TANTANGAN TERHADAP KONSISTENSI PELAKSANAAN ASAS KEWARGANEGARAAN TUNGGAL
7 min readTANTANGAN TERHADAP KONSISTENSI PELAKSANAAN ASAS KEWARGANEGARAAN TUNGGAL – Pasca dilangsungkannya Pilkada pada Desember 2020, mencuat suatu kasus yang cukup menarik perhatian publik. Salah satu kontestan Pilkada (calon kepala daerah) yaitu Orient Riwu Kore yang menurut penghitungan suara telah memenangi perolehan suara di Kabupaten Sabu Raijua, diketahui atau diduga merupakan warga negara AS di samping ia sendiri masih berstatus warga negara Indonesia (WNI), sebab salah satu syarat pendaftaran untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada tentunya adalah memiliki status sebagai WNI. Sebelumnya pada tahun 2016 publik pun sudah pernah dikejutkan dengan kasus serupa ketika Archandra Thahar diangkat menjadi Wakil Menteri ESDM (Wamen ESDM) padahal diketahui ia juga merupakan warga negara AS. Singkat cerita, Archandra kemudian diberhentikan dari posisi Wamen dan lalu melepaskan kewarganegaraan AS. Ketika persoalan kewarganegaraannya selesai barulah Archandra kemudian diangkat kembali menjadi Wamen ESDM.
Kasus Riwu Kore cukup menarik untuk dikaji sebab seolah-olah memberikan kesan bahwa ada ketidakjelasan dalam pengaturan UU kita. Indonesia memiliki satu UU yang mengatur tentang kewarganegaraan yaitu UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Kewarganegaraan). Menarik untuk dikaji kembali sebetulnya apakah UU tersebut membolehkan kewarganegaraan ganda ataukah memang Indonesia menurut UU tersebut sudah seharusnya menjunjung tinggi asas kewarganegaraan tunggal. Pengkajian terhadap UU tersebut menjadi penting sebab akan menjadi jawaban terhadap pertanyaan apakah UU tersebut sudah cukup jelas ataukah memang pelaksanaannya yang minim konsistensi. Penting pula untuk mengkaitkannya dengan UU sektoral lainnya sehingga dapat terlihat akar persoalannya.
Asas Kewarganegaraan Yang Dianut Indonesia Menurut UU Kewarganegaraan dan Kaitannya dengan Kasus Riwu Kore
Apabila merujuk pada penjelasan umum UU Kewarganegaraan maka dinyatakan bahwa “Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.” Artinya tanpa harus melihat detail pada pasal-pasal dalam batang tubuh UU tersebut maka kita dapat menduga bahwa UU tersebut pada dasarnya tidak menganut kewarganegaraan ganda atau dengan kata lain menganut asas kewarganegaraan tunggal. Adapun kewarganegaraan ganda diakui secara terbatas hanya kepada anak dalam kondisi-kondisi khusus. Hal-hal tersebut patut digarisbawahi sebagai titik dasar dalam berpijak ketika kita harus menilai suatu kasus yang terjadi terkait pelaksanaan UU tersebut ataupun aturan lain yang bersinggungan.
Pasal 23 UU Kewarganegaraan mengatur bahwa Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika: yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu; dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan; masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia; secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut; tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing; mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau bertempat tinggal di Iuar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan. Dari banyaknya kondisi yang disebutkan di atas maka dapat kita simpulkan 2 hal yakni Indonesia menganut kewarganegaraan tunggal dan seorang WNI dapat kehilangan status WNInya khususnya apabila WNI tersebut telah menerima kewarganegaraan lain, sudah lama menetap di luar wilayah Indonesia, ataupun memiliki pertautan erat dengan negara lain.
Setelah mengkaji UU Kewarganegaraan maka kita perlu mengkaitkan dengan Kasus Riwu Kore. Pada intinya, Orient Riwu Kore diketahui atau setidaknya telah diduga merupakan warga negara AS dan di saat yang bersamaan juga seorang WNI. Apabila kita merujuk pada ketentuan Pasal 23 UU Kewarganegaraan maka tidak diragukan lagi Riwu Kore telah kehilangan status WNI tepat ketika ia secara sah menjadi warga negara AS. Pengecualian terhadap asas kewarganegaraan tunggal pastinya tidak berlaku untuk Riwu Kore sebab pemberlakuan kewarganegaraan ganda secara terbatas hanya diberikan kepada anak. Namun muncul beberapa pertanyaan yang secara kritis dapat kita lontarkan. Pertama, ketika Riwu Kore menjadi warga negara AS, apakah sama sekali tidak terdeteksi oleh pihak KBRI ataupun Konjen yang ada di AS? Artinya ada persoalan kelalaian dalam pendataan/administrasi. Kedua, ketika AS memutuskan memberikan kewarganegaraan AS kepada Riwu Kore, apakah sama sekali tidak mengetahui bahwa Riwu Kore masih berstatus WNI atau setidaknya mengecek terlebih dahulu apakah ia masih memiliki paspor Indonesia ataupun KTP Indonesia yang masih berlaku? Koordinasi/komunikasi pihak AS dengan perwakilan RI yang ada di AS tentu patut dipertanyakan. Ketiga, ketika Riwu Kore bepergian keluar masuk dari AS ke Indonesia apakah tidak terdeteksi sama sekali setidaknya oleh pihak keimigrasian Indonesia bahwa ia memiliki paspor/kewarganegaraan ganda? 3 pertanyaan di atas sangat logis menjadi pertanyaan tambahan yang muncul yang nantinya akan mengarah kepada pertanyaan bagaimanakah sebetulnya konsistensi negara dalam menegakkan asas kewarganegaraan tunggal.
Apabila kita merujuk pada pasal mengenai pensyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 menjadi UU (UU Pilkada terakhir kali diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2020 menjadi UU) maka dinyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai calon…”. Dari bunyi pasal tersebut nampak bahwa pasal tersebut masih bisa ditafsirkan secara liar. Dengan adanya kalimat “Setiap warga negara…” maka apakah dapat disimpulkan bahwa warga negara yang dimaksud adalah WNI yang tidak sedang memegang kewarganegaraan lainnya? Sayangnya, dalam Pasal 7 yang sebetulnya menguraikan pula syarat-syarat detail dan Pasal 45 yang mengatur secara detail soal dokumen pensyaratan justru tidak menyinggung/tidak mengupas soal status WNI secara jelas. Apabila kita hanya melihat konteks Pasal 7 tersebut secara tunggal maka WNI yang diketahui memiliki kewarganegaraan ganda boleh saja maju sebagai calon kepala daerah, asalkan tafsirannya adalah status orang itu merupakan WNI tanpa harus melihat apakah ia sedang mengenyam kewarganegaraan lain ataukah tidak. Akan tetapi, aturan pokok soal siapakah yang disebut sebagai WNI termasuk soal potensi kehilangan status WNI itu ada di UU pokoknya yaitu UU Kewarganegaraan, sementara persoalan Riwu Kore adalah persoalan pencalonannya sebagai kepala daerah. Selain itu, bisa juga ditafsirkan bahwa ketika Pasal 7 tersebut menyatakan soal WNI maka apabila yang bersangkutan diketahui memiliki kewarganegaraan ganda maka orang tersebut sudah bukan lagi WNI dan oleh sebab itu seharusnya tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai kepala daerah. Tetapi hal itupun tentu tidak mudah sebab untuk mengetahui seseorang berkewarganegaraan ganda atau tidak tentu harus melibatkan instansi lain termasuk juga soal tafsiran terhadap suatu aturan. Disinilah terdapat tantangan terhadap pelaksanaan pengaturan soal asas kewarganegaraan tunggal. Adanya Kasus Kore dan Archandra sebetulnya menimbulkan 1 pertanyaan baru lainnya yakni apakah yang menjadi persoalan pokok adalah persoalan tafsiran akibat bunyi pasal yang kurang tegas ataukah memang murni soal konsistensi penegakannya?
Persoalan Riwu Kore dan Archandra sebenarnya hanyalah sebagian kecil saja dari potret besar persoalan pelaksanaan asas kewarganegaraan tunggal. Persoalan yang tidak kalah penting justru adalah WNI (dewasa) yang sebetulnya memiliki kewarganegaraan ganda yang bebas keluar masuk ke Indonesia tanpa bisa dideteksi/tak terdeteksi/luput dari pendeteksian sehingga bisa semena-mena keluar masuk Indonesia menggunakan paspor manapun yang ia miliki dan hal itu akan sangat rawan penyalahgunaan. Kasus Kore dan Archandra mencuat dan “terdeteksi” karena mereka kebetulan adalah calon pejabat publik yang tentunya terpublikasi secara luas, sementara mungkin di luar sana begitu banyak potensi WNI (dewasa) yang memiliki paspor ganda namun tidak terdata atau tidak terdeteksi oleh instansi yang terkait.
Terkhusus soal pensyaratan calon kepada daerah atau pejabat publik lainnya tentu perlu adanya penegasan soal penyebutan WNI, misalnya saja dengan menambah penyebutan WNI menjadi “..WNI dan tidak sedang memiliki/memegang kewarganegaraan lain…”. Sebagaimana kita ketahui pengaturan mengenai syarat pencalonan menjadi kepala daerah ataupun pejabat publik tersebar di berbagai UU sektoral (sebagai contoh yaitu UU Pilkada, UU Kementerian Negara, UU BI, UU BPK, dan lain-lain) sehingga potensi terulangnya kasus Kore dan Archandra dalam wujud kasus-kasus baru tentu terbuka sangat lebar. Meskipun atas dasar UU Kewarganegaraan dapat ditafsirkan bahwa WNI yang dimaksud seharusnya adalah WNI yang tidak sedang memegang kewarganegaraan lain, tetapi berhubung UU Kewarganegaraan adalah UU yang sifatnya umum maka UU sektoral lainnya yang menyangkut soal WNI tentunya perlu diperjelas agar sejalan dengan asas kewarganegaraan tunggal yang dianut. Nampaknya satu-satunya contoh pengaturan soal status WNI terkait syarat pencalonan yang cukup jelas tafsirannya adalah Pasal 169 huruf b (mengatur tentang pensyaratan menjadi capres dan cawapres) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang dengan tegas menyatakan bahwa “…WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri…”.
Solusi Ke Depan
Kasus Archandara di tahun 2016 dan belakangan diikuti Kasus Riwu Kore di akhir tahun 2020 memberikan suatu pelajaran berharga akan pentingnya konsistensi dan kejelasan suatu aturan main yang dalam hal ini adalah terkait kewarganegaraan. Ketika suatu UU telah menetapkan bahwa asas yang dianut adalah kewarganegaraan tunggal maka sudah seharusnya pengaturan UU sektoral lainnya juga konsisten mengikutinya atau setidaknya semua pihak memiliki penafsiran yang sama ketika suatu UU itu akan dilaksanakan. Terkait tegaknya konsistensi atas pelaksanaan kewarganegaraan tunggal maka aspek pendataan ataupun pengadministrasian perlu diperhatikan dengan seksama khususnya oleh perwakilan diplomatik/konsuler di luar negeri dan pihak keimigrasian sebagai filter awal yang kemudian dapat diikuti oleh instansi lain yang terkait misalkan saja kemendgari, KPU, disdukcapil, ataupun instansi manapun yang berkepentingan soal status kewarganegaraan seseorang. Selain itu, aturan sektoral lainnya yang terkait dengan status kewarganegaraan nampaknya perlu disempurnakan atau setidak-tidaknya perlu diadakan forum bersama yang pada intinya menyatakan bahwa ketika suatu aturan menyebut soal WNI maka WNI yang dimaksud haruslah ditafsirkan sebagai orang yang sedang tidak memegang status kewarganegaraan lainnya, agar supaya tidak ditafsirkan secara liar yang malah menimbulkan persoalan pelik di kemudian hari.