MENOLAK VAKSINASI COVID-19 TIDAK DAPAT DI-PHK
6 min readMENOLAK VAKSINASI COVID-19 TIDAK DAPAT DI-PHK – Pekerja dan pengusaha ibarat 2 sisi mata uang koin, tidak dapat dipisahkandan saling membutuhkan demi tujuan masing-masing. Pekerja membutuhkan upah untuk bertahan hidup baik pada masa pandemi atau pasca pandemi Covid-19, pengusaha butuh pekerja agar bisnis danproduksi berjalan dengan lancar sehingga mendapatkan keuntungan. Selain pekerja dan pengusaha, pemerintah juga memiliki keterkaitan, yang berfungsi sebagai regulator ataupun pengawas agar hubungan industrial berjalan secara adil dan bermartabat. Hal ini menjadi bentuk konkret dari teori keadilan bermartabat yang digagas oleh Teguh Prasetyo (2015), Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Tujuan teori ini untuk memanusiakan manusia yang berlandaskan Pancasila, dan bertujuan win-win solution jika terjadi sengketa akibat ketiadaan kesepakatan.
Pemerintah sedang bekerja keras untuk mewujudkan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi di masa Covid-19 ini, salah satunya melalui program vaksinasi Covid-19 (selanjutnya disebut vaksinasi). Tujuan pelaksanaan vaksinasi Covid-19 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 10 Tahun 2021 jo. Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2021 yakni: a. mengurangi transmisi/penularan COVID-19; b. menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat COVID-19; c. mencapai kekebalan kelompok di masyarakat (herd immunity); dan d. melindungi masyarakat dari COVID-19 agar tetap produktif secara sosial dan ekonomi. Berdasarkan data per 20-09-2021 bahwa vaksinasi ke-1 telah mencapai angka 79.657.762, dan angka vaksinasi ke-2 yakni 45.224.650 (laman: covid19.go.id, diakses tanggal 21-09-2021).
Kita tidak perlu memperdebatkan lagi apakah vaksinasi adalah hak atau kewajiban masyarakat. Inilah waktunya kita mewujudkan cinta kita kepada Indonesia dengan cara tidak menolak vaksinasi kecuali apabila kita dinyatakan melalui proses skrining secara medis tidak dapat disuntik vaksin AstraZeneca, Sinovac, ataupun merek lainnya. Masyarakat dan pekerja sudah wajib memiliki mindset untuk dapat bermanfaat dan menolong orang lain dengan cara mau divaksinasi.
Lantas, bagaimana jika pekerja menolak vaksinasi yang diprogramkan oleh kantornya padahal pekerja tersebut lolos skrining untuk divaksinasi? Apakah pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK)? Menurut hemat penulis, PHK adalah upaya terakhir (the last resort) dari suatu hubungan industrial yang bermartabat. Pengusaha wajib mengupayakan agar pekerja tersebut tidak terkena PHK. Menurut pendapat penulis, pengusaha wajib mencari tahu mengapa pekerja tersebut tidak mau divaksinasi. Apakah pekerja tersebut ‘termakan’ berita bohong (hoaks) tentang vaksinasi Covid-19?
Alasan PHK yang Dibenarkan
Berdasarkan Pasal 36 tentang tata cara PHK dalam Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021), dari 15 (lima belas) alasan yang dibenarkan secara normatif, tidak ada satu pun alasan melakukan PHK dikarenakan pekerja menolak vaksinasi. Bagaimana apabila keputusan untuk PHK karena menolak vaksinasi tersebut diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP) ataupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB)? Menurut pendapat peneliti, ini dapat menjadi obyek perselisihan hubungan industrial yang berpotensi diselesaikan secara bipatrit, tripatrit, atau melalui pengadilan hubungan industrial yang berwenang.
Berdasarkan Pasal 36 PP 35/2021, PHK dapat terjadi karena alasan:
a. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Perusahaan dan Pekerja/Buruh tidak bersedia melanjutkan Hubungan Kerja atau Pengusaha tidak bersedia menerima Pekerja/Buruh;
b. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan Perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian;
c. Perusahaan tutup yang disebabkan karena Perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
d. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure);
e. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. Perusahaan pailit;
g. Adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam Pekerja/ Buruh;
membujuk dan/atau menyuruh Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut- turut atau lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu sesudah itu;
tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada Pekerja/Buruh;
memerintahkan Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan Pekerja/Buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada Perjanjian Kerja;
h. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan Pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dan Pengusaha memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja;
i. Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
j. Pekerja/Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
k. Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;
l. Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
m. Pekerja/Buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan; n. Pekerja/Buruh memasuki usia pensiun; o. Pekerja/ Buruh meninggal dunia.
Berdasarkan Pasal 13A ayat (4) Peraturan Presiden No. 14 tahun 2021 (Perpres 14/2021) bahwa setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti maka dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; b. penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau denda. Selain sanksi administratif tersebut berdasar pada Pasal 13B Perpes 14/2021, mereka yang tidak mengikuti vaksinasi sehingga menyebabkan terhalangnya penanggulangan penyebaran Covid-19 maka dapat dikenakan sanksi sesuai Undang-undang tentang Wabah Penyakit Menular (selanjutnya disebut UU WPM) dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda maksimal Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Namun pertanyaan kritis lebih lanjut, apakah setelah pemidanaan tersebut, orang/pekerja tersebut tetap tidak divaksinasi? Menurut hemat penulis, tetap wajib jika memang pekerja tersebut tidak terhalang karena indikasi medis.
Berdasarkan Pasal 154A ayat (1) huruf k UU Cipta Kerja sektor ketengakerjaan jo. Pasal 36 huruf k PP 35/2021, pengusaha hanya dapat mengatur lain ketentuan PHK dalam perjanjian kerja, PP atau PKB perihal masa berlaku surat peringatan (SP) pertama, kedua dan ketiga yang berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan. Apabila pengusaha mengatur ketentuan PHK yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan jo. UU Cipta Kerja sektor ketenagakerjaan (lex superior derogat legi inferiori) maka PHK tersebut batal demi hukum (rechtswegenieteg) dan pekerja masih berstatus aktif serta wajib dipekerjakan seperti semula.
Pengusaha dapat menetapkan penolakan vaksinasi sebagai ketentuan PHK apabila dinyatakan tegas dalam PP atau PKB dan wajib disertai dengan pemberian SP 1 hingga SP 3 terlebih dahulu. Namun menurut hemat Penulis, ketentuan ini dapat berpotensi menjadi salah satu alasan perselisihan hubungan industrial yakni perselisihan hak yang nantinya dapat diselesaikan secara bipatrit, tripatrit, dan jika keduanya tidak sepakat maka diselesaikan melalui proses pendaftaran gugatan ke Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang berwenang.
Apabila kita berandai-andai, maka alasan PHK yang berhubungan dengan penolakan vaksinasi adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 36 huruf l PP 35/2021 yakni jika pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan penyidik karena diduga melakukan tindak pidana, dalam hal ini yakni perbuatan pidana yang diatur dalam UU WPM atau jika pekerja bersikeras tidak mau divaksinasi hingga akhirnya mengundurkan diri atau kemauan sendiri. Jika PHK tersebut tidak dapat dicegah, maka pengusaha wajib memberikan hak-hak pekerja (uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak), baik kepada pekerja tetap (PKWTT) atau pekerja kontrak (PKWT) sesuai PP 35/2021.
Menurut hemat penulis, hal terpenting adalah edukasi kepada pekerja bahwa vaksinasi bertujuan mulia, dan bahkan bagian dari ibadah, serta untuk mewujudkan hubungan industrial Pancasila yang harmonis. Dalam hubungan industrial Pancasila melihat hubungan pekerja dan pengusaha diibaratkan sebagai hubungan di dalam keluarga, dengan negara sebagai bapak yang bijaksana (Ari Hernawan, 2019: 6). Pengusaha wajib memberikan pemahaman yang komprehensif tentang manfaat vaksinasi. Pengusaha, Aparat Penegak Hukum, dan Pemerintah, baik Pemerintah Pusat/Daerah serta stakeholders perlu bahu-membahu untuk memberantas berita bohong tentang vaksinasi.