PARADOKS DAN REPOSISI PANCASILA
4 min readPARADOKS DAN REPOSISI PANCASILA – Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang digali dari nilai-nilai kearifan masyarakat nusantara. Nilai-nilai tersebut kemudian dikristalisasikan untuk menjadi pemandu kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bentuk Konstitusi. Pancasila tidak hanya merupakan asas atau prinsip filosofis, namun juga sebagai asas dan prinsip sumber hukum materil Indonesia yang dikonkretkan dalam bagian pembukaan dan batang tubuh UUD NRI 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (amandemen IV) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Ide dari konsepsi Negara Hukum adalah bahwa hukum harus ditempatkan dalam kedudukan yang paling tinggi dalam dinamika kehidupan bernegara (supremasi hukum), bukan politik (kekuasaan), ekonomi (kekayaan), dll. Konsep ini juga dikenal dalam sistem hukum Anglo-Saxon Common Law sebagai ‘Rule of Law’ yang secara harfiah berarti pemerintahan yang berdasarkan pada hukum dan bukan kekuasaan semata (A.V. Dicey, 1938). Hal ini berarti bahwa hukum sebagai sistem yang merdeka dari pengaruh kepentingan individu mutlak diperlukan bagi terpenuhinya supremasi hukum. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum mencakup elemen penting, di antaranya adalah perlindungan terhadap HAM. Perlindungan ini dibangun dengan menata struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial, serta dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal.
Ironi Keterbukaan Pancasila
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia yang bersifat terbuka sejatinya mengakomodasi semua golongan dan paham pemikiran. Oleh karena itu, adalah suatu ironi bahwa sepanjang perjalanan bangsa ini, terdapat berbagai paham ataupun peristiwa yang merongrong keberadaan Pancasila itu sendiri. Terdapat beberapa peristiwa yang mencerminkan hal ini, seperti pemberontakan DI/TII yang berlatar belakang agama, dan pemberontakan PKI yang berlatar belakang ideologi.
Pancasila Sebagai Alat
Terdapat berbagai peristiwa kebijakan pemerintah masa orde baru yang dilakukan mengacu kepada penafsiran penguasa tentang Pancasila. Fokus dari penafsiran Pancasila ini dilakukan untuk mencapai stabilitas di segala aspek kehidupan bernegara. Beberapa di antaranya adalah tentang kedudukan polisi sebagai representasi sipil yang berada di bawah komando militer melalui Dwifungsi ABRI. Melihat dari aspek politik, terdapat sistem partisipasi politik yang dilakukan melalui sistem demokrasi tiga partai yang nyatanya diarahkan kepada satu partai tertentu. Keberadaan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai legislatif yang nyatanya hanya perpanjangan tangan dari eksekutif (Presiden). Selain itu, dari segi konsumsi publik dan media pada masa rentang waktu tertentu pengawasan ketat terhadap media melalui Departemen Penerangan dan stasiun TVRI yang menjadi medium propaganda dari pemerintah. Warga yang hendak memasang parabola pun untuk mendapat siaran dari luar negeri harus didata terlebih dahulu di Departemen Penerangan dan dicatat. Penerbitan koran, buku, majalah, tulisan harus melalui izin ke Bintara Pembina Desa (Babinsa), untuk mendapat stempel bebas sensor.
Aspek Hak Asasi Manusia (HAM) pada periode rentang waktu ini mengalami reduksi seminimal mungkin. Bahwasanya, terdapat instalasi kamp Pulau Buru sebagai kamp konsentrasi tahanan politik; dan terjadinya peristiwa pembantaian sipil dengan dalih untuk memberantas PKI. Pemberantasan ini dilakukan melalui penangkapan, penculikan, pembunuhan orang yang dituding sebagai PKI. Proses peradilan pun dijalankan secara kilat melalui pengadilan singkat setingkat Koramil (kecamatan versi tentara). Undue process of law ini seringkali disalahgunakan oleh orang yang memiliki koneksi dengan rezim pemerintah untuk menyingkirkan pesaing, dalam hal bisnis ataupun jabatan, dengan menuding sebagai simpatisan PKI. Demikian pula terhadap sempalan DI/TII yang masih ada pada saat itu jika berani mengancam kedaulatan negara dan pemerintah dikirim ‘ninja’ atau dilabeli sebagai dukun santet dan dihabisi sebagaimana peristiwa Banyuwangi.
Reposisi Pancasila
Perspektif HAM memberikan dimensi baru dari Pancasila, sebagai standar atau guideline bagi negara dalam bertindak dan berperilaku agar tidak sewenang-wenang terhadap individu warga negara. Saat ini, implementasi Pancasila lebih diperlukan dibandingkan dengan penafsiran ideologis filosofis dari Pancasila. Oleh karena itu, semua pihak harus menghentikan usaha penafsiran dan menghindari perdebatan yang ada dengan merefleksikan nilai-nilai Pancasila melalui pikiran, hati, kata, dan tindakan dalam bentuk karya nyata yang bermanfaat positif. Negara harus membuka peluang, mendorong, dan memfasilitasi agar sosialisasi Pancasila tidak menjadi monopoli lembaga tertentu saja. Bahwa, ketika semua pihak memperoleh kesempatan untuk terlibat dalam sosialisasi maka Pancasila akan lebih mudah diserap dan diimplementasikan oleh masyarakat. Hal ini akan memunculkan ‘sense of belonging’ terhadap Pancasila. Selain itu, keterbukaan akan menjauhkan Pancasila dari tafsir sepihak dan menutup kesempatan pihak penguasa menyalahgunakan Pancasila. Selain itu, bahwasanya terdapat pertanggungjawaban negara berupa pengakuan atas perbuatan yang dilakukan oleh organ dan aparatur negara, berupa pernyataan permohonan maaf (apology) yang dilakukan oleh Presiden kepada para korban kebijakan pemerintah. Contoh dari hal ini adalah sebagaimana pernyataan maaf dan yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid kepada para korban peristiwa pembunuhan massal penumpasan G30S/PKI dan melakukan rehabilitasi dan pemulihan hak-hak tahanan politik dan eksil PKI. Dengan demikian, Indonesia bisa sepenuhnya menjadi negara hukum sebagaimana dijabarkan oleh The International Commission of Jurists, dimana Negara tunduk pada hukum; Pemerintah menghormati hak-hak individu melalui adanya sistem politik yang akuntabel; serta Peradilan yang bebas dan tidak memihak (impartial).