KONSTITUSIONALITAS CALON TUNGGAL DI PILKADA
7 min readKONSTITUSIONALITAS CALON TUNGGAL DI PILKADA – Kemelut soal pemberitaan pencalonan kepala daerah selalu menjadi topik hangat di setiap mendekati hari H perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pemberitaan soal tokoh siapa, partai pengusung mana hingga bakal calon perseorangan siapa yang akan bertarung merebut mahkota kepala daerah menjadi diskursus yang tidak berkesudahan dengan melihat cairnya langgam proses politik daerah itu sendiri.
Pada Pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015 muncul fenomena baru, di mana beberapa daerah yang melaksanakan Pilkada hanya mempunyai satu pasangan calon (baca: calon tunggal). Sehingga ada kemungkinan perayaan pesta demokrasi lokal kala itu harus tertunda, mengingat UU 8 tahun 2015 mensyaratkan bahwa Pilkada dapat berjalan apabila minimal ada dua pasangan calon yang bertarung. Kebuntuan demokrasi lokal ini sejatinya dapat mengancam hilangnya hak dipilih dan hak memilih warga daerah yang dijamin oleh Konstitusi jika tidak menemukan alternatif penyelesaian.
Potensi kebuntuan demokrasi lokal inilah yang melandasi lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.100/PUU- XIII/2015 yang membuka kran Pilkada dapat dilaksanakan kendati hanya ada calon tunggal yang bertarung melawan kolom kosong. Tentu saja putusan MK tersebut harus dibaca dalam konteks sebagai bentuk upaya MK untuk melindungi dan menjamin hak konstitusional warga daerah, khususnya hak untuk dipilih dan hak untuk memilih warga daerah di bidang politik yang tidak boleh diabaikan apabila ditiadakan hanya karena ketiadaan dua pasangan calon yang bertarung.
Terlebih kolom kosong tersebut bukanlah objek dari penyelenggaraan Pilkada, melainkan harus dimaknai sebagai subjek yang berkedudukan sebagai kontestan Pilkada melawan calon tunggal. Mengingat nilai filosofis yang dianut di sini adalah bahwa bagi warga daerah yang tidak setuju dengan calon tunggal yang telah ditetapkan KPU/KIP Provinsi, Kabupaten atau Kota (baca: KPU), maka warga daerah bisa mencoblos kolom kosong sebagai alternatifnya. Dengan demikian, unsur kompetisi sebagai ciri demokrasi tetap dapat terpenuhi, ketimbang memenangkan calon tunggal tersebut secara aklamasi yang justru mengingkari hakikat demokrasi melalui proses kompetisi.
Paska munculnya putusan MK tersebut, fenomena calon tunggal di setiap perhelatan Pilkada menunjukan tren peningkatan jumlah calon tunggal terus merangkak naik. Dari data yang penulis himpun, calon tunggal tersebut terlihat adanya peningkatan jumlah yakni dari angka 3 pada tahun 2015, 9 pada tahun 2017 dan 16 pada tahun 2018.
Dengan demikian, Indonesia telah memiliki pengalaman 28 kali melaksanakan Pilkada dengan calon tunggal melawan kolom kosong dengan tren yang selalu meningkat tiap periode Pilkada serentak. Adanya tren peningkatan Pilkada hanya dengan calon tunggal tersebut tentu menarik untuk dicermati, apalagi dengan kemenangan mutlak calon tunggal di beberapa daerah dan hanya pada Pilkada Makassar tahun 2018 kolom kosong menjadi pemenang.
Jika mencermati tren peningkatan yang cukup signifikan dari tahun 2015 sampai 2018, maka tidak menutup kemungkinan pada Pilkada serentak 2020 ini tren Pilkada hanya dengan calon tunggal juga mengalami peningkatan jumlah, terlebih pelaksanaan Pilkada 2020 yang dilaksanakan ditengah perkembangan covid-19 menjadi pertimbangan bagi bakal calon dalam melawan sang petahana yang diuntungkan melalui program bansos.
Faktor Pendorong Munculnya Calon Tunggal
Jika dicermati, secara garis besar setidaknya terdapat dua faktor yang mendorong munculnya calon tunggal. Pertama calon tunggal muncul sebelum adanya penetapan pasangan calon oleh KPU dan kedua calon tunggal muncul sesudah adanya penetapan pasangan calon oleh KPU.
Terkait faktor pertama, fenomena borongan partai politik atau koalisi gemuk untuk mengusung bakal pasangan calon menjadi penyebab utama munculnya calon tunggal yang didukung kekuatan finansial baik dari si pasangan calon maupun faktor orang kuat lokal (local strong men) yang menjadi pemerintah bayangan yang dapat mengkonsolidasikan partai politik untuk mendapatkan kursi dukungan penuh, khususnya koneksi di elit partai politik di tingkat pusat untuk mendapatkan rekomendasi (baca: surat sakti).
Gejala borongan partai politik atau koalisi gemuk yang ditopang oleh kekuatan finansial si pasangan calon dan faktor orang kuat lokal (local strong men) juga dibarengi dengan praktik mahar politik yang sudah menjadi pengetahuan umum, untuk mendapatkan dukungan perahu partai politik. Tentu saja praktik-praktik seperti ini akan sulit bagi calon yang tidak memiliki modal finansial yang cukup untuk mendapatkan dukungan partai politik tanpa kemampuan membayar mahar politik. Oleh karenanya, ungkapan lama tentang mahalnya biaya demokrasi selalu relevan hingga hari ini.
Berkenaan dengan praktik borongan partai politik atau koalisi gemuk serta mahar politik, secara bersamaan juga menunjukkan gagalnya partai politik dalam menjalankan fungsinya sebagai saran rekrutmen politik (Miriam Budiardjo, 2007). Fenomena borongan partai politik atau koalisi gemuk memunculkan pertanyaan mendasar, apakah partai politik tidak memiliki kader-kader terbaik partai yang dapat diajukan sebagai calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan daerah? ataukah partai politik lebih memilih tindakan pragmatis dengan mendukung calon yang memiliki kekuatan finansial dan didukung oleh orang kuat lokal (local strong men) agar mendapatkan akses kekuasaan di daerah?
Bahkan tidak hanya fenomena borongan partai politik atau koalisi gemuk serta praktik mahar politik yang mendorong lahirnya calon tunggal. Turut andil dalam melahirkan calon tunggal adalah beratnya syarat yang harus dipenuhi oleh bakal pasangan calon untuk maju menjadi calon kepala daerah. Pasal 40 ayat (1) UU 10 tahun 2016 menyebutkan bahwa syarat menjadi calon kepala daerah dari jalur partai politik harus memperoleh 20% jumlah kursi partai politik di DPRD atau 25% perolehan suara partai politik.
Sementara itu, dalam pasal 41 syarat berat juga dialami warga daerah yang ingin maju melalui jalur calon perseorangan (indenpenden). Seorang bakal calon kepala daerah harus mampu mengumpulkan salinan E-KTP 6,5% sampai 10% dari total jumlah penduduk. Syarat yang tentu tidak mudah bagi warga daerah untuk maju melalui jalur perseorangan melawan pasangan calon dari partai politik. Padahal pada prinsipnya, munculnya aturan hukum yang mengakomodir alternatif untuk menjadi kepala daerah melalui calon perseorangan sebagaimana putusan MK No. 05/PUU-V/2007 merupakan jalan tengah untuk mengimbangi eksis partai politik sebagai infrastruktur politik yang sebelumnya menjadi satu-satunya saluran untuk menjadi kepala daerah.
Fakta empirik Pilkada 2018 menunjukan dari 16 penyelenggaraan Pilkada pasangan calon tunggal, hanya satu bakal calon dari jalur perseorangan (independen) yang berhasil mengumpulkan dukungan salinan E-KTP yakni calon walikota Makassar, itupun karena didukung latar belakangnya sebagai petahana Walikota. Dengan kata lain, mayoritas calon perseorangan (independen) pada Pilkada 2018 banyak dinyatakan tidak memenuhi syarat ketika dilakukan verifikasi faktual dan berdasarkan hasil penetapan KPU.
Sedangkan faktor kedua sesudah adanya penetapan pasangan calon adalah fenomena terjadinya pelanggaran Pilkada. Munculnya calon tunggal justru juga terjadi karena terbukti melakukan pelanggaran penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 71 UU 10 tahun 2016 dengan mendapatkan sanksi diskuasifikasi sebagai pasangan calon, seperti yang terjadi pada Pilkada Makassar 2018 didiskualifikasi dari pencalonan oleh Mahkamah Agung. Lebih dari itu, tren calon tunggal juga muncul dengan berakhirnya melalui sengketa proses di Bawaslu Provinsi, Kabupaten maupun Kota (baca: Bawaslu).
Dengan demikian potensi munculnya calon tunggal tidak hanya sebelum adanya penetapan pasangan calon oleh KPU, akan tetapi munculnya calon tunggal juga dapat terjadi setelah adanya penetapan pasangan oleh KPU yang berakhir melalui terbukti melakukan pelanggaran pasal 71 UU 10 tahun 2016 maupun melalui sengketa proses di Bawaslu.
Aspek Keadilan Tahapan Pilkada
Salah satu prinsip Pilkada yang demokratis adalah berasaskan keadilan. Berkenaan dengan asas adil, dalam pelaksanaan Pilkada tidak hanya dimaknai secara sempit untuk
Bahkan yang paling krusial adalah tidak dilaksanakannya debat kandidat. Metode kampanye melalui debat kandidat merupakan bagian terpenting dalam memberikan pendidikan politik terhadap warga daerah serta menjadi ajang pertukaran ide, gagasan dan dialog antar pasangan calon untuk meyakinkan pemilih. Oleh sebab itu, Pilkada dengan calon tunggal ini tentu tidak menjerminkan esensi demokrasi modern.
Terlebih lagi jika menggunakan aspek internasional untuk mengukur kadar Pilkada demokrastis,dimana 1 dari 15 aspek tersebut adalah kampanye yang demokratis (Internasional IDEA, 2004). Pertanyaannya bagaimana mungkin khususnya kampanye yang difasilitasi oleh KPU dapat benar-benar berjalan demokratis bagi kolom kosong ?
Disamping keadilan pada tahapan kampanye, juga pada tahapan pencoblosan. Kendati lembaga pemantau diberikan akses sebagai pemantau, akan tetapi fakta empirik 2018 tidak semua daerah yang terdapat calon tunggal dipantau oleh lembaga pemantau, misalnya Pilkada Kabupaten Tapin. Sehingga tidak ada yang melakukan pemantauan pada saat pencoblosan dan penghitungan suara bagi kolom kosong.
Meminimalisir (Potensi) Calon Tunggal
Kendati calon tunggal memiliki landasan hukum yang konstitusional paska putusan MK dan diakomodir dalam pasal 54 huruf C ayat (1) UU 10 Tahun 2016. Pilkada dengan calon tunggal harus ditempatkan sebagai upaya terakhir ketika upaya untuk menghadirkan pasangan calon lainya memang tidak ada atau terjadi diskualifikasi karena melanggar peraturan perundang-undangan. Paling tidak dengan berkaca pada Pilkada tahun 2015 hingga 2018, tren peningkatan calon tunggal mesti harus diminimalisir dengan menurunkan persentase syarat calon baik melalui jalur partai politik maupun jalur perseorangan.
Terkait penurunan persentase syarat calon melalui jalur partai politik pada saat bersamaan juga perlu diatur dalam UU yang mewajibkan bagi partai politik yang memenuhi syarat calon agar wajib mencalonkan kader-kader terbaiknya serta memberikan sanksi bagi partai politik yang memenuhi persentase tetapi tidak mengajukan calon dari kader sendiri, misalnya sanksi tidak dapat ikut Pilkada pada tahun selanjutnya. Jika hal tersebut diatur maka, akan dapat meminimalisir potensi munculnya calon tunggal melalui borongan partai politik atau koalisi gemuk yang secara bersamaan juga fungsi partai politik sebagai sarana rekrutmen politik dapat berjalan melalui proses kaderisasi. Jika calon yang diusung merupakan kader partai maka secara alamiah juga dapat meminimalisir praktik mahar politik.
Sedangkan dari segi pencalonan dari jalur perseorangan, penurunan persentase jumlah dukung E-KTP yang harus dikumpulkan juga meminimalisir potensi praktik politik uang untuk mendapat dukungan pencalonan tersebut serta memunculkan alternatif banyak pilihan kepada warga daerah sebagai pemegang kedaulatan dalam memilih kepala daerah. Tentu saja semakin banyak calon secara bersamaan terjadi kompetisi yang sehat dalam aras demokrasi lokal, agar demokrasi lokal benar-benar memberikan pendidikan politik yang substansial terhadap warga daerah.
Sehingga momentum pembahasan RUU Pemilu yang menggabungkan UU Pemilu dan UU Pilkada yang hari ini sedang dibahas di Parlemen (baca: Komisi II DPR) sebagai tindak lanjut putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 harus didorong guna meminimalisir fenomena Pilkada dengan calon tunggal kedepan.