saat ini. Sehingga wajar sekali, bahwa asas legalitas juga menjadi salah satu asas induk/pusat/sentral dalam sistem pemidanaan di Indonesia.

Selanjutnya patut dikemukakan, bahwa dasar hukum yang mengatur mengenai asas legalitas ialah terlihat dalam ketentuan formulasi Pasal 1 ayat (1) KUHP/WvS yang menentukan bahwa: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.

Berdasarkan ketentuan formulasi asas legalitas tersebut, diberikanlah analisis bahwa sumber/dasar hukum untuk mengangkat atau menetapkan suatu perbuatan yang awalnya perbuatan biasa menjadi perbuatan yang dapat dipidana/tindak pidana adalah hanya Undang-Undang. Oleh karena itulah, asas legalitas dalam pengertian. menurut

KUHP/WvS tersebut dikenal dengan sebutan asas legalitas formal.

Dengan perumusan asas legalitas formal tersebut, maka patut dikemukakanlah pandangan D. Schaffsmeister, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius sebagaimana telah diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy yang pada intinya menyatakan, bahwa asas legalitas sebagaimana karakteristik aslinya mengandung 7 aspek berikut ini: 1). Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang- undang; 2). Tidak ada penerapan undang- undang pidana berdasarkan analogi; 3). Tidak dipidana hanya berdasarkan kebiasaan; 4). Tidak boleh ada rumusan delik yang kurang jelas; 5). Tidak ada kekuatan surut dari undang-undang; 6). Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan dalam undang-undang; 7). Penuntuan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang (Sahetapy, 1995: 6-7).

Selanjutnya berkaitan dengan rumusan asas legalitas formal itu, maka patut juga dikemukakanlah pandangan Sudarto mengenai konsekuensi yuridis rumusan asas legalitas dalam KUHP/WvS tersebut, yakni ”perbuatan seseorang yang tidak tercantum  dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapat dipidana. Jadi dengan adanya asas ini, hukum yang tak tertulis tidak berkekuatan untuk diterapkan. Pengecualian terhadap hal ini adalah, bahwa di daerah-daerah yang dulu termasuk kekuasaan Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat masih diterapkan hukum yang hidup (hukum adat) dengan pembatasan-pembatasan tertentu” (Sudarto, 2009: 36).

Perkembangan   selanjutnya   bahwa formulasi asas legalitas sebagai sumber/dasar hukum (dasar legalisasi) dapat dipidananya suatu perbuatan yang diatur di Pasal 1 ayat (1) KUHP/WvS, dalam penyusunan Konsep RUU KUHP 2019 (selanjutnya dibaca konsep) diperluas ke dalam 2 buah pasal. Pasal 1 ayat (1) KUHP/WvS diformulasikan kembali dalam Pasal 1 Konsep, sementara formulasi pasal yang baru ada di Pasal 2 Konsep. Untuk lebih jelasnya, perumusan itu disandingkan sebagai berikut:

KUHP (WVS)

Pasal 1

(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan

KONSEP RUU KUHP 2019

Pasal 1

(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

Pasal 2

(1)  Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang itu.

(2)  Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui oleh masyarakat beradab.

Berdasarkan sandingan formulasi asas legalitas di atas, tampak formulasi Pasal 1 ayat (1) KUHP/WvS hakikatnya identik dengan formulasi Pasal 1 ayat (1) Konsep meskipun ada sedikit modifikasi, yakni rumusan konsep sudah berorientasi pada ide double track system (tercermin dari formulasi kata ”pidana dan/atau tindakan”), sementara KUHP/WvS sekarang ini tidak secara eksplisit/tegas berorientasi pada ide double track system (tercermin dari kata ”pidana”).

Kendatipun demikian, hakikatnya makna asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) Konsep dan Pasal 1 ayat (1) KUHP/WvS adalah sama, yakni sama-sama merupakan asas legalitas dalam pengertian formal yang merumuskan bahwa sumber/dasar hukum untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana didasarkan pada Undang-Undang. Menariknya, terdapat suatu hal baru yang tidak terdapat dalam KUHP/WvS saat ini dan ada di rumusan Konsep, yaitu hal baru tersebut sebagaimana dikatakan sebelumnya adalah dengan munculnya pasal baru (Pasal 2 Konsep).

Analisisnya adalah bahwa menurut Pasal 2 ayat (1) Konsep, sumber/dasar hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang didasarkan pada asas legalitas formal (berdasarkan UU sebagaimana dimaksud pasal 1 ayat (1) Konsep) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang itu. Oleh karena itulah, Pasal 2 ayat (1) Konsep disebut sebagai asas legalitas dalam pengertian materiel/ asas legalitas materiel, yang memberikan tempat kepada “hukum yang hidup/ hukum tidak tertulis” sebagai dasar kriminalisasi atau landasan yuridis pemidanaan.

Berikutnya patut dikemukakan, bahwa menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Konsep, yang dimaksud hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat. Hukum yang hidup dalam masyarakat di dalam pasal ini berkaitan dengan hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Di beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku dalam masyarakat tersebut, yang menentukan seseorang patut dipidana. Untuk memberikan dasar hukum berlakunya hukum pidana (delik adat), perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang berasal dari Peraturan Daerah masing-masing tempat berlakunya hukum yang hidup adat. Kompilasi ini memuat mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat yang dikualifikasi sebagai tindak pidana adat. Dan keadaan seperti ini tidak akan mengesampingkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam undang-undang ini.

Perlu dicermati, bahwa perluasan asas legalitas yang memberi tempat kepada hukum yang hidup sebagai sumber hukum ini, menurut pandangan Barda Nawawi Arief adalah didasarkan pada: 1). adanya berbagai kebijakan produk legislatif nasional setelah kemerdekaan; 2). kajian sosiologis mengenai “karakteristik” sumber hukum/asas legalitas menurut pandangan dan pemikiran orang Indonesia yang tidak terlalu formalistik dan terpisah- pisah/parsial; 3). berbagai hasil penelitian hukum adat; 4). kesepakatan ilmiah/seminar nasional; dan 5). berbagai hasil kajian komparatif dan dokumen/ statement pertemuan Internasional. (Arief, 2018: 33).

Bersesuaian dengan hal itu, Muladi mengemukakan pokok-pokok pikiran perubahan pemahaman asas legalitas, adalah berikut ini:

“Mengenai sumber/dasar hukum atau landasan legalisasi untuk menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana (menjadi tindak pidana) atau tidak, konsep tetap mempertahankan KUHP (WvS), namun diimbangi dan diperluas ke perumusan materiel yang memberi tempat kepada “hukum yang hidup atau hukum yang tidak tertulis. Lebih lanjut, Muladi juga menjelaskan arti penting pemahaman legalitas itu tidak hanya bersumber pada Undang-Undang (sumber formal) melainkan juga sumber hukum materiel (hukum yang hidup dari masyarakat) sebagai upaya untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat yang telah ada dan mengantisipasi kebutuhan hukum yang tidak dapat diakomodasi dengan baik oleh Undang-Undang” (Muladi et al, 2003: 6).

Memperhatikan berbagai konsepsi intelektual tersebut di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa “ide dasar” dari perumusan asas legalitas sebagai sumber/dasar hukum atau landasan legalisasi untuk menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana (menjadi tindak pidana) dalam perspektif Konsep adalah bertolak pada “ide keseimbangan”. Yakni keseimbangan antara asas legalitas formal dan asas legalitas materiel.

Walaupun Konsep memberi tempat kepada hukum yang hidup sebagai sumber hukum, namun Konsep juga memberi batas-batas berlakunya hukum yang hidup, yaitu sebagaimana telah diformulasikan dalam Pasal 2 ayat (2) berikut ini:

1). Hukum yang hidup tersebut berlaku dalam tempat itu hidup;

2). Hukum yang hidup tersebut sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini;

3). Sepanjang hukum yang hidup dalam masyarakat itu sesuai dengan: nilai-nilai Pancasila, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui oleh masyarakat beradab.

Patut dicatat, bahwa sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (2) yang dimaksud ”berlaku dalam tempat hukum itu hidup” adalah berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana adat di daerah tersebut. Sementara itu juga patut dicermati hal menarik lainnya, yakni formulasi frasa ”asas hukum umum yang diakui oleh masyarakat beradab” adalah bertolak  pada “rambu-rambu internasional” (mengacu pada istilah ”the general principles of law recognized by the community of nations”) sebagaimana termaktub dalam Pasal 15 ayat (2) ICCPR.

Akhirnya, dengan adanya formulasi Pasal 2 ayat (2) tersebut, diharapkan bisa menjadi kriteria atau rambu-rambu pedoman bagi hakim dalam menetapkan ”hukum pidana adat yang hidup dalam masyarakat” sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiel) yang keberlakuannya diakui oleh Undang- Undang ini.

Categories:

Tinggalkan Balasan