PENGATURAN KEJAHATAN TERORISME DALAM HUKUM PIDANA NASIONAL DAN HUKUM PIDANA ISLAM (FIQH JINAYAH)
6 min readPENGATURAN KEJAHATAN TERORISME DALAM HUKUM PIDANA NASIONAL DAN HUKUM PIDANA ISLAM (FIQH JINAYAH) – Masyarakat Indonesia dalam hari-hari terkahir ini kembali mengalami rasa keresahan dengan munculnya bentuk aksi terorisme dari kelompok radikal. Sebut saja saja peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan pada Minggu tanggal 28 Maret 2021 dan peristiwa penyerangan dengan senjata api yang dilakukan oleh seorang perempuan kepada Markas Besar (Mabes) POLRI di Jakarta tanggal 31 Maret 2021 lalu. Dua peristiwa tersebut menjadi trigger bagi seluruh pihak khusunya negara sebagai pemangku tanggungjawab terpenuhinya hak atas rasa aman rakyat, untuk kembali meningkatkan kewaspadaan terhadap terjadinya aksi-aksi terorisme yang mencedrai kemanusiaan. Istilah terorisme sendiri untuk pertama kali muncul, dalam European Convention On The Suppression Of Terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 dimana terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes Against State menjadi Crime Againt Humanity. Dalam presfektif krimininologi arti terorisme ialah seperti yang dikemukakan oleh Ezzat E. Fattah “terrorism comes from teror, which come Latin ‘terre‘, meaning to frighten. Originally, the word ‘terror‘ was used to designate a mode governing, and word ‘terrorism‘ employed to describe the systematic use of terror, especially by governed into submission“ (Petrus Reinhard Golose, 2014).
Aksi kejahatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris seringkali merupakan kejahatan yang bersifat terencana dan terorganisir, bahkan bentuk kejahatan ini berdimensi internasional. Sehingga menurut Prof. Muladi kejahatan ini disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan pula penanganan yang mendayagunakan cara-cara yang bersifat luar biasa pula (extraordinary measure) (Muladi, 2004).
Tentu karena merupakan suatu bentuk kejahatan (crime) yang nyata telah terjadi dan menjadi fenomena sosial sejak lama, terorisme telah mendapat sorotan serius dengan diatur dalam hukum pidana (criminal law) nasional dan telah diatur pula sebetulnya dalam hukum pidana islam (fiqh jinayat). Penulisan artikel berikut ini akan mencoba melakukan penelaahan mengenai pengaturan kejahatan terorisme dalam hukum pidana nasional dan fiqh jinayat, kemudian untuk selanjutnya penulis mencoba mengkomparasikan pengaturan kejahatan terorisme diantara kedua rezim hukum tersebut.
Terorisme dalam Hukum Pidana Nasional
Pengaturan kejahatan terorisme dalam hukum pidana nasional telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme). Secara lebih spesifik pengaturan unsur-unsur/ elemen delik dari tindakan pidana terorisme diatur dalam Pasal 6 UU Terorisme yang menyebutkan:
“Setiap Orang yang dengan sengaja (1) menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan (2) yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, (3) atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati”.
Apabila mencermati rumusan ketentuan pasal diatas, maka diketahui bahwa terorisme merupakan delik materil, artinya yang delik yang dianggap selesai dengan munculnya akibat yang dilarang oleh undang-undang. Sehingga untuk mengatakan terjadinya tindakan terorisme yang harus dibuktikan adalah suatu akibat:
Timbulnya suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas;
Menimbulkan korban yang bersifat masal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; dan
Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional.
Akibat diatas terdapat hubungan kausal dengan perbuatan pelaku yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan (Folman Ambarita, 2018). Serta, unsur kesengajaan yang dimaksud haruslah didorong oleh motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan (Vide pasal 1 angka 2).
Berkaitan dengan ancaman pidana (starf) yang dijatuhkan bagi kejahtan terorisme dimuat dalam Pasal 6 UU Teorisme yaitu memiliki batas minimal berupa pidana penjara 5 tahun, dan maksimal paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
Terorisme dalam Fiqh Jinayat
Islam sebagai agama yang menghendaki perdamaian dan keselamatan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin) tentu tidak akan pernah membenarkan penggunaan tindakan-tindakan kekerasan dalam bentuk apapun. Realisasi prinsip perdamaian itu dapat dilihat dari wujud kerasnya fiqh jinayat mengatur hukuman bagi pelaku kekerasan, apalagi munimbulkan korban nyawa secara massal.
Istilah terorisme dalam Bahasa arab dikenal dengan istilah Al-Irhab. Dari sini bisa dipahami bahwa kata Al-Irhab (teror) berarti menimbulkan atau menyebabkan rasa takut (Abdul Zulfidar Akaha, 2005). Dalam fiqh jinayah istilah Al-Ihrab dapat dimasukan dalam dua kategori bentuk jarimah atau delik, yaitu:
Jarimah Hirabah, artinya tindak pidana yang dilakukan oleh orang berupa pengambilan harta milik orang lain secara terang-terangan disertai tindak kekerasan.
Jarimah Al-Baghyu (pemberontakan), menurut kalangan ulama hanfiyah artinya tindak pidana berupa keluar dari ketaatan kepada pemerintahan (atau kepala negara) yang benar (sah) dengan cara yang tidak benar (sah).
Apabila dicermati dua bentuk delik/jarimah tersebut, menurut penulis, terorisme yang terjadi lebih banyak masuk pada kualifikasi bentuk kedua yaitu jarimah al-bahgyu atau delik pemberontakan pada pemerintahan negara yang syah. Alasan karena, seringkali motif yang mendorong terjadinya berbagai aksi terorisme itu disebabkan pelakunya tidak mau tunduk dan menerima sistem pemerintahan dan sistem hukum yang telah ada, serta menghendaki penggantian dengan sistem pemerintahan dan sistem hukum yang menurut anggapan kelompoknya bersifat benar dan absolut. Misalnya yang dilakukan oleh kelompok Jamaah Anshorut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Suriah/ISIS (nasional.kompas.com).
Al Quran sebagai sumber primer dan otoritatif dalam hukum islam sebetulnya telah meletakan prinsip berisi kewajiban pentaatan pada pempimpin yang syah (ulil amri) sebagaimana termuat dalam Al Quran Surat An-Nisa ayat 59 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 59). Kewajiban untuk tunduk pada pemerintah yang sah juga ditunjukkan oleh hadits, yang menyebutkan “Aku wasiatkan kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun ia seorang hamba sahaya habasyah” (HR. At Tirmidzi).
Dalam literatur fiqh jinayat, untuk dapat dikatakan terorisme yang terkualifikasi kedalam jarimah baghyu atau delik pemberontakan ini haruslah mememuhi unsur-unsur sebagai berikut, (Marsaid, 2020):
Pembangkangan terhadap kepala Negara yang dimaksud membangkan disini adalah menentang kepala Negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga Negara.
Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan, dimaksud kekuatan adalah jumlah yang banyak dari pada anggota memberontak, atau kekuatan fisik dan senjata, serta dukungan logistik dan dana yang memungkinkan mereka melakukan perlawanan.
Adanya niat melawan hukum, maksudnya disyaratkan adanya niat untuk melawan hukum dari mereka yang membangkang.
Berkaitan dengan pidana atau hukuman yang diancamkan pada pelaku kejahatan terorisme karena motif pemberontakan, apabila melihat doktrin ulama ahli fiqh (ahli hukum islam) sangatlah berat. Menurut kalangan pengikut Imam Abu Hanifah, penguasa boleh memerangi pelaku tindak pidana bughat apabila telah tampak persiapan mereka untuk menyerang. Penghukaman yang dijatuhkan terhadap pelaku pemberontakan berupa hukuman/pidana mati (Dian Dwi Oka, 2011). Fiqh jinayat telah menetapkan hukum yang keras terhadap Jarimah pemberontakan, karena mencegah timbulnya mafsadat atau kerusakan tatanan masyarakat dan kemunduran umat. Akan tetapi dalam buku M. Nurul Irfan dan Masyrofah berujudul Fiqh Jinayah, dijelaskan bahwa untuk pemberontak yang tidak memiliki kekuatan senjata dan tidak menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka, pemerintah boleh memenjarakan mereka sampai mereka bertaubat.
Suatu Perbandingan
Berdasarkan pada urian sebelumnya, maka dapat dikomparasikan atau diperbandingkan, ternyata terdapat perbedaan dan persamaan pengaturan antara pengaturan kejahatan terorisme dalam hukum pidana nasional dan hukum pidana islam (fiqh jinayat). Persamaannya adalah, baik dalam fiqh jinayat mauapun dalam hukum pidana nasional, perbuatan terorisme dinilai sebagai perbuatan jahat yang sangat dilarang karena akan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat yang damai dan sejahtera. Selain itu baik dalam hukum pidana islam dan pidana nasional diatur bahwa hukum terberat yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku terorisme ialah hukuman pidana mati.
Adapaun perbedaannya ialah, jika pada hukum pidana nasional terorisme itu merupakan bentuk kejahatan tersendiri, sedangkan dalam hukum pidana islam (fiqh jinayat) terorisme tidak dikenal sebagai bentuk pidana (jarimah) tersendiri, melainkan dapat terkualifikasi dalam dua bentuk yaitu tindak pidana jarimah hirabah dan jarimah al-baghyu sesuai dengan motif dilakukannya aksi terorisme.