PERDEBATAN PROGRAM ASIMILASI DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYEBARAN COVID-19 – Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19. PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak, untuk mengurangi tingkat penyebaran Corona Virus Disease-19. Keputusan ini merupakan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia bagi Narapidana yang mengacu pada Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan”. Semangat ini dilakukan melalui tindakan asimilasi dan Integrasi ini, demi mengurangi tingkat kematian narapidana berdasarkan faktor Virus Corona 19 (Covid-19) tersebut.
Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 karena Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) overcapacity dan harus melakukan social distancing dengan jarak tertentu. Program asimilasi merupakan suatu pembaruan terhadap Narapidana kepada kelompok masyarakat di lingkungan tersebut. Namun, terdapat kekhawatiran masyarakat terhadap kebijakan pemerintah atas asimilasi narapidana sebagai bentuk pencegahan penyebaran Covid-19.
Mengacu pada ketentuan menimbang pada Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 bahwa “untuk melakukan upaya penyelamatan terhadap Narapidana dan Anak yang berada di Lembaga Permasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara, maka perlu dilakukan pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19”. Maka Keputusan Menteri Hukum dan HAM mengenai Asimilasi Narapidana mengakibatkan perdebatan sengit di masyarakat, dimana tidak terdapatnya suatu jaminan berdasarkan hukum apabila narapidana ini tidak melakukan abuse of behaviour kembali di masyarakat.
Jaminan Hukum Asimilasi Narapidana
Indonesia menganut sistem hukum civil law yaitu ketentuan hukum tertulis untuk menciptakan kepastian hukum sebagai tujuan hukum itu. Seperti subjek hukum melakukan pinjaman uang, untuk memberikan rasa kepercayaan (trust) perlu adanya jaminan (guarrante) kepada pihak pemberi pinjaman tersebut. Jaminan yang diberikan kepada masyarakat oleh Pemerintah tidak terlihat secara materiil. Mengacu pada Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 bahwa “Narapidan yang dapat diberikan Asimilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat; a. berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir; b. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik;dan c. telah menjalani ½ (satu per dua) masa pidana”.
Jaminan pemerintah kepada masyarakat terhadap asimilasi Narapidana diatur pada Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 bahwa “Asimilasi Narapidana dilaksanakan di rumah dengan pembimbingan dan pengawas Bapas”. Peran Bapas sebagai pihak yang mengawasi Narapidana selama menjalankan program asimilasi bukan menjadi suatu jaminan yang kuat terhadap Narapidana apabila tidak kembali berulah atau melakukan perbuatan melawan hukum terutama narapidana Residivis.
Perbuatan Narapidana yang terkena hukuman Residivis menjadi permasalahan ketika diberikan asimilasi oleh negara. Mengacu pada Pasal 487 KUHP bahwa “dapat ditambah sepertiga. Jika yang bermasalah Ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau Sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan”. Dalam ketentuan Tindakan residivis terhadap Tindakan pembunuhan berulang-ulang yang menurut penulis akan berpotensi mengancam akan kenyaman masyarakat apabila narapidana tersebut diberikan asimilasi.
Minimnya Kepercayaan Masyarakat atas Program Asimilasi
Mengacu pada Teori Pemidanaan terdapat tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relative atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien) (Toatubun, 2016). Sesuai dengan tiga teori Pemidanaan bahwa Narapidana pada perbuatan pidana berat seperti pengniayaan berat, pembunuhan, pencabulan, tergolong teori pemidanaan secara absolut, bukan menjadi suatu persoalan apabila tidak berikan kesempatan untuk berbaur kepada masyarakat secara sementara sebagaimana pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (Husniah et.al, 2017). Namun berdasarkan teori Primun Remedium bahwa hukum pidana diposisikan sebagai satu-satunya hal yang dapat dilakukan dan tidak ada alternatif, dalam konteks hukuman bukan lagi menjadi obat terakhir melainkan menjadi obat pertama untuk membuat jera orang yang melakukan pelanggaran yang bersifat pidana (Pramesti, 2015). Artinya, apabila terdakwa secara sah sebagai terpidana dari putusan in krach oleh Majelis Hakim di persidangan bahwa terbatasnya suatu pembebasan fisik selama menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan untuk dibina hingga mampu beradaptasi di masyarakat. Namun, dengan adanya keadaan pandemi Covid-19 secara tiba-tiba, adanya program asimilasi oleh narapidana meskipun telah mengikuti program-program pembinaan hingga telah terlihat perilaku yang baik bukan menjadi suatu jaminan bahwa narapidana akan berperilaku baik. Terdapat suatu kasus akibat dari program asimilasi ini, dimana narapidana melakukan perbuatan yang merugikan atau berulah Kembali di lingkungan masyarakat. Dengan seperti itu, perdebatan di masyarakat setelah keluarnya Keputusan dari Kementerian Hukum dan HAM menjadi suatu parameter atas ketidakpercayaan narapidana berbaur Kembali secara sementara di masyarakat meskipun perbuatan pidananya tidak tindak pidana berat melainkan sedang ataupun ringan.
Program asimilasi pada Narapidana memiliki hubungan tetapi berbeda posisi antara terpidana dengan tersangka atau terdakwa yang ditentukan pada Pasal 31 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam ketentuan Pasal 31 KUHAP bahwa “ atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan”. Penulis menganalisa secara kasus di lapangan baik penyidik, penuntut umum atau hakim sebagai penegak hukum masih mempertimbangkan kepada tersangka atau terdakwa yang secara penuh belum sebagai terpidana untuk memberikan kebebasan berupa penangguhan atas pelaku dugaan kejahatan. Pertimbangan ini menjadi suatu objektivitas para penegak hukum guna memberikan penangguhan kepada pelaku terduga tindak pidana, yang belum tentu memberikan dampak positif dan meminimalir terjadi tindakan pelaku yang merugikan masyarakat nantinya. Dengan begitu banyaknya implikasi negatif apabila program asimilasi yang diberikan kepada terpidana yang berbaur dengan masyarakat meskipun petugas pengawas di lapangan selama program asimilasi ini terlaksana secara tepat.
Tinggalkan Balasan