MENYOAL RUU OMNIBUS LAW SEKTOR KEUANGAN – Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law sektor keuangan menjadi isu hangat yang menarik untuk dicermati. RUU tersebut masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 yang rencananya akan dibahas Agustus ini. Namun sayangnya, isu tersebut kurang mendapatkan perhatian publik. Pada satu sisi, sektor keuangan memiliki peran vital untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan perekonomian suatu negara. Sektor tersebut diperankan oleh industri perbankan dan industri keuangan non-bank.
Sama halnya dengan omnibus law cipta kerja atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, RUU omnibus law sektor keuangan juga akan mencabut dan merumuskan kembali beberapa pasal dalam Undang-Undang yang berkaitan dengan sektor keuangan.
Setidaknya, terdapat tiga belas (13) Undang-Undang yang berkaitan dengan sektor keuangan. Ketiga belas Undang-Undang tersebut yaitu: Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Bank Indonesia, Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Undang-Undang Pasar Modal, Undang-Undang Asuransi, Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Surat Utang Negara, Undang-Undang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara, Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan dan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian.
Semangat yang diusung oleh DPR dan Pemerintah dalam menyusun RUU omnibus law sektor keuangan adalah memperkuat stabilitas sistem keuangan secara komprehensif. Secara spesifik RUU tersebut bertujuan untuk penguatan koordinasi antar lembaga yang memiliki kewenangan, pengawasan, dan penyelesaian permasalahan di sektor keuangan, khususnya perbankan.
Beleid ini semakin memperkuat wacana dikembalikannya fungsi pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada Bank Indonesia (BI). Pengawasan mikro prudensial (berada di OJK) dan makro prudensial (berada di BI) yang terpisah mengakibatkan penanganan krisis sistem keuangan kurang cepat karena membutuhkan koordinasi antar otoritas. Oleh karena itu, untuk mengakomodir perubahan tugas dan kewenangan BI dan OJK tentu saja perlu diatur oleh suatu dasar hukum yang kuat. Dasar hukum tersebut tentu saja melalui amandemen Undang-Undang BI, Undang-Undang OJK dan Undang-Undang lain yang terkait seperti Undang-Undang LPS, Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan dan Undang-Undang terkait lainnya. Upaya amandemen beberapa Undang-Undang sekaligus dapat dilakukan melalui omnibus law.
Namun, terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam RUU omnibus law sektor keuangan. Pertama, model pengawasan integrated approach. Beberapa negara maju seperti eropa dan jepang menganut Universal Bangking System. Dengan sistem tersebut bank boleh melakukan kegiatan keuangan non-bank seperti asuransi, reksadana, leasing dan dana pensiun. Produk yang dijual sangatlah kompleks dan saling terkait sehingga menimbulkan blurry effect. Oleh karenanya, model pengawasan yang dilakukan bersifat integrated approach. Artinya, pengawasan tersebut dilakukan oleh satu lembaga otoritas yang mengatur dan mengawasi bank dan non-bank.
Belajar dari krisis moneter 1997 dan 2008 serta kegagalan dalam mendeteksi kasus Bank Century tampaknya kita setuju bahwa model ideal pengawasan industri keuangan bank dan non-bank adalah integrated approach sehingga pada tahun 2011 Pemerintah dan DPR sepakat untuk membentuk OJK. Namun, dalam RUU omnibus law sektor keuangan pengawasan bank justru akan dikembalikan dari OJK kepada Bank Indonesia dengan alasan penanganan krisis akan kurang cepat karena membutuhkan koordinasi antar otoritas yaitu Bank Indonesia dan OJK.
Permasalahan koordinasi adalah soal teknis. Indonesia dapat belajar dari Australia dan Jepang dalam pembangunan koordinasi dan komunikasi antar otoritas. Australia, Reserve Bank of Australia (RBA) dengan The Australian Prudential Regulation Authority (APRA) memiliki The RBA/APRA Coordination Committee, dimana dalam satu tahun terdapat jadwal rutin pertemuan formal antara RBA dan APRA sebanyak tiga sampai empat kali pertemuan untuk membahas perkembangan sistem keuangan di Australia. Koordinasi yang baik juga dapat kita pelajari dari Jepang antara Bank of Japan (BoJ) dengan Financial Supervision Agency (FSA). BoJ memiliki kewenangan untuk memanggil pihak FSA untuk memberikan laporan, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, “resep” yang tepat bukanlah mengembalikan fungsi pengawasan melainkan penguatan dan pembangunan koordinasi dan sharing information antara BI dan OJK.
Kedua, terkait dengan independensi Bank Indonesia. Dalam menetapkan kebijakan moneter Bank Indonesia harus independen karena erat kaitannya dengan stabilitas sistem keuangan nasional. Disatu sisi, wacana pembentukan dewan moneter dalam RUU omnibus law sektor keuangan dapat mengancam independensi Bank Indonesia.
Dewan moneter yang akan dibentuk terdapat unsur dari Pemerintah sehingga intervensi pemerintah akan menimbulkan tekanan politik yang mampu membuat konsistensi dan kredibilitas kebijakan moneter jadi sulit dicapai. Kondisi ini tentu saja kembali ke sistem sentralistik pada masa orde baru. Oleh karena itu, independensi Bank Indonesia menjadi isu hukum yang harus senantiasa “dikawal” dalam pembahasan RUU omnibus law sektor keuangan.
Ketiga, terkait perkembangan Financial Tecnology (teknologi finansial) dan Cryptocurrency (mata uang digital). RUU omnibus law sektor keuangan harus mengakomodir pengaturan mengenai Fintech dan Cryptocurrency. Perkembangan dan penggunaan uang elektronik, cryptocurrency, kredit online, crowdfunding dan berbagai jenis lainnya membutuhkan legal framework berupa Undang-Undang untuk memitigasi risiko yang mungkin timbul. Bahkan, praktik Fintech ilegal yang semakin subur serta perdagangan aset kripto yang semakin liar menjadi indikasi pentingnya peran Undang-Undang untuk mengatur.
Optimisime bahwa RUU omnibus law sektor keuangan dapat memperkuat stabilitas sistem keuangan dapat terwujud apabila ketiga hal tersebut diperhatikan. Stabilitas keuangan dapat diwujudkan dengan menjaga independensi Bank Indonesia, memperkuat pengawasan industri keuangan dan mengakomodir perkembangan industri Fintech serta cryptocurrency di Indonesia.
Tinggalkan Balasan