MENDUDUKAN COMMON LAW SYSTEM DAN CIVIL LAW SYSTEM MELALUI SUDUT PANDANG HUKUM PROGRESIF DI INDONESIA

MENDUDUKAN COMMON LAW SYSTEM DAN CIVIL LAW SYSTEM MELALUI SUDUT PANDANG HUKUM PROGRESIF DI INDONESIA – Selama ini sistem hukum Indonesia masih mengadopsi sistem hukum kolonial belanda (civil law system). Sistem yang mulanya berasal dari daratan eropa dan didasarkan pada hukum Romawi dengan ciri utamanya yang ditandai oleh sistem kodifikasi dari prinsip-prinsip hukum yang utama (Kusumohamidjojo, 2015:28). Pengembangan dalam sistem ini dikemukakan oleh seorang filsuf Perancis, Monstesquie, dengan istilah “trias politica”, yang berarti kekuasaan. Adapun definisi dari Trias Politica adalah suatu ajaran yang mempunyai anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari 3 (tiga) macam kekuasaan, yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif (Yulistyowati & Pujiastuti, 2016:330).

Konsep Trias Politica ini merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan- kekuasaan yang sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa (Budiardjo, 2005:152). Lembaga yang mengatur larangan-larangan atau batasan tersebut bertumpu pada legislative institutive. Tidak heran apabila peraturan-peraturan lembaga ini tidak mencerminkan keadilan kepada masyarakat, karena eksistensi lembaga ini mengedepankan kebenaran positivis (ada,pasti). Bahkan seringkali kita temukan adanya gap antara das sein dan das sollen dalam rumpun bernegara.

Menurut Prof. Mahfud dalam kuliah umum mengatakan, negara Indonesia bukanlah sistem negara hukum common law (anglo saxon) maupun civil law (eropa continental) tetapi negara hukum Prismatik, dimana negara yang berlandaskan pada cita (ide tentang hukum) hukum Indonesia. Maka keberadaan dua sistem ini adalah sebagai “penyeimbang” dan pengadopsiannya tidak bersifat mutlak, masih ada proses penyaringan (filter) di dalamnya (MD, 2018).

Istilah “common law” berasal dari bahasa Perancis “commune –ley” (dari Lat: communis lex) yang merujuk pada adat kebiasaan (custom) di Inggris yang tak tertulis dan yang melalui keputusan- keputusan hakim dijadikan berkekuatan hukum (Kusumohamidjojo, 2015:33). Perbedaan common law system (Anglo- Saxon) dengan civil law system (Eropa Continental) diantaranya meliputi:

Tabel. Perbedaan Common Law System
Perbedaan
Civil Law System (Eropa Continental)
Common Law System (Anglo-Saxon)
Sumbernya
Produk Legislative
Produk Keputusan Badan Peradilan
Strukturnya
Mengakui Statuter dan mengenal pembedaan hukum public dan privat
Tidak mengenal public dan privat dan adanya Lembaga equality law
Sistematika
Tersusun secara sistematis, KUHP, KUHD
Terhimpun dalam himpunan keputusan hakim
Pembuktian
Menerapkan system adversial (perlawanan)
Menerapkan system inquisitorial (integerogasi)

Setidaknya terdapat empat kategorisasi perbedaan antara civil law system (eropa continental) dan common law system (anglo-saxon) yaitu sumber hukum, struktur, sistematika hukum, dan pembuktian. Keempat perbedaan ini tidak terlepas dari sejarah dan kultur hukum yang ada di tiap-tiap sistem hukum atau keluarga hukum.

Common law system (anglo-saxon) khususnya di Indonesia, kedudukannya dapat ditelusuri di dalam sumber hukum di Indonesia, diantaranya yurisprudensi dan kebiasaan. Maksud dari yurisprudensi ini, dimana suatu keputusan yang diambil oleh hakim berdasarkan pertimbangannya dalam memutuskan suatu perkara yang belum diatur dalam undang-undang, sedangkan kebiasaan merupakan kebiasaan-kebiasaan lokal yang selama ini diakui dan hidup dimasyarakat, dalam istilah common law disebut “kaidah-kaidah lokal” (Rahardjo, 2014:259).

Hukum progresif merupakan sebuah teori yang memandang hukum sebagai perilaku (das sein) dan hukum yang terus mengalir mencari jati dirinya, yang tidak mau terjebak dalam “status quo”, sehingga menjadi mandeg (stagnant). Hukum progresif selalu ingin setia kepada asas-asas besar, bahwa ‘hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum’, karena dinamika manusia penuh dengan dinamika dari waktu kewaktu (Ravena,Artikel:191).

Dalam fisika Liek Wilardjo menyebut proses diatas sebagai “Revolusi Keilmuan”, di mana proses hukum ini masih sedang berlangsung atau mengalami ingsutan dari bagian-bagian ke keseluruhan, struktur ke proses, dari ilmu objektif ke ilmu epistemic, dari metafora bangunan ke metafora jaringan, dan dari kebenaran ke deskripsi hampiran (Wilardjo,Artikel:5-8).

Keberadaan hukum progresif merupakan kekecewaan kepada para penganut paham positivisme yang kerap berdalih paham civil law yang ‘mengharuskan’ hakim sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi). Civil law system yang kerap juga memisahkan antara peraturan dan perilaku (rules and behavior), maka dari itu teori hukum progresif ingin mengembalikan hukum pada rohnya dengan berangkat dua asumsi dasar. Pertama hukum adalah untuk manusia dan kedua hukum merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk menjadi (law as process, law in the making) (Suteki, 2015:8-9).

Cara pandang hukum progresif terhadap civil law tidak berlaku bagi common law (anglo saxon). Hukum progresif memandang common law cukup plural dalam melihat hukum, salah satu tokohnya Oliver W. Holmes (hakim Amerika) yang menyatakan “law as not logic but experience” (Samekto, disampaikan  dalam  perkuliahan Metodologi Penelitian Hukum 10 September 2018). Kehadiran hukum common law yang mengakui kaidah-kaidah lokal ini mempunyai kesamaan dengan hukum progresif sebagai living law, Soetandyo menyebut ini sebagai cerminan hukum rakyat yang hidup dan dianut rakyat setempat di dalam kehidupan sehari- harinya. Namun dalam menerapkan kaidah-kaidah lokal ini harus disesuaikan dengan hukum setempat (Negara) (Wignjosoebroto,Artikel:3).

Pertama, common law (anglo saxon) dan civil law (eropa continental) memiliki perbedaan yang cukup beragam, salah satunya mengenai sumber hukum. Sumber hukum ini diadopsi ke dalam sumber hukum di Indonesia berupa yurisprudensi dan kebiasaan, sehingga common law system mempunyai kedudukan di dalam sistem hukum Indonesia. Kedua, teori hukum progresif memandang kedua sistem ini berbeda-beda, di dalam civil law system hukum bersifat kaku dan memisahkan peraturan dan perilaku, sehingga  perlu dikembalikan pada  roh  hukum tersebut.Sedangkan common law system, hukum bersifat kaidah-kaidah lokal, namun penekanan hukum progresif dalam sistem ini lebih condong mengggunakan istilah ‘hukum rakyat’ sehingga ada perbedaan dalam penerapannya.

Categories:

Tinggalkan Balasan