INKONSISTENSI PENGATURAN KESEPAKATAN PERDAMAIAN YANG DIBUAT TANPA MEDIATOR BERSERTIFIKAT PADA PERDAMAIAN DI LUAR PENGADILAN
4 min readINKONSISTENSI PENGATURAN KESEPAKATAN PERDAMAIAN YANG DIBUAT TANPA MEDIATOR BERSERTIFIKAT PADA PERDAMAIAN DI LUAR PENGADILAN DALAM PERATURAN MA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN – Sengketa (dispute) adalah perbedaan pendapat atau kepentingan terhadap suatu fakta atau permasalahan hukum antara dua pihak atau lebih (Putusan Permanent Court of International Justice in the Mavrommatis case of 1924, dalam Anne Peters, 2003:3). Dalam penyelesaian sengketa terdapat dua jalur, yaitu jalur litigasi dan jalur non litigasi. Menurut Amriani, sebagaimana dikutip Lathif dan Habibaty, Penyelesaian litigasi adalah metode penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui mekanisme peradilan, dimana kewenangan mengadili dan memutus terdapat pada hakim yang mengadili perkara tersebut (Lathif dan Habibaty, 2019:80). Para pihak saling berhadapan mempertahankan dan mendalilkan hak-haknya serta akan berakhir dengan putusan yang bersifat win-lose condition. Penyelesaian non litigasi lebih dikenal dengan istilah alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution). Dalam hukum positif Indonesia, alternatif penyelesaian sengketa diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU 30/1999).
Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang diatur dalam UU 30/1999. Selain mediasi, alternatif penyelesaian sengketa lain yang disediakan oleh Undang-Undang yakni konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli. UU 30/1999 tidak mengatur lebih lanjut mengenai definisi mediasi, namun berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma 1/2016), mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh mediator. Artinya dalam pandangan Mahkamah Agung, mediasi haruslah didampingi oleh seorang mediator, hal mana dapat dipahami pihak-pihak yang bersengketa cenderung akan berkutat pada kepentingan masing-masing sehingga dibutuhkan pihak yang netral untuk membantu menemukan titik temu.
Perma 1/2016 sendiri membatasi mediator menjadi 2 (dua) yaitu hakim dan pihak lain yang memilki sertifikat mediator. Sertifikat mediator hanya dapat dikeluarkan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung. Hal ini menjadi penting agar mediator bersertifikat tersebut telah dilatih dan mendapatkan pemahaman yang standar.
Dalam Perma 1/2016, produk dari mediasi adalah kesepakatan perdamaian. Kesepakatan perdamaian merupakan kesepakatan hasil mediasi dalam bentuk dokumen yang memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Dari definisi ini terdapat beberapa poin penting. Pertama, kesepakatan perdamaian adalah perjanjian yang hakikatnya tunduk pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kedua, kesepakatan perdamaian wajib dibuat dalam bentuk tertulis, hal ini adalah konsekuensi bahwa kesepakatan perdamaian adalah dalam bentuk dokumen. Ketiga, substansi kesepakatan perdamaian wajib memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang sedang dibahas para pihak. Keempat kesepakatan perdamaian harus dibuat para pihak Bersama mediator, hal ini merupakan konsekuensi adanya ketentuan kesepakatan perdamaian harus ditandatangani para pihak dan mediator. Tentu akan menjadi problematik, jika seorang mediator harus menandatangani sebuah dokumen kesepakatan perdamaian yang bukan dimediasi oleh yang bersangkutan.
Masalah muncul pada ketentuan dalam Bab VIII Perma 1/2016 mengenai perdamaian d iluar pengadilan. Dalam Pasal 36 ayat (1) Perma 1/2016 disebutkan “Para Pihak dengan atau tanpa bantuan Mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan Kesepakatan Perdamaian dapat mengajukan Kesepakatan Perdamaian kepada Pengadilan yang berwenang untuk memperoleh Akta Perdamaian dengan cara mengajukan gugatan”. Dari ketentuan ini dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak wajib dibantu oleh mediator bersertifikat.
Akta perdamaian yang dimaksud adalah akta yang memuat isi naskah perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian. Para pihak tentu berkepentingan untuk menguatkan kesepakatan perdamaian mereka ke dalam akta perdamaian. Hal ini disebabkan kekuatan pembuktian keduanya yang berbeda. Akta perdamaian merupakan akta otentik sedangkan kesepakatan perdamaian dikategorikan sebagai akta di bawah tangan. Sebagai akta otentik, kekuatan pembuktian akta perdamaian adalah sempurna. Dalam penjelasan Pasal 165 HIR dijelaskan, apabila salah satu pihak mengatakan bahwa isi atau substansi akta otentik itu tidak benar, pihak itu lah yang harus membuktikannya, sebab akta isi akta otentik harus dianggap benar. Pada akta di bawah tangan, jika ada satu pihak yang meragukan atau menyangkal isi akta tersebut, malah pihak yang menggunakan atau membenarkan akta di bawah tangan tersebutlah yang harus membuktikan kebenaran akta tersebut.
Pada satu sisi, ketentuan tidak diwajibkannya mediasi didampingi mediator bersertifikat dapat dipandang sebagai upaya Mahkamah Agung untuk tidak memonopoli mediasi sebagai kewenangan mutlak mediator bersertifikat, namun di sisi lain bertentangan dengan ketentuan Perma 1/2016 sendiri. Hal ini disebabkan kesepakatan perdamaian itu sendiri menurut Perma 1/2016 adalah dokumen yang memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang ditandatangani oleh para pihak dan mediator, sehingga tentu haruslah dibantu oleh mediator.
Dalam hal ini telah terjadi inkonsistensi yang mengarah kepada ketidakpastian hukum dalam substansi Perma 1/2016. Menurut Tata Wijayanta, kepastian hukum merupakan kejelasan norma atau ketentuan sehingga bisa dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan atau pun menggunakan ketentuan regulasi tersebut (Wijayanta, 2014:219). Sehingga secara normatif, ada ketidakpastian hukum dalam pengaturan ketentuan kesepakatan perdamaian yang dilakukan di luar pengadilan tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian di atas agar tidak terjadi inkonsistensi dalam pengaturan kesepakatan perdamaian di luar pengadilan yang ingin mengajukan akta perdamaian, penulis berpendapat dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut. Pertama, pengaturan mengenai definisi kesepakatan perdamaian dalam Perma 1/2016 harus didefinisikan ulang dengan rumusan “dokumen yang memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang ditandatangani oleh para pihak dan/atau mediator”, untuk mengeliminasi adanya kewajiban secara tidak langsung mediasi harus dibantu oleh mediator dan pengajuan akta perdamaian yang didasarkan atas kesepakatan perdamaian yang dibuat oleh para pihak tanpa mediator konsisten secara yuridis antara satu pasal dengan pasal lainnya. Kedua, Mahkamah Agung konsistensi dengan definisi kesepakatan perdamaian di ketentuan umum dan merubah ketentuan bab perdamaian di luar pengadilan, yang mana kesepakatan perdamaian yang dibuat para pihak di luar pengadilan hanya dapat diajukan apabila kesepakatan perdamaian itu dibuat bersama mediator bersertifikat. Hal mana menurut penulis secara teoritis akan meningkatkan kualitas kesepakatan perdamaian karena mediasi akan dibantu oleh seorang mediator bersertifikat.
1 thought on “INKONSISTENSI PENGATURAN KESEPAKATAN PERDAMAIAN YANG DIBUAT TANPA MEDIATOR BERSERTIFIKAT PADA PERDAMAIAN DI LUAR PENGADILAN”