POLEMIK PUTUSAN ETIK DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU

POLEMIK PUTUSAN ETIK DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU – Apabila ditelusuri dalam skala global, negara yang pertama kali memperkenalkan soal etika adalah negara bagian Quensland, yang sejak tahun 1994 membuat UU tentang etika untuk pejabat publik guna mengontrol etika pejabat publik. Dalam dunia kepemiluan di Indonesia, keberadaan lembaga penegak kode etik (perilaku) penyelenggara pemilu (baca juga; pilkada) bukanlah barang baru. Pada medio 2004 sampai 2009 telah dikenal lembaga penegak etik penyelenggara pemilu, yaitu  Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU).

Kala itu (DK-KPU) menjadi bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan bersifat ad-hoc, sehingga eksisnya tergantung ada atau tidaknya laporan dan/atau aduan atas dugaan pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu. Munculnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.11/PUU-VIII/2010 menjadi pemantik awal lahirnya lembaga penegak kode etik mandiri dan independen yang tidak lagi bersifat ad-hoc dan terpisah dari KPU, melalui UU No. 15 Tahun 2011 dibentuk penegak kode etik (perilaku) penyelenggara pemilu sebagai tindaklanjut putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010 yang melahirkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai institusi mandiri yang terpisah dari KPU dan bersifat permanen.

Kelahiran DKPP ini merupakan salah satu bukti Indonesia telah menerapkan electoral integrity dalam rangka mewujudkan penyelenggara pemilu yang mematuhi nilai-nilai moral dan etika sebagai manifestasi electoral integrity. Hal ini menegaskan tujuan pemilu tidak hanya untuk mewujudkan free and fair electoral, akan tetapi secara bersamaan guna mewujudkan electoral integrity sebagaimana pedoman demokrasi modern.

Berdasarkan Pasal 109 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2011, DKPP diamanatkan tugas mulia untuk menjaga integritas, kehormatan, kemandirian dan kredibilitas penyelenggara pemilu melalui kewenangan untuk memeriksa dan memutus pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Dalam konteks kekinian, tugas mulia yang diamanatkan kepada DKPP diatur dalam Pasal 137 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang dan Pasal 155 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017  tentang Pemilihan Umum. Hal tersebut semata-mata dalam kerangka untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap hajatan pesta 5 tahunan melalui upaya  mewujudkan electoral integrity.

Berdasarkan data yang penulis himpun per-1 Januari 2019 sampai dengan 10 Desember 2019, DKPP telah menerima 506 pengaduan penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (laporan kinerja DKPP 2019 , angka tersebut tentu saja bukan jumlah yang sedikit, itu artinya jika diakumulasi dari awal kebedaraan DKPP yang mandiri dan bersifat permanen pada tahun 2012 sampai dengan 2021 (termasuk aduan dan/atau laporan yang masih dalam proses pemeriksaan dan belum diputus), maka dapat dipastikan ada lebih 506 pengaduan yang telah diperiksa dan diputus DKPP atas dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.

Proses pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik oleh DKPP yang bersifat terbuka untuk umum menjadi kekhasan tersendiri jika dibandingkan dewan kehormatan etik atau nama lain pada lembaga negara lainnya di Indonesia yang bersifat tertutup untuk umum. Sifat keterbukaan proses pemeriksaan di DKPP mesti menjadi contoh bagi dewan kehormatan lembaga negara lainnya di Indonesia agar masyarakat dapat mengetahui proses penegakan etika (perilaku) pejabat publik.

Banyaknyaproduk putusan yang telah dihasilkan DKPP ini dilihat dalam dua perspektif. Pertama, banyaknya aduan dan/atau laporan yang diterima oleh DKPP merupakan wujud dari trust terhadap DKPP sebagai penegak kode etik penyelenggara pemilu dan menegaskan eksistensi keberadaan DKPP masih sangat diperlukan dalam rangka menjaga etika (perilaku) penyelenggara pemilu. Kedua, banyaknya aduan dan/atau laporan yang diterima oleh DKPP menunjukkan belum terwujudnya secara optimal electoral integrity di Indonesia.

Sekian banyak produk putusan yang telah dihasilkan DKPP tersebut, bukan berarti tanpa ada persoalan. Dalam catatan penulis, paling tidak terdapat beberapa putusan DKPP yang menarik untuk dibahas, khususnya dalam pendekatan kedudukan DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu disamping KPU dan Bawaslu atas putusan MK No.11/PUU-VIII/2010 terhadap konstitusialitas Pasal 22E ayat (5) UUD 1945.

Beberapa putusan DKPP tersebut adalah putusan no. 73/DKPP/PKE/II/2013 yang salah satu amarnya memutuskan memerintahkan KPU untuk memasukkan kembali Selviana Sofyan Hosen ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT). Putusan No. 74/DKPP/PKE/II/2013 yang salah satu amarnya memutuskan memerintahkan KPU untuk melakukan peninjauan kembali secara cepat dan tepat terhadap prinsip dan etika dalam perlindungan hak konstitusional Khofifah Indar Parawansa sebagai calon peserta Pilkada Jawa Timur.

Putusan No. 83 dan 84/DKPP/PKE/II/2013 yang salah satu amarnya memutuskan memerintahkan kepada KPU Provinsi Banten untuk memulihkan dan mengembalikan hak konstitusional bakal pasangan calon Arief R. Wismansyah – Sachrudin dan bakal pasangan calon Ahmad Marju Kodri – Gatot Suprijanto untuk menjadi pasangan calon peserta Pilkada Walikota dan Wakil Walikota Tangerang tahun 2013. Jika dicermati putusan-putusan tersebut di atas, DKPP mencoba untuk keluar dari pakemnya sebagai penegak kode etik (perilaku) bagi penyelenggara pemilu dan bertindak seolah sebagai positif legislator yang menciptakan norma hukum baru.

Ketiga putusan tersebut menunjukkan DKPP telah masuk ke ranah administrasi pilkada dan sengketa pilkada yang sebenarnya bukan kewenangan DKPP sebagai penegak kode etik, mengingat UU secara jelas memberikan kewenangan DKPP bagi penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik untuk menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap.

Sebagaimana asas yang dikenal dalam teori perundang-undangan bahwa norma hukum yang telah jelas tidak dapat ditafsirkan lain. Dengan kata lain, UU tidak memberikan ruang untuk menafsirkan norma hukum dalam UU yang telah jelas bunyinya. Tentu saja putusan DKPP yang mencoba memulihkan hak-hak peserta pilkada sebagaimana putusan di atas  adalah upaya untuk menafsirkan norma hukum yang telah jelas dan DKPP mencoba menerobos batas-batas kewenangan yang telah diberikan oleh UU kepada DKPP. Hal ini  dapat memunculkan sengketa kewenangan dalam tubuh penyelenggara pemilu itu sendiri. Jika pun dipaksakan dengan dalil melakukan rechtvinding, melalui amar putusan memulihkan hak-hak peserta pilkada sebagaimana di atas.

Pertanyaan yang muncul adalah dimana letak rechtvacum tersebut, mengingat UU secara tegas membatasi jenis-jenis kategori yang dapat dijatuhkan DKPP bagi penyelenggara yang terbukti melanggar kode etik dan andaipun didalilkan sebagai putusan yurispudensi maka dapat diperdebatkan. Mengingat DKPP bukanlah lembaga peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 yang memiliki kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan cara melakukan rechtvinding dan menerbitkan putusan yurispudensi, melainkan DKPP adalah organ tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 untuk melaksanakan satu kesatuan fungsi sebagai penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP).

Putusan No. 317/PKE/DKPP/X/2019 yang salah satu amarnya memutuskan menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada salah satu anggota KPU. Jika dicermati putusan ini, terdapat dua isu krusial yang menarik. Pertama, pada saat proses pemeriksaan Pengadu telah mencabut aduannya, akan tetapi pemeriksaan tetap dilanjutkan oleh DKPP hingga terbitnya putusan. Kendati Pasal 19 Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 sebagai hukum acara DKPP membenarkan hal tersebut yang menyatakan “DKPP tidak terikat dengan pencabutan Pengaduan dan/atau Laporan” atau yang dalam hukum administrasi disebut kewenangan diskresi pejabat publik. Akan tetapi jika dicermati pertimbangan Putusan No. 317/PKE/DKPP/X/2019 tersebut tidak terdapat rasionalitas reasoning yang dikontruksikan DKPP berdasarkan penalaran yang wajar secara kasuistis atas kasus aduan sehingga menjadi layak  dilanjutkan proses pemeriksaannya, seolah-olah DKPP hanya meng-copypaste ketentuan Pasal 19 Peraturan DKPP No. 2 tahun 2017 tanpa membangun argumentasi secara kasuistis dan kontekstual peristiwa yang diadukan dan kesimpulan aduan yang telah dicabut oleh Pengadu tersebut penting untuk tetap dilanjutkan proses pemeriksaannya. Sesuatu yang semakin kontradiktif dengan hilangnya kepentingan Pengadu yang telah menyatakan mencabut pengaduan, karena ketiadaan rasionalitas reasoning yang dibangun DKPP dalam pertimbangan putusannya. Kedua, pengambilan putusan No. 317/PKE/DKPP/X/2019 yang diputuskan dalam rapat pleno 4 anggota DKPP berdasarkan Keputusan Ketua DKPP No. 04/SK/K.DKPP/SET-04/I/2020 tentang Rapat Pleno Pengambilan Keputusan. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2019 yang secara tegas menyatakan “Rapat Pleno Putusan dilakukan secara tertutup yang dihadiri oleh 7 (tujuh) orang anggota DKPP, kecuali dalam keadaan tertentu dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang anggota DKPP ”.

Tindakan DKPP yang mengesampingkan (put aside) hukum acara sendiri tidaklah dapat dibenarkan secara hukum dengan menerbitkan beschikking. Mengingat secara filosofis hukum acara bukan sekedar hukum yang mengatur tata cara menegakan aturan hukum materil (substantive law). Hukum acara (procedural law) yang dirumuskan dalam peraturan (regeling) yang mengikat secara umum merupakan perwujudan esensial hak para pencari keadilan untuk membela dan mempertahankan kepentingannya serta sebagai rambu-rambu pembatas bagi DKPP  bertindak untuk dan atas nama hukum (atau etika) agar berkepastian hukum.

Hal demikian sejalan dengan prinsip due process of law, hukum acara adalah salah satu komponen hukum hak asasi manusia, sesuatu yang tidak dapat disimpangi oleh suatu beschikking yang jangkauan keberlakuannya dapat diperdebatkan apakah hanya berlaku ke dalam atau keluar, sehingga seharusnya perubahan hukum acara diatur dalam produk hukum yang sejenis dan/atau setidak-tidaknya setingkat sesuai asas lex superior derogat legi inferior bukan berdasarkan produk Keputusan (beschikking). Sehingga telah tepat putusan PTUN Jakarta no. 82/G/2020/PTUN-JKT yang menyatakan putusan DKPP bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan membatalkan keputusan Presiden tentang pemberhentian anggota KPU sebagai tindaklanjut putusan DKPP. Hemat penulis, pasca putusan PTUN yang membatalkan putusan DKPP tersebut menarik untuk menjawab pertanyaan bagaimana jika dikemudian hari anggota KPU tersebut kembali diadukan atas dugaan pelanggaran kode etik, apakah DKPP akan memeriksa aduan tersebut ataukah tetap pada konsistensi dengan sifat final dan mengikat Putusan No. 317/PKE/DKPP/X/2019? Pada titik inilah menimbulkan kondisi dilematis bagi DKPP kedepannya.

Terakhir adalah putusan DKPP No. 178 dan 179/PKE/DKPP/XI/2020 yang salah satu amarnya memutuskan menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada teradu salah satu anggota Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan. Jika dicermati, hal menarik dari putusan ini terletak pada salah satu pertimbangan putusan yang mempertimbangkan ketidaksesuaian kajian dugaan pelanggaran yang disusun oleh teradu. Padahal idealnya sebagai penegak kode etik, DKPP memeriksa batasan penanganan pelanggaran yang dilaksanakan oleh teradu apakah sudah sesuai prosedur penanganan pelanggaran yang diatur dalam Peraturan Bawaslu No. 8 Tahun 2020 atau sebaliknya. DKPP mencoba masuk pada penilaian kajian, seakan-akan DKPP bertindak seolah judex juris sebagai upaya hukum banding yang memeriksa atas keberatan terhadap keputusan Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan dalam melaksanakan proses penanganan pelanggaran. Sadar atau tanpa disadari justru mengaburkan kewenangan DKPP itu sendiri, apakah sebagai penegak etik atau sebagai penegak hukum? Padahal UU secara tegas menugaskan DKPP untuk menegakkan kode etik penyelenggara pemilu.

Beberapa putusan yang penulis uraikan tersebut menggambarkan gelindingan roda lepas putusan DKPP yang menerobos batasan-batasan kewenangan yang telah diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang secara tidak langsung akan berimplikasi pada upaya mewujudkan prinsip electoral integrity (pemilu berintegritas) dari ide awal dibentuknya DKPP yang mandiri dan bersifat permanen. Oleh karena itu, diharapkan DKPP tidak menerobos batasan-batasan tersebut agar tidak menimbulkan konflik di tubuh penyelenggaran pemilu (baca; KPU, Bawaslu dan DKPP).

Categories:

Tinggalkan Balasan