URGENSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR HUKUM DI INDONESIA

URGENSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR HUKUM DI INDONESIA – Dalam aspek infrastruktur hukum masih terdapat beberapa tantangan dan hambatan yang dapat mempengaruhi efektivitas penegakan hukum di Indonesia. Infrastruktur hukum dapat didefinisikan sebagai infrastruktur regulasi dan infrastruktur non regulasi yang berfungsi sebagai sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan hukum. Secara spesifik, ruang lingkup infrastruktur hukum utamanya adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan sebagainya. Dalam tulisan ini, penulis mengkaji aspek infrastruktur regulasi dan infrastruktur non regulasi sebagai sarana fisik hukum.

Kondisi infrastruktur hukum Indonesia dikatakan masih sangat memprihatinkan. Kondisi infrastruktur hukum Indonesia menghadapi tantangan berat yang perlu segera diselesaikan. Hal itu tampak pada beberapa aspek sebagai berikut: pertama, kondisi dan kapasitas Balai Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) yang berada dalam kategori extreme overcrowding. Extreme overcrowding Lapas di Indonesia masih menjadi permasalahan yang belum teratasi. Jumlah penghuni Lapas tidak diikuti oleh penambahan ruang dan daya tampung hunian Lapas.

Pertumbuhan jumlah tahanan dan narapidana setiap tahunnya mengalami peningkatan. Setiap tahun, persentase overcrowding juga meningkat setiap tahunnya. Namun, angka tersebut tidak diikuti dengan pembangunan Lapas di Indonesia. Situasi overcrowding di Rutan/Lapas ini akan mengakibatkan beberapa masalah. Pertama, program pembinaan (pembinaan kerja dan keterampilan, rehabilitasi medis dan sosial) tidak berjalan dengan baik karena jumlah penghuni yang terlalu banyak. Kedua, banyaknya penghuni Rutan/Lapas yang melarikan diri karena perbandingan jumlah penghuni dan petugas pengamanan yang terlampau jauh (Supriyadi W. Eddyono dkk, 2017:6).

Kondisi di atas juga diperparah dengan jumlah petugas pengamanan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni Lapas. Idealnya, perbandingan antara satuan pengamanan dan penghuni Rutan/Lapas adalah 1:5 namun nyatanya rasio petugas dan jumlah penghuni mencapai 1:25 (Aman Riyadi, 2017). Bahkan di beberapa Lapas, perbandingannya bisa jauh lebih besar. Misalnya tahun 2017 di Lapas Kelas IIA Labuhan Ruku Sumatera Utara, penghuni Lapas yang berjumlah 1.963 orang hanya diawasi oleh 23 orang satuan pengamanan.

Tantangan infrastruktur hukum yang kedua adalah kurang memadainya dan masih terbatasnya jumlah Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara (Rupbasan). Tugas pokok Rupbasan yaitu: (a) Melakukan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara; (b) Melakukan pengelolaan berarti melakukan perbuatan menyimpan dan atau menaruh di tempat yang aman supaya tidak rusak, hilang atau berkurang benda dan atau barang yang dimaksud; (c) Dikelola berarti dapat dijamin keselamatan, keutuhan, dan mutu benda atau barang dimaksud sehingga tetap terjamin, terpelihara, dan terawat dengan baik.

Dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengamanatkan benda yang digunakan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan Hakim harus disimpan di dalam RUPBASAN. Namun, dalam das sein amanat Pasal 27 itu sulit untuk dilaksanakan. Beberapa sebab diantaranya yaitu:

(a) Belum memadainya gedung kantor, gudang dan pegawai di Rupbasan;

(b) Rupbasan belum terbentuk di setiap Kabupaten / Kota, baru terdapat 63 operasional

dari 211 unit sehingga belum terbentuk 148 unit;

(c) Masih adanya beberapa daerah yang belum memiliki Rupbasan;

(d) Rupbasan menumpang ke pihak lain (milik pemda) sebanyak 8 Rupbasan.

Idealnya, di setiap Kabupaten/Kota dibentuk Rupbasan. Selain untuk menjalankan amanat Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tugas dan fungsi Rupbasan sangat strategis untuk menyelamatkan aset negara. Kurang memadai dan terbatasnya jumlah Rupbasan justru hanya menyebabkan kerusakan dan turunnya nilai ekonomis barang sitaan yang berujung pada hilangnya aset negara. Oleh karena itu, diperlukan pembangunan Rupbasan di setiap daerah dan biaya pemeliharaan serta membangun sistem administrasi pengelolaan barang sitaan.

Dalam konteks infrastruktur hukum di Indonesia, selama kurang lebih 40  tahun tidaklah dapat dipungkiri bahwa berdasarkan realitas empiris sangatlah memprihatinkan. Sebab, dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia telah mencatat bahwa selama tahapan terakhir dari sejarah politik dan ketatanegaraan di Indonesia, disadari atau tidak, diakui atau tidak, telah terjadi pembusukan hukum (Sigit Riyanto dan Eddy O.S. Hiariej, 2001:127). Dengan demikian tidaklah berlebihan apa yang dikemukakan oleh Joyceline M. Pollock “….. many people refer to the criminal justice system as the “criminal injustice system” because of perception that practices in the Nation’s courtrooms do not necessarily conform to the ideals of justice…..” (banyak orang menyebut sistem peradilan pidana sebagai “sistem ketidakadilan pidana” karena persepsi bahwa praktik di ruang sidang tidak selalu sesuai dengan cita-cita keadilan) (Muladi, 2005:99).

Oleh karena itu, diperlukan politik hukum presiden dan visi misi presiden yang kuat untuk membangun infrastruktur hukum. Selama ini pemerintah hanya fokus pada pembuatan Undang-Undang dan produk turunannya dan terkesan mengesampingkan infrastruktur fisik. Sarana dan prasarana hukum masih dipandang sebagai komponen kedua dalam pembangunan hukum. Karena itu, ke depan, Presiden sebagai panglima perancang pembangunan hukum haruslah keluar dari kungkungan paradigma lama dan lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik hukum, agar pemahaman kita tentang sistem hukum Indonesia menjadi lebih mencakup dan terpadu.

Categories:

Tinggalkan Balasan