Peluang dan Tantangan Konsultasi Publik Dalam Proses Penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR

Peluang dan Tantangan Konsultasi Publik Dalam Proses Penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR – Konsultasi publik sebagai bentuk pelibatan masyarakat dalam pembentukan peraturan dan/atau kebijakan merupakan suatu keharusan di dalam suatu negara demokrasi. Hak masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan (baik secara aktif maupun pasif) ini merupakan salah satu hak dasar yang dilindungi oleh Konstitusi. Dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan dalam semua tingkatan/hirarkhinya, UU No. 12 Tahun 2011 mengatur hal ini dengan dua nomenklatur yang berbeda namun dengan tujuan dan esensi yang sama yakni penyebarluasan dan partisipasi masyarakat.

Dalam Pasal 88 UU No. 12 Tahun 2011 dinyatakan bahwa dalam tahapan proses pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) harus dilakukan penyebarluasan kepada masyarakat. Penyebarluasan ini sudah dimulai sejak tahap perencanaan (Prolegnas), penyusunan RUU, pembahasan RUU hingga pengundangannya. Penyebarluasan ini ditujukan guna: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan adanya peraturan yang tengah dibentuk; dan (2) memperoleh masukan atau tanggapan dari masyarakat terkait  peraturan  yang  dibuat;   sekaligus (3) agar masyarakat dapat memahami substansi dari peraturan tersebut. Ketentuan dalam Pasal 88 tersebut yang juga mutatis mutandis berlaku untuk Rancangan   Peraturan   Daerah  (Raperda) Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 92.

Melihat ketentuan pasal-pasal terkait penyebarluasan terutama Pasal 88 dan 92, maka penyebarluasan tidak dapat diartikan secara sempit sebagai bentuk diseminasi atau sosialisasi. Dalam hal ini kegiatan memberikan informasi dan mendapat masukan merupakan proses konsultasi kepada masyarakat. Pelaksanaannya tidak hanya setelah undang-undang resmi diundangkan tapi secara jelas dinyatakan dimulai sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga pengundangannya.

Nomeklatur yang kedua adalah partisipasi masyarakat. Dalam Pasal 96 dinyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan baik secara tertulis maupun lisan. Forum penyampaian masukan tersebut dapat dilakukan melalui suatu Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), kunjungan kerja, sosialisasi, atau seminar, lokakarya dan/atau diskusi. Masyarakat dalam konteks pasal ini dapat merupakan orang perseorangan maupun kelompok orang yang memiliki kepentingan atas substansi peraturan dimaksud.

Tahapan Konsultasi Publik

Dalam proses penyusunan NA dan RUU inisiatif DPR, Anggota/Komisi/Alat Kelengkapan DPR (AKD) termasuk Badan Legislasi meminta kepada supporting system dalam hal ini Deputi PUU melalui Setjen DPR RI guna menyiapkan suatu Draft NA dan RUU. Dalam praktiknya, ada suatu tahapan yang harus  dilakukan dalam menyusun Draft NA dan RUU dimaksud. Tahapan-tahapan tersebut saat ini tertuang dalam suatu Standard Operational Procedure (SOP) yang diberlakukan sejak akhir Desember 2013.

Sesungguhnya tahapan penyiapan Draft NA dan RUU di lingkungan Supporting system DPR ini sudah dipraktikkan sejak lama. Namun belum adanya aturan yang mengikat semacam SOP mengakibatkan tahapan-tahapan dalam proses ini sering diabaikan dan tidak berlaku secara menyeluruh pada setiap RUU usul inisiatif DPR. Dengan dituangkannya tahapan tersebut dalam suatu SOP, maka diharapkan memiliki daya ikat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam penyiapan Draft NA dan RUU tersebut, yang terdiri dari Pejabat Struktural, Legislative Drafter (Perancang PUU), Peneliti, Tenaga Ahli, dan dimungkinkan adanya Pakar Pendamping. Selain itu meskipun hanya berlaku atau mengikat internal Setjen DPR, adanya SOP ini diharapkan dapat menjadi satu alasan penguat agar Anggota/Komisi/AKD pengusul RUU dapat mematuhi tahapan dan proses tersebut guna menghindari lahirnya Drat NA dan RUU yang muncul melalui jalur “cepat” tanpa memperhatikan prosedur dan tahapan yang seharusnya.

Beberapa tahapan dalam proses penyiapan Draft NA dan RUU yang hakikatnya merupakan suatu kegiatan konsultasi publik yaitu: pertama, diskusi atau brainstorming dengan para pakar/akademisi terkait permasalahan dan urgensi dari pembentukan RUU yang dilakukan pada tahap awal penyiapan konsep NA. Kedua, diskusi dengan para pemangku kepentingan dan pihak-pihak yang terkena dampak langsung dari rencana pembentukan RUU guna mengelaborasi permasalahan dan kebutuhan hukum di lapangan, termasuk di dalamnya para pembuat dan pelaksana kebijakan di lingkungan eksekutif yang dalam hal ini menjadi salah satu narasumber. Ketiga, pengumpulan data ke beberapa daerah di Indonesia (biasanya 3 daerah mewakili bagian barat, tengah dan timur Indonesia), teknik yang digunakan umumnya adalah in depth interview dengan berbagai pemangku kepentingan dan/atau melalui suatu small group discussion dengan pemangku kepentingan, pihak yang terkena peraturan, kelompok kepentingan dan/atau akademisi/pakar di daerah.

Hasil dari kegiatan konsultasi publik tersebut menjadi dasar dalam  penyusunan NA. Secara teknis menjadi bahan bagi perumusan Bab I (latar belakang, perumusan masalah, maksud/tujuan dan metodelogi), Bab II (kerangka konseptual dan praktik empiris yang juga memuat analisa dampak dari pengaturan yang akan dibuat), dan Bab IV (landasan filosofis, sosiologis dan yuridis) dan tentu saja Bab V (Jangkauan, arah pengaturan dan ruang lingkup mater RUU). Pada tahapan berikutnya, ada pula kegiatan uji publik atas Draft awal NA dan RUU yang dihasilkan. Dari proses uji publik ini kemudian menjadi bahan penyempurnaan Draft NA dan RUU sebelum disampaikan kepada anggota/Komisi/AKD pengusul.

Dalam tahapan perumusan di internal Komisi/AKD pengusul, dilakukan juga kegiatan konsultasi publik  yang dalam hal ini dilaksanakan  secara langsung oleh Komisi/AKD Pengusul dalam bentuk RDPU dan Kunjungan Kerja. Bahan yang menjadi dasar guna mendapatkan masukan publik adalah draft NA dan RUU yang disampaikan oleh supporting system. Dalam prosesnya dimungkinkan terjadi perubahan dari draft awal tersebut terkait dengan arah kebijakan politik dari pengusul, sehingga NA pun dimungkinkan berubah. Setelah melewati proses pembahasan dan disetujui oleh Pleno Komisi/AKD, RUU dimaksud diajukan kepada Badan Legislasi guna dilakukan proses Harmonisasi. Tahap selanjutnya adalah persetujuan dalam sidang paripurna, guna mendapat persetujuan untuk menjadi RUU insiatif DPR yang kemudian akan dikirimkan kepada Pemerintah untuk dilakukan pembahasan bersama di tingkat I.

Peluang dan Tantangan

Berdasarkan prinsip-prinsip minimal suatu konsultasi publik yang baik, sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. I B R Supancana dalam Apec Workshop tentang Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Konsultasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdapat beberapa catatan yang menjadi tantangan guna perbaikan pelaksanaan konsultasi publik ke depan, yakni: Pertama, dilakukan sedini mungkin dan terus dikawal dalam keseluruhan proses pembentukannya. Lahirnya SOP yang mengikat supporting team dalam menyiapkan NA dan RUU yang didalamnya memuat tahapan-tahapan konsultasi publik sejak awal proses penyusunan RUU, diharapkan dapat memenuhi prinsip “as early as possible atau sooner is better”. Namun demikian proses pengawalan sampai pada tahapan perumusan internal komisi/AKD bahkan sampai tahapan pembicaran tingkat I dengan pemerintah merupakan tantangan tersendiri. Dalam proses atau tahapan tersebut, RUU sebagai produk hukum kemudian bermetamorfosis menjadi suatu produk politik. Hal-hal yang bersifat politis mengambil porsi yang sangat besar dan signifikan. Terkait hal tersebut maka adanya suatu panduan/guideline mengenai konsultasi publik yang sekiranya juga mampu mengikat para pembentuk RUU (Pemerintah dan DPR) akan sangat berdampak besar bagi terkawalnya proses ini sampai terbentuknya undang-undang. Hal ini juga dapat meminimalisir terjadinya suatu anomali dari proses konsultasi publik, yakni adanya tirani minoritas ataupun tirani mayoritas yang mengabaikan hasil konsultasi publik yang sudah dilakukan.Jika pemerintah dapat membuat panduan ini sebagai semacam petunjuk pelaksanaan yang dilahirkan melalui instrumen PP atau Perpres, maka di DPR, panduan/guideline ini diharapkan menjadi bagian tak terpisahkan (lampiran) dari Peraturan DPR (Tata Tertib) yang mengikat bagi anggota DPR.

Kedua, dilakukan dalam jangka waktu yang memadai. Jika SOP yang dibuat dapat dipatuhi maka, proses konsultasi publik dapat dilakukan dalam waktu yang memadai. Tantangannya adalah banyaknya permintaan penyusunan NA dan RUU yang dilakukan secara serta merta dan dalam tempo yang singkat. Hal ini diperburuk dengan adanya draft NA dan RUU yang sudah berada di tangan Anggota/Komisi/AKD yang berasal dari satu kelompok kepentingan saja. Adanya draft NA dan RUU semacam ini seharusnya tidak langsung diadopsi (secara penuh) sebagai draft NA dan RUU Pengusul, melainkan menjadi salah satu bahan dalam penyusunan dengan tetap mengikuti prosedur atau tahapan yang seharusnya agar tidak terjadi bias kepentingan.

Ketiga, melibatkan sebanyak mungkin pihak terkait. Usaha pembangunan sistem online dalam menjaring masukan terkait RUU inisiatif DPR saat ini sedang dalam proses. Jika sudah terbangun dan berjalan dengan baik, maka prinsip pelibatan sebanyak mungkin pihak dapat terwujud dengan lebih mudah. Saat ini bentuk konsultasi publik yang dilakukan masih secara langsung (tatap muka) yang masih terbatas daya jangkaunya. Selain waktu, kendala pendanaan menjadi permasalahan mendasar. Sebagai contoh anggaran hanya tersedia untuk pengumpulan data di 3 wilayah mewakili Indonesia dan hanya menjangkau wilayah ibu kota provinsi. Hal ini menimbulkan kesulitan untuk bisa mengakses objek pengumpulan data yang berada di wilayah kabupaten/kota atau bahkan wilayah yang sulit dijangkau.

Keempat, akses publik yang maksimal. Terkait dengan sarana dan alat yang digunakan maka perlu segera dibangun sistem yang accessible bagi seluruh lapisan masyakarat selain para stakeholders yang memiliki kepentingan langsung terhadap suatu RUU. Kendala- kendala teknis dan administratif ini juga menjadi tantangan tersendiri yang masih menjadi penghambat keleluasaan dan keluasan akses publik.

Kelima, dilakukan secara sistematis dan transparan. Berdasarkan prinsip inilah diperlukan suatu pedoman/guideline yang bersifat menyeluruh guna membangun suatu sistem konsultasi publik yang memadai. Pelaksanaan atau praktik saat ini yang belum sistematis mengakibatkan proses menjadi tidak transparan. Kondisi ini menimbulkan masalah dan celah terjadinya proses yang inkonstitutional, unprosedural dan sangat rawan terhadap praktik transaksional. Kondisi ini juga diakibatkan oleh lemahnya teknis dan metode pelaksanaan konsultasi publik yang sudah dipraktikkan. Sehingga penguatan teknis dan metode menjadi pekerjaan rumah yang cukup mendasar guna membangun sistem konsultasi publik yang sistematis dan transparan.

Aspek lainnya adalah terkait dokumentasi dan pengarsipan dari proses konsultasi publik dan tindak lanjut dari masukan yang diperoleh. Menjadi penting ketika setiap orang dimungkinkan mengajukan gugatan atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi jika kepentingannya tidak terakomodir dalam suatu undang-undang dengan mendasarkan pada ketentuan UUD NRI tahun1945.

Harus pula disadari bahwa pada akhirnya harus ada penentuan atau pemilihan sikap atas berbagai masukan yang diterima yang tentunya sangat beragam dan dimungkinkan berbeda dan bersebrangan satu dengan yang lain. Tidak semua masukan dapat diakomodir mengingat tidak semua masukan relevan dan sejalan dengan dasar filosofis, yuridis dan sosiologis RUU. Sehingga pengarsipan dan dokumentasi yang jelas akan membantu proses menjawab gugatan dan yang terpenting mengedepankan aspek transparansi.

Keenam, kejelasan Target (Kelompok sasaran). Penentuan pihak- pihak yang dilibatkan baik itu stakeholder langsung, affected parties, interest group maupun masyarakat secara keseluruhan belum didasarkan suatu metode atau teknik yang memadai. Selain agar tepat sasaran, dengan keterbatasan (dana dan waktu) yang ada kejelasan target akan membuat proses konsultasi publik lebih efektif. Dibutukan suatu tools tertentu guna menganalisa stakeholders sehingga membantu proses konsultasi publik berjalan dengan baik.

Meskipun terdapat berbagai kendala dalam proses konsultasi publik yang sudah berjalan selama ini, penulis menilai masih ada harapan perbaikan dalam pelaksanaan konsultasi publik dalam proses penyiapan dan penyusunan Draft NA dan RUU di DPR di masa mendatang mengingat dasar-dasar yang sudah ada dan mendekati prinsip-prinsip minimal tersebut. Sebagaimana berbagai tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan, ada peluang perbaikan dan penyempurnaan dari berbagai level/tingkatan.

Hadirnya suatu pedoman/guideline akan sangat membantu memperbaiki kondisi dan praktik pelaksanaan konsultasi publik yang masih bersifat formal prosedural tanpa ada tindakan nyata untuk menindaklanjuti hasil konsultasi public. Pedoman ini juga akan sangat bermakna dalam memperkuat teknis dan metode pelaksanaan publik yang baik. Proses perbaikan dan penyempurnaan ini harus dijalankan secara simultan dan sinergis dari kedua pihak pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah.

Categories:

Tinggalkan Balasan